SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Sepasang Mata Elang (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Riuh anak-anak muda berdesak-desakan dalam gelombang manusia di depan halaman Ataturk Museum, dalam terik matahari Kota Ankara. Polisi tua itu terdesak.

Anak-anak muda, kaum buruh dengan mata beringas, mendorong, mendesak, dan mengurungnya. Polisi tua itu terhuyung dan seorang lelaki muda memukulnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tetapi Iskander, seorang rekan polisi, segera mengadang anak-anak muda yang bermata beringas menyerang polisi tua. Tubuh Iskander yang kekar, dengan sepasang mata elang, berkumis tebal, melindungi polisi tua dari serangan anak-anak muda di depan halaman Ataturk Museum, menuntut hak buruh.

“Kaukira, cuma kalian yang bisa ngamuk?” seru Iskander, berdiri di undak-undak yang lebih tinggi di depan halaman Ataturk Museum. Ia berkacak pinggang, menantang tiap anak muda yang terus meningkatkan keberingasan saat matahari berada di puncak ubun-ubun.

Seperti burung elang menyerang mangsa, ia menerjang anak-anak muda yang semula menyergap polisi tua. Anak-anak muda itu diterjang dengan pentungan hingga tercerai-berai, surut, dan tak lagi berani mengganggu polisi tua. Hingga matahari surut, barisan anak-anak muda di depan halaman Ataturk Museum mulai senyap, meninggalkan serakan sampah. Polisi tua masih berdiri sampai anak-anak muda bermata beringas benar-benar lenyap dari pandangan.

Keberingasan masih tersisa di wajah beberapa anak muda yang bertahan di jalan depan halaman Ataturk Museum. Matahari sudah tenggelam. Polisi menyemburkan gas air mata, mengusir anak-anak muda yang kelelahan berteriak-teriak sepanjang hari. Anak-anak muda itu berlarian. Mengumpat-umpat. Mengutuk. Berpasang-pasang mata mereka merah pedih. Jalan sepi. Polisi tua itu letih dan merencanakan sesuatu dalam hidupnya.

“Terima kasih kau sudah melindungiku,” kata polisi tua.

Iskander tampak tenang. Sepasang matanya masih tajam. Sepasang mata yang cemerlang, menyerang siapa pun yang memusuhinya. Ia masih tampak garang. Sama sekali tak terbayang kelelahan dalam wajahnya.

“Sudah sepantasnya aku menjaga keselamatan teman.”

“Aku merindukan pensiun,” kata polisi tua. “Ingin tinggal ke Konya, belajar tari sema, dan selalu ziarah ke makam Rumi.”

***

“Bagaimana mungkin kau bisa sampai dipenjara seperti ini?” tanya polisi tua itu ketika menengok Iskander di sebuah penjara Ankara. Ia memandangi rekan kerjanya itu dengan sepasang mata elang dan penjara seperti tak berpengaruh apa pun terhadap jiwanya. Sepasang mata Iskander tetap tampak tegar.

“Aku terdesak para demonstran yang beringas menyerang rekan-rekanku. Kulihat mereka bermata dajjal dan menggunakan kekerasan. Tak sadar aku mencabut pistol. Kutembak salah satu kepala dajjal paling beringas. Tepat di keningnya. Mati seketika. Berlumur darah.”

“Sebentar lagi kita pensiun. Kau sekarang berada di penjara,” kata polisi tua itu dalam suara yang tergetar. Ia masih ingat kebiasaan Iskander yang selalu melindungi teman-temannya dalam posisi terdesak dan teraniaya.

“Aku tidak ingin menyesali masa lalu,” tukas Iskander. “Aku bisa hidup dengan bertani gandum selepas dari penjara. Ladang gandumku luas di Tekirdag.”

“Kita akan tinggal berjauhan. Aku berniat pulang ke Konya.”

“Tapi aku merasa hati kita akan tetap dekat sampai kapan pun,” kata Iskander, dengan mata setajam elang. Ia seperti bisa membaca peristiwa yang akan datang – ruang dan waktu yang masih terselubung kabut. “Suatu ketika, aku akan mengunjungimu di Konya.”

Polisi tua itu tak tega meninggalkan penjara. Ia merasa akan berpisah dengan Iskander. Tinggal beberapa hari ia pensiun. Ia akan pindah dari Ankara, menetap di Konya, dan memasuki kehidupan sebagai penari sema.

***
Matahari musim panas tampak cemerlang. Pensiunan polisi mengunjungi Iskander di penjara. Ia bertemu istri Iskander yang bermata teduh dan Kemal, anak lelaki mereka yang bermata setajam elang. Tetapi, Kemal tampak lebih ramah. Kemal tengah menjalani pendidikan International Flight Training Center di Istambul. Ia ingin menjadi seorang pilot. Lelaki muda itu tampak lebih riang.

“Sudah waktunya saya pamit,” kata pensiunan polisi, menahan gugup. “Saya sudah pensiun. Kami segera pindah ke Konya.”

“Suatu hari kami akan mengunjungimu,” kata Iskander, seperti yakin dengan janji yang diucapkannya.

“Akan kutunggu kedatanganmu,” kata pensiunan polisi, berbasa-basi. Ia merasa tak mungkin lagi bertemu dengan keluarga Iskander. Ia berpikir betapa jauh jarak antara Tekirdag ke Konya.

Pensiunan polisi merasa bakal berpisah dan tak akan bertemu lagi dengan Iskander. Besok ia mesti meninggalkan Ankara. Ia sempat mengingat sepasang mata Kemal. Sepasang mata itu tak menakutkan. Tidak menyerang siapa pun yang menatapnya. Sepasang mata itu memancarkan ketangkasan, kecerdasan, dan keyakinan yang tangguh. Pensiunan polisi itu melihat kecemerlangan sepasang mata anak muda yang penuh harap. Bukan sepasang mata elang yang memburu lawan.

***

Seekor burung elang terbang berkitar-kitar di atas apartemen yang ditempati pensiunan polisi. Kabar apa yang dibawa burung elang? Dari beranda apartemen, pensiunan polisi memandangi burung elang yang terbang melayang-layang. Ia teringat akan Iskander yang memiliki sepasang mata setajam burung elang.

Pensiunan polisi tinggal seorang diri di apartemen Kota Konya. Ia ditinggalkan keluarganya. Mula-mula istrinya pergi dari apartemen dengan caci-maki dan sepasang mata menggugat, “Kau memberiku kehidupan yang membosankan!”

Seorang lelaki setengah baya membawanya pergi ke Pamukkale dan mereka akan menggarap ladang gandum. Pensiunan polisi tak bisa menghalangi kepergian istrinya yang berterus terang mengatakan tak bahagia hidup bersamanya. Pensiunan polisi melihat sepasang mata istri yang mengutukinya.

Tiga hari kemudian, Anka, putra sulung pensiunan polisi, berpamitan. Lelaki muda itu merencanakan petualangan hidup. Sepasang mata Anka penuh harap. “Izinkan aku meninggalkan Baba 1),” pinta Anka, tak bisa ditahan. “Aku akan kerja sebagai pemandu wisata turis di Istambul.”

“Berangkatlah, kalau memang itu kemauanmu,” kata pensiunan polisi. Ia menatap sepasang mata anak lelakinya yang penuh harap.

Pensiunan polisi belum merasakan kesepian tinggal di apartemen. Ia masih ditemani Akila, anak gadisnya. Tetapi, ketika Akila meminta diri untuk meninggalkannya, pensiunan polisi itu merasakan kekosongan hati.

Baca Juga: Kisah Tak Melulu Surga

Dengan Akila, pensiunan polisi itu biasa menyampaikan rasa sepi hari tua, ketika ia kehilangan teman-teman lama, dan belum menemukan teman-teman baru. Ketika Akila berpamitan untuk meninggalkan Kota Konya, pensiunan polisi itu merasakan entakan dalam dada.

“Kau mau meninggalkanku?”



“Aku sudah diterima sebagai pramugari penerbangan internasional,” balas Akila dengan sepasang mata yang jernih bercahaya. “Mohon restu Baba, aku mesti tinggal di Istambul.”

Hari-hari setelah kepergian Akila, pensiunan polisi bekerja sebagai aparat keamanan di Mevlana Museum dan menjalani hidup sebagai penari sema di Mevlana Cultural Centre.

Ia bertemu dengan berpasang-pasang mata yang teduh, penuh cinta, pemaaf, dan menenteramkan. Berpasang-pasang mata itu senantiasa memberinya kesejukan jiwa. Tak seorang pun tampak murung, apalagi menggugat.

Alangkah nyaman hidup di sebuah kota yang senantiasa memberinya pandangan mata yang teduh, penuh cinta, rida, dan memaafkan. Pensiunan polisi itu senantiasa bertemu berpasang-pasang mata yang tenteram ketika pergi ke Masjid Aziziye, Museum Kupu-kupu, Masjid Alaeddin, Seljuk Tower, Meram Baglari, Carabanserai, Kilistra, dan Konyanuma Panorama Museum.

Ia berpapasan dengan orang-orang bermata sejuk. Tak ditemukannya orang-orang bermata beringas serupa mata dajjal yang menampakkan api neraka.
Dalam senyap pagi, ketika minum cay 2) dan menikmati etli ekmek 3) di ruang tamu apartemen, pensiunan polisi tergeragap bangkit, mendengar ketukan pintu.

Ia dengar suara Akila beserta seorang lelaki muda. Ia membuka pintu, berhadapan dengan seorang lelaki muda, tegap, bermata elang, memancarkan ketangkasan, kecerdasan, dan keyakinan.

“Saya datang mengantar Akila,” kata Kemal, seorang pilot muda yang penuh keberanian. Di sisinya berdiri Akila dengan wajah bahagia. “Lain kali saya kemari bersama Baba dan Anne 4) untuk melamar pramugari cantik ini.”

Begitu saja pensiunan polisi itu memeluk Kemal, merasakan kerinduan pada Iskander.

“Bagaimana kabar ayahmu?”



“Baba sudah bebas dari penjara. Sekarang menggarap ladang gandum,” balas Kemal, menuntaskan rasa kangen pensiunan polisi. Akila tersenyum-senyum melihat pertemuan ayahnya dengan Kemal, seorang pilot, calon menantu.

***

Konya, Turki, Juli 2022

Pandana Merdeka, Januari 2023

 

1) Baba = ayah

2) Cay = teh Turki

3) Etli ekmek = roti dengan daging, khas Konya, Turki.

4) Anne = ibu



 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya