SOLOPOS.COM - Siti Latifah Herawati Diah (Antara)

Solopos.com, JAKARTA — Google Doodle memperingati hari kelahiran tokoh pers wanita Indonesia, Siti Latifah Herawati Diah, pada Minggu (3/4/2022).

Wartawan senior di Indonesia itu lahir di Tanjung Pandan, Belitung pada 3 April 1917 silam. Ia adalah istri dari tokoh pers yang juga mantan Menteri Penerangan, BM Diah. Siti Latifah meninggal dunia di usia 99 tahun di Rumah Sakit Medistra Jakarta, Jumat (30/9/2016).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Seperti dikutip dari Antara, Jumat kala itu, jenazah Siti Latifah dimakamkan setelah salat Jumat di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Ia beristirahat di samping makam sang suami, Burhanuddin Muhammad Diah. BM Diah yang lahir pada 7 April 1917 telah meninggal pada 10 Juni 1996.

Baca Juga : Sosok Siti Latifah Herawati Diah yang Menjadi Google Doodle Hari Ini

Ekspedisi Mudik 2024

Herawati, sapaan akrabnya, adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ibunya Siti Alimah binti Djojodikromo dan ayahnya bernama Raden Latip. Ayah Herawati seorang dokter. Raden Latip lulusan sekolah dokter Stovia tahun 1908 dan membuka praktik di pulau tetangga Bangka. Ia ahli medis perusahaan tambang timah Belanda.

Saat penyusunan cetakan kedua Ensiklopedia Pers Indonesia (EPI) terbitan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 2010, Herawati pernah menyatakan tentang pendidikan yang ditanamkan ibunya, Siti Alimah.

Alimah mendorong anak-anaknya untuk merangkul gaya hidup barat tanpa melepas pendidikan agama Islam dan tradisi. Dorongan itu bertujuan mengimbangi kaum penjajah Belanda.

Baca Juga : KABAR DUKA : Tokoh Pers Herawati Diah Berpulang di Usia 99 Tahun

Pada tahun 1941, Herawati menjadi wanita pertama di Indonesia yang berhasil meraih gelar sarjana dari luar negeri. Ia menjalani studi di Barnard College, Universitas Columbia, New York, AS. Pada musim panas ia belajar jurnalistik di Universitas Berkeley, California.

Sekpri Menlu Pertama

Selesai studi, Herawati kembali ke Indonesia. Saat itu, Jepang menyerbu ke selatan dan menggulingkan semua pemerintahan jajahan Eropa di Asia Tenggara. Ternyata, latar pendidikan Amerika yang dimilikinya sangat diperlukan menghadapi peristiwa-peristiwa genting di Indonesia. Herawati terdorong menjalankan tugas-tugas jurnalisme.

Dia setengah dipaksa bekerja di stasiun radio penguasa militer Jepang yang membutuhkan penyiar berbahasa Inggris untuk keperluan propaganda. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dia sempat menjadi Sekretaris Pribadi (Sekpri) Menteri Luar Negeri (Menlu) pertama Indonesia, Achmad Soebardjo.

Herawati membantu suaminya menerbitkan koran pro-Indonesia Merdeka. Saat itu, menurutnya Indonesia yang baru merdeka membutuhkan media komunikasi untuk melawan Belanda dan Sekutu yang ingin memulihkan rezim Hindia Belanda. Beredar harian Merdeka sejak 1 Oktober 1945.

Baca Juga : Profil Sandiah Alias Ibu Kasur yang Tampil di Google Doodle Hari Ini

Oktober 1954, dia memimpin harian baru berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Media massa itu berfungsi mengkampanyekan aspirasi kemerdekaan RI dan negara-negara yang masih terjajah. Semangat merdeka bagi negara yang masih terjajah menggelora sejak penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung.

Jurnalistik dan Perempuan

Khusus mengenai jurnalistik dan perempuan, Herawati menilai ada kesalahan. “Salah satu kesalahan itu pengucilan berita penting bagi umat manusia sebagai sekadar berita wanita. Berarti itu tidak dianggap penting. Padahal, sebenarnya menyangkut lebih dari separuh penduduk dunia. Persoalan wanita adalah persoalan setengah dunia, bukan persoalan sekelompok kecil masyarakat,” ujarnya.

Herawati sempat menyatakan banyaknya wartawan perempuan cukup melegakan dirinya. “Kini meningkatnya jumlah wartawan perempuan di dunia pers membesarkan hati saya. Saya yakin banyak yang sependapat dengan saya. Wanita dalam posisi lebih baik untuk memperjuangkan nasib sesamanya daripada laki-laki,” tutur dia.

Baca Juga : 3 Fakta Nh Dini Ibu Kreator Minions di Google Doodle Hari Ini

Herawati juga pernah mendampingi suaminya yang diangkat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Cekoslowakia, kemudian Inggris dan terakhir Thailand dalam periode 1959-1968.

Hingga akhir hayatnya, ia tetap rajin menulis dan membaca media massa berbahasa Indonesia maupun asing. Bahkan, Herawati menulis sejumlah buku berbahasa Indonesia dan Inggris. “Biar tidak cepat pikun,” ujar Herawati Diah penerima Bintang Mahaputra pada 1978.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya