SOLOPOS.COM - Ilustrasi pandemi Covid-19. (Freepik)

Solopos.com, SOLO-Menko Airlangga Hartarto menyatakan bahwa Indonesia sedang menyiapkan roadmap transisi Indonesia dari pandemi Covid-19 menjadi endemi. Apakah ada kriteria untuk memasuki endemi?

Selain itu apakah sebenarnya Indonesia sudah siap transisi ke endemi Covid-19? Ahli Patologi Klinis Tonang Dwi Ardyanto mengatakan agar hati-hati memaknai endemi Covid-19.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Menurutnya, kondisi endemi itu bukan kondisi yang diharapkan di Indonesia maupun di dunia. Itu kondisi terpaksa, mau tidak mau dijalani, karena sebenarnya Covid-19 belum benar-benar dapat dieradikasi.

Kondisi endemi itu berarti kasus masih ada, diharapkan serendah mungkin sehingga tidak berisiko bagi kapasitas pelayanan kesehatan, dengan angka kematian juga serendah mungkin mendekati nol. Dia mengatakan sedangkan saat ini kasus masih tinggi, meski memang diharapkan sudah melewati puncak Omicron. Tapi angkanya masih relatif tinggi. Selain itu,  yang tidak kalah penting, angka kematian masih belum melewati puncak. Kita masih perlu waktu untuk benar-benar melandai.

Baca Juga:  Waspadai Risiko Reinfeksi Omicron Lebih dari Sekali dalam 20 Hari

“Harapan bahwa Ramadan dan Lebaran kali ini, bisa lebih nyaman kita lewati, bukan berarti saat itu sudah tepat disebut masuk fase “endemi”, ujarnya dikutip dari Bisnis.com pada Jumat (4/3/2022).

Yang kita harapkan adalah kasus mulai sangat landai, angka positivitas terjaga di bawah 5%, kasus kematian sudah sangat rendah, angka reproduksivitas jauh di bawah 1. Maka dengan kondisi itu, kita bisa melonggarkan diri agar sedikit lebih nyaman. Setidaknya lebih nyaman daripada 2 Lebaran sebelumnya.

Bagaimana indikator menguji kasus rendah dan kematian rendah tersebut?

indikator endemi Indonesia
Indikator pandemi. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Untuk bisa mengukur itu, berarti harus tahu ukuran pandemi. Instrumen yang tepat adalah 3T dengan kuncinya adalah testing. Dia juga mengatakan kapasitas testing di Indonesia masih rendah. Akibatnya, kita mengukur pandemi seperti meraba gajah. Tentu tidak realistis berharap mendapatkan gambaran yang tepat. Menghadapi ini, akhirnya kita mudah terjebak: antara rasa aman semu atau malah paranoid. Merujuk pada gambar di atas, lanjutnya, pada bagian tengah, kapasitas testing kita sekadar “pas”, atau standar minimal.

Baca Juga: Jadi Tempat Awal Munculnya Covid-19, Wuhan Kini Diserang Omicron

Maka kita hanya bisa mengukur tapi tidak bisa berusaha mengikatnya. Jadi kita hanya bisa mengikuti iramanya, sampai saatnya secara alamiah, pandemi akan turun gelombangnya. Ketika gelombang naik lagi, harus mengikuti lagi. Begitu seterusnya. Pada bagian kanan, kapasitas testing kita jauh melebihi ukuran pandemi. Maka tidak hanya sanggup mengukur dengan tepat, sekaligus juga mampu “mengikat” dan akhirnya memutus lingkaran pandemi, agar mengecil. Ini yang diharapkan. Idealnya, kita mengikuti pola gambar paling kanan. Tidak mudah. Dengan kapasitas tes yang tinggi, seperti di Jakarta sebagaimana kota-kota besar lainnya, diestimasikan bahwa jumlah kasus sebenarnya adalah 10 kali lipat yang terlaporkan. Dengan demikian, ada target yang lebih jelas.

Di luar Jakarta, sangat variatif, walau secara umum, kita masih kurang kapasitasnya. Ada kemungkinan kita masih seperti gambar paling kiri. “Dengan keterbatasan soal tes, dan menyadari situasi ini, tentu kita bijak untuk berhati-hati menilai dan menyimpulkan sudah berapa ukuran pandemi ini sehingga tidak tergesa-gesa menyatakan sudah masuk fase endemi,” tambahnya.

Dari sisi tes itu sendiri, bagaimana tentang angka positivitasnya?

Untuk mengukurnya, kunci utama adalah seberapa kapasitas tes kita. Ada beberapa syarat yang secara umum disepakati sebagai indikatornya. Pertama, rendahnya kasus itu sinkron dengan angka positivitas yang rendah. Diharapkan di bawah 5%. Semakin rendah, semakin baik. Berapa posisi kita? Per 27/2/2022 data di laman Ourworldindata Positivity Rate (PR) 17.96%. Padahal saat itu, PR untuk PCR adalah 39,85%. Mengapa dilaporkan 17.96%, karena digabung dengan PR tes antigen.

Padahal tentu kita tahu, yang tes antigen negatif, belum tentu PCR nya juga negatif. Jadi dalam sudut pandang mengambil risiko terburuk, seharusnya PR kita tetap dilaporkan 39,85%. Artinya? Masih jauh dari batas <5%. Belum lagi kita bisa lihat bahwa saat ada laporan kasus harian yang tinggi, cenderung saat itu juga jumlah PCR kita tinggi. Sebaliknya, saat laporan harian rendah, maka cenderung jumlah PCR hari itu juga rendah. Setelah sempat turun 2 hari kemudian, kemarin per 2 Maret 2022, kembali angkanya naik ke 38,69% sedangkan gabungan pada 15,73%.

Baca Juga: Kapan Puncak Kematian Varian Omicron? Ini Kata Menteri Kesehatan

Kalaupun misalnya kita bersikukuh hanya melihat PR gabungan yang relatif turun, tapi tetap terlihat bahwa angkanya masih naik turun, belum dapat dikatakan stabil. Yang ideal tentu adalah benar-benar PR PCR di bawah 5% dan bertahan stabil dalam waktu setidaknya 3 kali masa inkubasi 14 hari. Dengan syarat bahwa jumlah tes tetap cukup, di atas standar minimal, agar kita mendapatkan gambaran jelas tentang ukuran pandemi, seperti dibahas pada tulisan sebelumnya.

Jumlah penduduk yang sudah mendapat dosis lengkap sudah 68% tinggal sedikit lagi menuju ke 70%?

Angka itu benar BILA yang menjadi acuan adalah target sasaran. Besar target sasaran adalah jumlah minimal yang dianggap cukup untuk menuju ke herd-immunity. Awal dulu ditetapkan 182,5 juta (67% dari total penduduk) saat vaksinasi baru untuk usia 18 tahun ke atas. Pada perjalanannya, diperluas ke usia 12-17 tahun, sehingga target sasaran menjadi 208 juta atau sekitar 77% dari total penduduk. Setelah itu diperluas lagi ke anak-anak 6-11 tahun, sehingga target sasaran pada 234,5 juta (85,7%). Dalam laporan yang setiap hari dirilis pemerintah, yang menjadi target acuan adalah target sasaran 208 juta tersebut. Hal ini tidak salah, karena acuan itu penting dalam menilai kinerja program kita. Hanya menjadi keliru bila dimaknai bahwa persentase capaian itu menggambarkan proporsi penduduk yang diharapkan telah mendapatkan kekebalan dari vaksinasi. Ini yang disebut target populasi. Harapannya, minimal 70% penduduk telah tervaksinasi. Apakah kalau sudah 70% itu pasti aman? Itu estimasi minimal.

Tentu saja, semakin banyak, semakin baik. Pada foto terlampir, ditunjukkan persentase cakupan vaksinasi, berbasis target sasaran dan target populasi masing-masing, dan kelengkapan dosis 1, dosis 2 atau dosis 3. Dapat dilihat bahwa secara target sasaran, telah tercapai 69,41% penduduk telah tervaksinasi dosis lengkap. Ini yang kemudian dirujuk pada berita beberapa hari kemarin. Kita apresiasi pencapaian ini. Dari sisi target populasi, saat ini tercapai 52,78% penduduk yang telah tervaksinasi dua dosis. Artinya memang masih relatif jauh dari target 70%.

Kapan estimasi tercapai minimal 70% tersebut?

Pada Juni 2022 nanti penduduknya mencapai 275.487.018 (berbasis rata-rata pertambahan per bulan sejak September 2020 sampai Desember 2021). Dengan rata-rata kecepatan pemberian dosis 2 pada 7 hari terakhir, maka kita akan mencapai minimal 70% itu pada tanggal 28 Juli 2022. Tentu akan bisa lebih cepat, bila kecepatan dosis 2 juga meningkat. Itulah kondisi kita dari sisi cakupan vaksinasi. Itu angka nasional. Bila dilihat lebih spesifik, saat ini baru 3 propinsi yang secara populasi sudah mencapai minimal 70% dosis lengkap: DKI, Bali dan DIY. Itu artinya, di propinsi-propinsi lain masih bervariasi.

Baca Juga: Apakah Tes Covid-19 Saat Sakit Flu Maka Hasilnya Pasti Positif Corona?

Sementara itu, ahli penyakit dalam dr Adininggar mengatakan apapun keputusan pemerintah maupun WHO nantinya yang jelas endemi itu bukan berarti kita bisa hidup normal seperti dulu sebelum pandemi. Justru, katanya, endemi ini adalah wujud kegagalan manusia dalam melawan virus ini, akhirnya win win solution-nya adalah manusia yang harus beradaptasi dengan virus.



“Virus ini akan terus ada di sekitar kita, mungkin kita akan menghadapi gelombang-gelombang kasus tiap ada varian virus baru, dan yang penting, virus ini masih akan terus berbahaya untuk populasi rentan,” katanya.

Karena itu, dia tetap mengimbau masyarakat melakukan hal-hal sebagai berikut

– Disiplinlah prokes tiap beraktivitas

– Modifikasi aktivitas/tempat aktivitas anda supaya berisiko penularan rendah

– Pola hidup sehat supaya anda tidak menjadi populasi rentan

– Kontrol penyakit komorbid

– Pemerataan cakupan vaksinasi

– Vaksinasi booster terutama untuk populasi rentan

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya