SOLOPOS.COM - Suwarmin Direktur Bisnis dan Konten Solopos Group

Ini slogan lama. Solo Kota Wisata. Sudah berkumandang sejak puluhan tahun silam. Bahkan sejak jaman kerajaan, ketika orang-orang dari daerah di sekitarnya mengunjungi Solo untuk melihat keramaian Sekaten atau Bon Raja.

Sebagai kota pusat tata praja dengan jejak sejarah keraton, tentu Solo punya magnet untuk daerah sekitarnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tetapi sejujurnya, Solo sebagai kota wisata, tidak terlalu istimewa. Memang ada Taman Satwataru Jurug, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pura Mangkunegaran, Pasar Klewer, Pasar Gede, Museum Radya Pustaka, Taman Balekambang, dan lain-lain. Semuanya cukup untuk menjadikan Solo sebagai kota budaya dan kota belanja. Tetapi sebagai kota wisata, rasanya lebih pas dinisbatkan ke kota lain.

Jogja misalnya. Telah bertahun-tahun Solo seolah menjadi bayang-bayang Jogja. Solo lebih dikenal sebagai kota niaga dan Jogja sebagai kota wisata.

Warga asal Madiun dan sekitarnya, misalnya, saat singgah di Kota Solo, tujuan utamanya adalah belanja batik di Pasar Klewer. Tetapi jika mereka pergi ke Jogja, tujuan utamanya adalah rekreasi alias piknik.

Contoh timpangnya jumlah wisatawan Solo dan Jogja setidaknya bisa dilihat dari data di bawah ini. Catatan Biro Pusat Statistik (BPS) yang dimuat dalam surakartakota.bps.go.id menyebutkan pada 2013, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 23.256 jiwa, 2014 mencapai 28.622 jiwa dan 2015 berkurang menjadi 16.296 jiwa. Sementara pada tahun itu jumlah wisman DIY mencapai 238.888 jiwa (2013), 254.213 jiwa (2014) dan 261.063 jiwa (2015). Data yang saya kutip dari laman bpiw.pu.go.id ini memang meliputi DIY, yang terdiri dari Jogja dan 4 daerah penyangganya, Sleman, Kulonprogo, Bantul dan Gunung Kidul. Tetapi data ini sedikit banyak bisa menunjukkan bahwa Solo tertinggal dalam hal jumlah kunjungan wisatawan. Angka yang sama juga tergambar dalam kunjungan wisatawan nusantara (Wisnu). Di Solo angka Wisnu lumayan tinggi, tetapi didominasi pengunjung THR Sriwedari yang selalu di atas 1,5 juta jiwa setahun. Kini THR Sriwedari tinggal menyisakan cerita.

Solo Kota Wisata. Kini punya makna baru, harapan baru. Era yang serba internet dan serba digital yang serba hyper connected, memberi ruang kepada setiap orang untuk berbagi cerita dengan segala bentuknya. Ketika handphone di tangan kita dilengkapi fasilitas untuk memotret dan membagikannya kepada kolega, baik melalui sambungan pribadi, kelompok atau media sosial, pariwisata pun memasuki zaman baru.

Story telling yang dibangun oleh kumpulan pesan membentuk brand yang cepat tertanam di benak orang. Namun karakter orang sekarang yang serba short  term attention dan short term trend namun dengan ciri overloaded information, memaksa pengelola pariwisata untuk bertindak cepat dan reaktif (more reactive brand).

Satu spot foto di pinggiran kota bisa saja menjadi viral dan mengundang orang untuk datang. Tetapi mempertahankan kunjungan itu dalam waktu lama dan berkesinambungan, adalah pekerjaan yang tidak mudah.

Turning point juga bisa dimulai dari Walikota Solo Gibran Rakabuming yang mengundang banyak event di Kota Solo belakangan ini. Muktamar ke-48 Muhammadiyah, Porseni Nahdlatul Ulama, Munas HIPMI, konser band top luar negeri dan lain-lain, sanggup menghadirkan orang luar kota ke Solo. Kumpulan momen yang sulit diraih daerah lain.

Apa lagi Solo kini punya polesan destinasi wisata baru yang bisa dibilang luar biasa. Sebut saja Masjid Raya Sheikh Zayed, Solo Safari (dulu Taman Satwataru Jurug/Solo Zoo), Pura Mangkunegaran dan beberapa destinasi yang masih dalam proses dibangun.

Tahun ini Solo akan menggelar beberapa event internasional seperti menjadi salah satu tuan rumah Piala Dunia U-20 dan konser band kondang luar negeri, Deep Purple. Kesempatan ini perlu dimanfaatkan dengan baik sebagaimana Sirkuit Mandalika di Nusa Tenggara Barat yang menjadikan daerah sekitarnya semakin dikenal turis asing setelah gelaran Moto GP berakhir.

Gibran sudah pasti tak akan selamanya di Solo. Momentum banjir event belum tentu akan terjadi lagi dalam tahun-tahun mendatang. Tetapi kekuatan komunitas bisa menjadi andalan baru untuk menyebarkan cerita (story telling) tentang Solo.

Pada sebuah acara yang digelar Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kota Solo, tahun lalu di Hotel Sunan Solo, mengemuka beberapa Langkah untuk semakin memajukan Kota Solo sebagai destinasi wisata. Misalnya membuat pusat-pusat kuliner Solo bukan hanya ajang keplek ilat tetapi juga dilengkapi story and experience moment yang akan lebih berkesan bagi pengunjung. Juga memberi pelatihan story telling kepada berbagai komunitas untuk berbagi cerita tentang keindahan Solo, menjadikan Solo sebagai wedding destination, mengelola jalur-jalur pesepeda di beberapa titik kota lama di Solo dan lain-lain.

Sebagai kota yang tidak punya sumber daya alam, pariwisata bisa menjadi andalan Solo untuk meningatkan kesejahteraan warganya.

Solo perlu secepatnya menyusun manajemen strategi pariwisata sebelum jalur tol yang menyatukan Solo dan Jogja selesai dibangun pada tahun 2024. Jalur tol itu diyakini akan mengubah landscape sosial-ekonomi (termasuk pariwista) di kedua kota itu dan daerah di sekitarnya.

Sekarang saatnya dimulai, atau akan terlambat dan kehilangan momentum….

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya