SOLOPOS.COM - Giyato, Guru SMPN 2 Jatiyoso Karanganyar, Alumnus Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (ist)

Giyato, Guru SMPN 2 Jatiyoso Karanganyar, Alumnus Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (ist)

Guru saat ini menjadi profesi pilihan karena menjanjikan kesejahteraan yang menggiurkan. Peran guru memang sangat signifikan terhadap kemajuan sebuah bangsa.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Pemerintah Indonesia ingin bangsa ini meniru bangsa Jepang yang begitu peduli terhadap guru. Salah satu bentuk kepedulian pemerintah tersebut adalah program sertifikasi guru beserta segala regulasinya.

Sebenarnya program sertifikasi untuk menentukan kelayakan guru sebagai agen pembelajaran, meningkatkan proses dan mutu pendidikan, meningkatkan profesionalisme guru dan yang tidak kalah pentingnya untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Mereka diharapkan fokus dan sungguh-sungguh menjalankan tugas.

Akan tetapi, sertifikasi guru ternyata menyisakan berbagai hal timpang. Masih sangat jauh dengan harapan. Mengapa saya katakan demikian? Karena sertifikasi guru justru merugikan siswa. Siswa yang menjadi korban demi sertifikasi para guru. Ada berbagai alasan mengapa saya mengatakan seperti itu.

Pertama, kurikulum yang dibuat di sekolah tidak berdasarkan analisis kebutuhan siswa, tetapi berdasarkan kebutuhan guru agar guru tetap mendapat tunjangan sertifikasi.

Sebagai contoh, sebenarnya siswa membutuhkan tambahan jam pelajaran untuk  mata pelajaran (Mapel) Matematika dan Bahasa Inggris karena keduanya dirasa lebih sulit.

Akan tetapi, karena kebanyakan guru yang sudah tersertifikasi adalah guru Mapel Bahasa Indonesia atau muatan lokal (Mulok), alokasi waktu lebih banyak diberikan pada Mapel Bahasa Indonesia atau Mulok itu.

Kedua, siswa sering ditinggalkan guru karena mengurus administrasi sertifikasi. Untuk mendapatkan tunjangan sertifiksi, guru secara berkala harus mengurus berbagai administrasi. Tidak jarang para guru meninggalkan kewajiban dengan alasan “mengurus nasib”.

Parahnya, terkadang guru tidak memberi tugas kepada siswa sehingga kelas menjadi ramai dan mengganggu kelas lain.

Ketiga, siswa belajar bersama guru yang menurut mereka “kurang nyaman”. Di berbagai sekolah ketika saya amati (bukan penelitian mendalam)  untuk mengetahui penilaian mereka terhadap guru yang mengajar, rata-rata mereka mengatakan tidak begitu menyukai guru tersebut karena ketika menerangkan tidak mudah dipahami, membosankan, tidak kreatif dan inovatif, gagap teknologi, tidak “gaul” (maksudnya luwes), sering terlambat, sering ditinggal dan galak.

Memang pembagian jam mengajar selama ini  tidak berdasar kompetensi guru, tetapi berdasarkan siapa yang sudah tersertifikasi dan siapa yang belum. Secara formal hal ini benar karena guru yang sudah tersertifikasi adalah guru yang dianggap profesional.

Akan tetapi, secara substansial apakah guru yang sudah tersertifikasi lebih profesional dibandingkan guru yang belum tersertifikasi?

Bukankah kuota sertifikasi selama ini berdasarkan usia, masa kerja  dan daftar urutan kepangkatan? Memang ada pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) dan ada ujian untuk lulus atau tidak, tetapi guru-guru yang masih muda tentu belum masuk kuota sehingga belum bisa ikut PLPG.

Guru-guru yang belum tersertifikasi mengalah untuk memenuhi jam mengajar mereka. Padahal, bisa jadi guru-guru yang belum tersertifikasi itulah yang dinanti-nanti siswa.

Berdasarkan berbagai alasan di atas, hendaknya mekanisme sertifikasi dibenahi. Kurikulum seharusnya berdasar analisis kebutuhan siswa dan dalam membagi jam mengajar hendaknya berdasarkan kompetensi guru.

Ada satu unsur yang selama ini belum dimasukkan yakni pelibatan siswa dalam menilai kompetensi guru. Dalam hal ini tentu berbeda dengan penilaian kinerja guru atau supervisi kunjungan kelas yang telah menjadi kewenangan kepala sekolah maupun pengawas.

Siswa dilibatkan untuk menilai guru dengan pemberian angket. Pelibatan siswa tersebut bisa diberi bobot 30%. Di lembaga-lembaga pendidikan swasta, semacam bimbingan belajar,  hal ini sudah banyak dilakukan.

Gaji guru (tentor) pada bimbingan belajar  tergolong grade A, B atau C tergantung penilaian siswa. Adapun aspek yang dimasukkan dalam kriteria angket adalah kedisiplinan, kemampuan menjelaskan, kemampuan menjawab soal, motivasi, kenyamanan dalam pembelajaran dan humor.

Tidak ada salahnya sekolah-sekolah formal meniru cara yang dilakukan lembaga pendidikan nonformal. Pelaksanaannya dapat melibatkan tenaga kependidikan (TU).

Siswa setiap akhir semester disuruh mengisi angket tentang kinerja guru. Jika ternyata ada guru yang penilaiannya jelek, kelas tersebut bisa diganti dengan guru yang lain pada semester mendatang. Ini akan menjadi bahan refleksi para guru untuk meningkatkan kompetensi.

Diakui atau tidak, beberapa tahun terakhir terdengar kabar dari dunia pendidikan yang memilukan sekaligus memalukan.

Pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah.Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505 orang, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA dan 63.961 guru SMK.

Kedua, tercatat 15% guru mengajar tidak sesuai dengan keahliannya. Bahkan sebagian guru justru melanggar etika sebagai pendidik dengan membocorkan soal-soal ulangan, memfasilitasi kecurangan dalam Ujian Nasional, ikut menjual buku-buku pelajaran dari penerbit yang memberi komisi memuaskan, atau ikut terlibat sebagai saksi yang menutup mulut atas beberapa tindakan manipulasi dan korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola sekolah.



Berapa banyak siswa yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? Sungguh memprihatinkan dan mengenaskan. Ini bencana dunia pendidikan.

Semestinya guru menjadi pribadi yang dicintai murid-muridnya, seperti Pak Harfan dan Bu Muslimah dalam  Laskar Pelangi (Andrea Hirata, 2008).

Bagaimana guru di mata murid-muridnya? Berikut ini kutipannya. ”Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar menunggu untaian kata berikutnya.”

Guru adalah ujung tombak pembangunan peradaban dan kebudayaan bangsa. Di tangan merekalah akan terlahir insan-insan cendekia yang kreatif, inovatif dan berbudi pekerti mulia.  Oleh karena itu, sertifikasi guru hendaknya menguntungkan siswa, bukan merugikan siswa!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya