SOLOPOS.COM - DISKUSI FILM -- Para peserta menyimak diskusi film dokumenter mengenai fanatisme sepak bola yang digelar oleh Jurusan Sosiologi FISIP UNS di Balai Soedjatmoko, Solo, Kamis (20/10/2011). (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

DISKUSI FILM -- Para peserta menyimak diskusi film dokumenter mengenai fanatisme sepak bola yang digelar oleh Jurusan Sosiologi FISIP UNS di Balai Soedjatmoko, Solo, Kamis (20/10/2011). (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

(Solopos.com)- Ketika menyebut kata Arema, ingatan kita pasti langsung melayang kepada kelompok suporter bernama Aremania. Fanatisme Aremania pada klub yang bersimbol kepala singa itu tak terbantahkan. Setiap kali Arema bermain di markasnya, Stadion Gajayana Malang, puluhan ribu Aremania selalu menyerbu untuk memberi dukungan. Di luar lapangan hijau pun Aremania tetap menunjukkan kesetiannya. Layaknya agama kedua, Arema diamini dan diimani dalam setiap aktivitas Aremania.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Fenomena itu terekam lewat film dokumenter berjudul Arema Agama Kedua yang diputar di Balai Soedjatmoko, Solo, Kamis (20/10/2011). Film besutan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rio Armando ini bercerita tentang sejarah berdirinya Arema, fanatisme Aremania, hingga rivalitasnya dengan kelompok suporter Persebaya, Bonek.
Film berdurasi 50 menit itu dibuka oleh testimoni pendiri Arema, Lucky Acub Zainal tentang sejarah Singo Edan, julukan Arema. Bagi Aremania, Lucky adalah sosok yang paling disegani. Kelahiran klub kebanggaan Kota Malang itu pada 11 Agustus 1987 tak terlepas dari prakarsanya.

Di scene selanjutnya, Rio banyak menggali sejarah terbentuknya Aremania. Salah satu suporter Arema asal Jogja, Ferry Agusta, menyebut kelahiran Aremania tak lepas dari kekecewaan atas kelompok suporter terdahulu, Arema Fans Club (AFC). “AFC itu terlalu terpusat, sentralistik. Aremania gerakannya lebih kultural. Itu khasnya Aremania,” ujar Ferry berapi-api.

Rivalitas abadi Aremania dengan Bonek pun tergambar jelas dalam film yang dibuat medio Maret hingga Agustus 2010 ini. Pembakaran boneka buaya, kostum Persebaya yang diseret di aspal jalan, hingga keranda hijau bertuliskan Bonek adalah simbol-simbol perseteruan yang terekam di film itu. “Saya sebenarnya heran dan kecewa atas rivalitas ini. Filosofi sepakbola itu persatuan. Kalau malah memecah suku dan daerah lebih baik tidak usah ada sepakbola,” tukas Lucky. Selain Lucky Acub dan Ferry Agusta, Arema Agama Kedua menggaet narasumber seperti Ade D’Kroos, Ovan Tobing (pencetus nama Aremania) hingga Yudi Sumpil, sang dirigen.

Di samping pemutaran film itu, kegiatan yang diinisiasi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS ini menghadirkan pula film berjudul Ojo Wedi Dadi Abang karya Arum Tresnaningtyas Dayuputri. Film yang berkisah tentang kelompok suporter Pasoepati ini mengambil narasumber dari seorang Pasoepati cilik dan sang dirigen, Maryadi Gondrong.

Koordinator acara yang juga dosen Sosiologi UNS, A Romdhon, mengatakan selain pemutaran film, pihaknya menggelar diskusi yang dinarasumberi Rio Armando dan Maryadi Gondrong. “Rangkaian kegiatan ini adalah bagian dari diskusi kami tentang kota. Bagaimanapun, kehadiran suporter sepakbola telah banyak mewarnai perjalanan suatu kota,” paparnya.

Chrisna Chanis Cara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya