SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JOGJA -- Kasus pemotongan nisan salib makam di Purbayan, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menjadi viral. Meski mengakui adanya aksi pemotongan nisan itu, warga setempat menolak sikap tersebut dianggap intoleran.

Peristiwa itu diakui oleh seorang tokoh masyarakat RT 53 RW 13 Purbayan Kotagede, Bedjo Mulyono. Menurutnya, sudah ada kesepakatan antara warga yang diwakili Ketua RT 53 Sholeh Rahmad Hidayat dan Ketua RW 13 Slamet Riyadi dengan pihak keluarga.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bahkan, kata Bedjo, Maria Sutris Winarni, 63, istri Slamet menandatangani kesepakatan tersebut secara tertulis. “Pernyataan tertulisnya hari ini dengan materai, tapi kemarin sudah disepakati secara lisan,” kata Bedjo, Selasa (19/12/2018).

Bedjo menolak jika hal itu dianggap sebagai intoleransi. Menurutnya, apa yang dilakukan warga sudah sangat toleran terbukti jenazah Slamet dikebumikan di TPU tersebut. "Warga bahkan ikut membantu proses pemakaman. Hanya saja memang tidak diperbolehkan untuk menggunakan simbol agama," katanya.

Nur Hudin, tokoh masyarakat lainnya, mengatakan keluarga Slamet sebenarnya sudah menyatakan ikhlas. Keluarga juga tidak mempermasalahkan. "Ini jadi viral karena ada orang luar yang memviralkan. Keluarga itu sudah ikhlas. Kasihan mereka masih berduka,” katanya.

Ketua RT 53 RW 13 Soleh Rahmad Hidayat mengakui jika warga sepakat dan meminta keluarga untuk tidak melakukan ibadat dan doa untuk jenazah Slamet di rumahnya. Soleh beralasan itu dilakukan agar tidak memicu adanya konflik. Seandainya hal itu melanggar undang-undang dan HAM, Soleh menyebut ada kearifan lokal yang juga harus dihormati.

"Kampung ada aturannya. Ada istiadat. Kuburan itu 99 persen kuburan Islam, baru ini saja yang non Islam. Ini kesepakatan warga dan pengurus kampung," katanya.

Kesepakatan

Dia mengaku jika pusara Slamet memang diperuntukkan di bagian pinggir bukan di tengah kompleks pemakaman. Warga juga meminta tidak boleh ada simbol salib di komplek pemakaman itu karena sudah menjadi permintaan warga yang ingin menjadikan kompleks makam itu khusus muslim.

Soleh mengatakan simbol agama tidak diperbolehkan di makam karena menjadi aturan tak tertulis. Jika aturan itu dilanggar, dia kawatir akan menimbulkan konflik di masyarakat. "Ke depan, TPU tersebut akan dijadikan TPU muslim sebagai bagian dari kesepakatan warga,” ujar Soleh.

Menanggapi hal itu, Kapolsek Kotagede Kompol Abdul Rochman mengatakan jika pemotongan salib tersebut sudah disepakati antara warga dengan keluarga. Mereka sepakat tidak ada simbol agama di pemakaman itu. "Karena pihak keluarga setuju akhirnya [salib] dipotong. Kalau tidak setuju, mungkin tidak dipotong. Tapi di luar muncul isu-isu yang lain-lain,” jelas Rochman saat berada di di Pesantren Nurul Umahat, Kotagede.

Rochman menjelaskan adanya kesepakatan secara resmi antara warga dengan keluarga, pada Selasa (18/12) dianggap sudah selesai. Tidak ada persoalan lagi. Dia berharap agar media bisa membantu menginformasikan hal tersebut agar tidak menjadi viral. "Jangan, tidak seheboh yang ada di media sosial. Sekarang sudah kondusif,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya