SOLOPOS.COM - Maria Y. Benyamin (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Mulyati Gozali kaget setengah mati. Harga buah anggur di Buleleng, Bali Utara, dari tangan pertama atau petani hanya Rp500 per kilogram. Oleh pedagang, anggur itu dijual ke pasar dengan harga yang lebih tinggi. Itu sekitar 11 tahun yang lalu.

Ia sedih. Harga yang diterima petani, menurutnya, tidak pantas. Kerja keras menanti hasil panen yang panjang sia-sia. Petani mendapatkan harga yang tidak seberapa. Syukur-syukur buah anggurnya laku dengan harga itu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Terkadang harga yang ditawar jauh lebih rendah. Mereka harus rela melihat anggur menggantung di pohon hingga membusuk ketimbang dilepas dengan harga tak seberapa.

Lebih apes lagi, rata-rata petani anggur itu menanggung utang pada sebagian penadah. Alhasil, tak ada pilihan lain. Buah anggur itu tak bisa dijual kepada pihak lain. Peluang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi pupus.

Kegundahan ini yang akhirnya membuat dia sedih. Lalu berpikir keras untuk menolong para petani anggur. Singkat cerita, rantai ketergantungan petani anggur kepada satu pihak akibat utang diputus.

Mulyati sepakat mengambil anggur para petani di daerah Buleleng itu dengan harga jauh lebih tinggi, Rp7.500 per kilogram. Sempat galau untuk menjadikannya jus, namun nilainya tak seberapa. Paling tinggi Rp50.000 per botol.

Pilihan jatuh pada wine. Harga minimal bisa mencapai Rp300.000 per botol. Nilai tambah buah anggur meningkat. Petani lebih sejahtera. Banyak pekerja terserap.

Wine bermerek Sababay kini bersanding gagah dengan botol-botol wine dari luar negeri. Di kafe-kafe yang marak dikunjungi wisatawan. Termasuk turis asing.

***

Tur ke pabrik wine Sababay di daerah Gianyar, Bali, terjadi tak sengaja. Mendadak melipir ke daerah itu karena penasaran dengan cerita tentang Sababay. Sababay milik Mulyati Gozali. CEO Sababay kini di tangan sang putri, Evi Gozali. Manajemen Sababay memang membuka pabrik untuk dikunjungi.

”Biar orang bisa melihat langsung produksi wine kami. Anggurnya langsung dari petani Bali,” kata Mulyati. Inilah keunikan Sababay. Bahan baku utama memang berasal dari Buleleng, 100% produk lokal.

Kendati bersumber dari kebun lokal, kualitas anggurnya dijaga betul. Sejak awal sepakat membangun kemitraan, Mulyati langsung membina para petani. Mereka dibekali pengetahuan yang memadai. Mulai dari teknik menanam hingga masa panen yang paling tepat.

Hasilnya, kualitas buah anggur yang dihasilkan tak kalah bersaing dengan anggur impor. Ini pun memengaruhi kualitas wine yang dihasilkan. Mulyati sebetulnya memulai bisnis wine pada 2010.

Gianyar menjadi lokasi kilang wine. Butuh tiga tahun hingga produk wine Sababay meluncur ke pasaran. Tepatnya pada 2013. Sekarang produksi sejumlah jenis wine di pabrik yang berdiri di tanah seluas dua hektare itu baru di bawah satu juta botol per tahun.

Sababay memang memilih tidak terlalu agresif. Ini semata-mata karena alasan ingin menjaga kualitas anggur dan konsistensi produksi. Sababay bukan pemain pertama dan satu-satunya di Bali. Ada beberapa nama yang memang bermain di bisnis ini.

Mereka dalah Bellisimo, Cape Discovery, Hatten Wines, Bali Wein, dan Isola. Tidak semuanya memproduksi wine yang bersumber dari anggur lokal yang benar-benar dihasilkan oleh petani Indonesia. Pasar wine di Indonesia memang terbilang cukup menggiurkan.

Jumlah penduduk dan potensi pariwisata yang besar menjadi sasaran empuk produsen wine dari luar negeri. Tidak ada data yang pasti soal berapa konsumsi wine di negeri ini per tahun. Seberapa besar pasar wine di Indonesia bisa kita lihat dari angka impor wine.

Menurut data Kementerian Perdagangan, wine yang masuk ke pasar dalam negeri mayoritas jenis wine dengan kandungan alkohol tidak melebihi 15%. Pangsa pasar pada 2020 tercatat sebesar 97,87% dengan nilai mencapai US$4,16 juta.

Data yang sama menunjukkan tren impor selama periode 2016-2020 meningkat tipis 0,01%. Pada Januari-Februari tahun ini, impor wine meningkat signifikan hingga 92% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Itu dari sisi nilai. Dari sisi volume, impor wine sepanjang dua bulan pertama tahun ini tercatat melonjak signifikan hingga 385%. Dari sisi negara asal, Indonesia banyak mengimpor wine dari Australia. Pangsa impor dari Negeri Kanguru mencapai 32% dengan nilai US$1,36 juta.

Negara asal impor lainnya adalah Prancis, Chile, Italia, Amerika Serikat, Argentina, Selandia Baru, Afrika Selatan, Spanyol, dan Kanada. Dari data itu terlihat bahwa pasar di dalam negeri cukup menggiurkan.

Tak mengherankan negara lain pun kian agresif memasuki pasar Indonesia. Buktinya, impor terus meningkat. Impor memang tidak sepenuhnya salah. Toh, ada pasar khusus yang memang menggemari wine dari negara tertentu.

Ada orang-orang yang juga fanatik terhadap merek anggur dari negara tertentu, namun ini tidak berarti pasar wine di dalam negeri harus dikuasai oleh wine  impor. Bagaimanapun, produk lokal harus mulai diberi panggung sehingga turut mendapat tempat di pasar lokal.

Bicara pasar lokal tentu targetnya bukan masyarakat Indonesia saja. Sebagai salah satu negara tujuan pariwisata yang potensial, pasar wine memiliki potensi yang sangat besar. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan dalam kondisi normal—sebelum pandemi Covid-19—kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia mencapai lebih dari 16 juta orang pada 2019.

Pemerintah telah menargetkan kunjungan hingga 20 juta orang sebelum pandemi Covid-19 menyerang. Bali menjadi destinasi utama wisatawan mancanegara. Wisatawan mancanegara yang mengunjungi Bali pada 2019 sekitar 6,2 juta orang.

Turis lokal yang berkunjung ke Pulau Dewata mencapai 10,5 juta orang. Jumlah wisatawan sebanyak ini tentu menjadi modal potensial bagi pertumbuhan pasar  wine lokal. Memang tidak mudah bersaing dengan produk impor yang lebih dulu mendapat tempat di hati para konsumen.

Dalam kondisi ini, ketika harus bersaing dengan produk sejenis dari pasar luar negeri, inovasi tentu menjadi kunci untuk bersaing dengan produk impor. Sababay, misalnya, menciptakan wine yang bisa disajikan dengan berbagai makanan asli Indonesia, mulai dari rendang, singkong goreng, dan keripik pisang.

Alih-alih memasangkannya dengan beragam makanan ala kaum bule yang selama ini dikenal paling cocok berpadu dengan wine. Seruan Presiden Joko Widodo belum lama ini untuk mencintai produk dalam negeri menjadi angin segar bagi kalangan dunia usaha yang menghasilkan produk lokal.

Setidaknya mulai ada dukungan dari pemerintah. Dukungan lain lewat kebijakan dan insentif tentu diperlukan agar produk dalam negeri, termasuk wine, bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bukan justru menjadi tamu.

Hal ini juga tengah menjadi fokus Kementerian Perdagangan. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi juga melihat potensi yang besar dari buah-buah lokal untuk diolah lebih lanjut menjadi produk bernilai tambah. Tak hanya anggur yang diolah menjadi wine.

Hasil olahan buah lokal yang dihasilkan dari kebun petani tak hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri, yang juga diisi oleh produk impor. Potensi ekspor masih terbuka lebar. Ini tentu menjadi harapan kita bersama.

***

Ini soal pilihan. Produk impor atau produk lokal. Namun, jika sasarannya adalah terciptanya multiplier effect bagi Indonesia, tentu saja pilihannya adalah produk lokal. Yang dihasilkan oleh tangan-tangan terampil negeri sendiri. Juga dari kebun milik petani lokal.



Di meja makan Anda nanti, yang tersaji adalah singkong goreng, keripik pisang, atau rendang dengan segelas wine lokal. Keduanya akan menyatu sempurna. Dengan sensasi rasa yang tak kalah nikmat. Dibandingkan dengan steik dan wine impor tentunya.

 

 

 

 

 

 

 

 







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya