SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (20/1/2019). Esai ini karya Ki Setyo Handono, guru Seni Budaya di SMAN 1 Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Alamat e-mail penulis adalah gunowiro@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Sudah lama saya ingin menumpahkan angan-angan tentang penilaian terhadap profesi guru. Menurut saya, ada yang kurang pas dalam menilai keberhasilan guru mengajar di kelas.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Secara faktual, menilai guru–oleh pengawas, kepala sekolah, atau asesor– masih sebatas melihat dan memeriksa administrasi kelengkapan guru. Hal demikian ini ibarat menilai petani hanya dari peralatan, bukan menilai hasil bertani.

Tentu sia-sialah hasil penilaian itu karena cacat nalar. Kelengkapan administrasi mengajar seperti kurikulum, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, jurnal mengajar, daftar nilai, dan sebagainya tidak menjamin guru mampu mengajar dengan baik.

Perangkat-perangkat itu kebanyakan hanya menumpuk di laci meja. Perangkat-perangkat itu ada karena ada pemeriksaan atau  untuk formalitas alias menggugurkan kewajiban. Ini fakta.

Guru yang mampu melengkapi semua perangkat itulah yang  mendapat angka penilaian  tinggi karena dia dianggap telah berhasil menyusun puluhan syarat administrasi pembelajaran dengan lengkap. Entah itu data original atau tidak. Yang penting harus punya perangkat itu.

Guru menjadi ribet dengan urusan administrasi dan sering melupakan tugas utama mengajar. Buktinya perangkat seperti rencana pelaksanaan pembelajaran ternyata tidak pernah diterapkan dalam pembelajaran.

Guru harus kreatif mengubah perencanaan pembelajaran yang telah dikonsep demi menyesuaikan dengan kondisi siswa saat itu. Guru adalah seniman di dalam kelas yang harus cekatan, lincah, spontan mengubah keadaan dari tidak bersemangat menjadi bersemangat.

Sumber Belajar

Hasil akhirnya adalah siswa mampu memahami, menirukan, dan mengembangkan kompetensi yang tengah dipelajari dengan senang hati. Siswa adalah sasaran pembelajaran. Guru adalah sumber belajar agar siswa memahami dasar kompetensi yang tertulis di buku paket pedoman pembelajaran.

Buku paket adalah program pembelajaran yang langsung bisa diajarkan kepada siswa oleh guru yang kompeten atau ahli di bidangnya. Saya rasa tidak perlu lagi membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang memerlukan banyak waktu untuk menyusun.

Toh, sekarang zaman canggih. Dengan bantuan video, Youtube, dan lain-lain, teori yang diberikan guru tidak abstrak lagi. Tinggal unduh bahan ajar tersebut dan tinggal disajikan dan dibahas dengan siswa-siswa.

Mungkin perangkat yang masih relevan adalah daftar nilai untuk mengamati dan untuk memberikan nilai dari ujian sesuai materi yang telah disampaikan guru.

Sejalan dengan hal tersebut, Ki Hajar Dewantara memberikan konsep yang tepat untuk menilai hasil pembelajaran yang dilakukan oleh guru, yakni siswa bisa niteni, nirokke, dan nambahi.

Niteni berarti siswa mampu menyerap teori dasar, sehingga ilmu bisa dijadikan langkah-langkah reka ulang (nirokke/menirukan), kemudian memacu siswa untuk menambah (nambahi) atau mengembangkan menjadi karya baru yang lebih canggih daripada karya sebelumnya.

Dengan demikian berarti pembelajaran yang telah diberikan oleh guru berhasil dengan sukses. Siswa menguasai kompetensi dan mampu mengembangkan. Hasil pembelajaran seperti inilah yang mestinya menjadi tolok ukur penilaian oleh pengawas pendidikan.

Bukan urusan administrasi guru yan menjadi tolok ukur penilaian, tapi kemampuan siswa yang bisa diklarifikasi di dalam kelas. Jika siswa mampu menyerap ilmu dari gurunya, guru itu berhasil mengajar. Dia pantas dapat penghargaan tinggi.

Informasi Akurat

Ekstrem? Menurut saya tidak. Justru penilaian guru dengan instrumen klarifikasi kepada siswa malah lebih tepat karena pengawas pendidikan akan memperoleh informasi akurat apakah guru telah menjalankan tugas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi atau belum.

Dari sinilah kemudian pengawas bisa mengetahui apakah tugas guru untuk mengajar di kelas sudah dijalani atau belum. Saya yakin siswa lebih jujur menjawab dan kecil kemungkinan memanipulasi data.

Dengan menilai guru berbasis pengalaman siswa,  guru lebih berhati-hati menjalankan tugas. Kalau guru itu baik dan professional pasti menghasilkan murid-murid yang cerdas, kreatif, dan terampil mengembangkan kompetensi yang diraih dari guru tersebut.

Kalau guru tidak baik, pasti cara mengajar juga tidak baik, jam sering kosong, sering masuk tapi hanya memberikan tugas. Ibarat kita menilai seorang petani, kita jangan menilai alat-alat pertaniannya (administrasinya), tapi seharusnya menilai hasil pertaniannya (esensinya).

Belum tentu dengan alat-alat canggih hasil panen pasti melimpah. Belum tentu. Sama halnya menilai guru. Jangan menilai perangkat pembelajarannya atau administrasinya, tetapi tanyakan kepada murid-muridnya.

Bertanyalah kepada para siswa,”Sekarang kalian bisa apa setelah diberi pelajaran oleh gurumu? Coba jelaskan, peragakan?” Kalau siswa (hasil kerja guru) mampu menjelaskan berarti guru tersebut berhak mendapat nilai tinggi dari pengawas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya