SOLOPOS.COM - Ahmad Baihaqi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO —Wah, cah Persela iki,” begitu respons seorang teman saat saya memperkenalkan diri di sebuah kelas ketika kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 2009. Saya memperkenalkan diri sebagai warga Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur.

Bukan soto atau pecel lele yang memang ciri khas Kabupaten Lamongan yang dilabelkan kepada saya. Saya malah dilabeli dengan Persela Lamongan, sebuah klub sepak bola yang berbasis di kabupaten itu, oleh teman saya. Saya hanya tersenyum-senyum kala itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tidak protes karena saya memang mendukung klub sepak bola yang berbasis di tanah kelahiran saya tersebut. Dalam benak saya muncul pertanyaan apakah Persela Lamongan sudah setenar soto dan pecel lele untuk mewakili “identitas” warga Lamongan?

Persela bukanlah klub top di Indonesia. Persela Lamongan tidak seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, atau Persebaya Surabaya. Klub berjuluk Laskar Joko Tingkir itu bahkan terdegradasi ke Liga 2 pada musim lalu.

Dalam beberapa musim terakhir, performa Persela memang menurun setelah bertahan di kasta tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia sejak 2003. Mereka sempat meraih puncak kejayaan pada era pelatih Miroslav Janu pada musim 2011/2012.

Saat itu Persela berada di posisi keempat klasemen akhir Indonesia Super League. Sebelumnya, pada 2009, Persela finis di urutan keenam klasemen. Tim dengan kostum biru muda ini memang kerap mencuri perhatian karena mampu menjegal klub-klub top kala itu.

Terutama saat bermain di kandang. Performa yang memukau tersebut bisa jadi membuat nama Persela kian menguat sejajar dengan soto dan pecel lele yang memang identik dengan Kabupaten Lamongan.

Identitas adalah jati diri. Dalam pandangan lebih luas, identitas bukanlah sebuah hal yang tunggal, mutlak, dan statis. Identitas bisa berasal dari keluarga, etnis, budaya, atau bahkan sektor lainnya seperti olahraga, dalam hal ini sepak bola.

Mengutip Iswandi Syahputra dalam buku Sepak Bola sebagai Identitas Budaya Massa, identitas dalah sebuah konsep yang sulit dipegang, bermakna berbeda untuk orang yang berbeda dalam situasi yang berbeda.

Berbagai hal bisa saja menjadi identitas seseorang. Seseorang bisa memiliki beragam identitas. Di dunia sepak bola, seseorang bisa memiliki beberapa identitas. Saya, misalnya, fanatik terhadap Liverpool FC, Persela Lamongan, atau tim nasional Indonesia.

Saya juga Kopites (pendukung Liverpool FC) dan LA Mania (pendukung Persela Lamongan).  Hal-hal yang terkait dengan kedua klub sepak bola itu sangat mungkin dikaitkan dengan saya. Yang teranyar tentu kabar mengenai ditiadakannya Liga 2 oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Sejumlah teman langsung mengirimkan pesan lewat aplikasi Whatsapp tentang nasib Persela yang dipastikan bakal lebih lama berkompetisi di kasta kedua karena kebijakan PSSI tersebut. Saya bukan lagi warga Kabupaten Lamongan karena telah punya kartu tanda penduduk Kabupaten Boyolali sejak 2020.

Menggelinding

Identitas saya sebagai pendukung Persela tetap melekat dalam pikiran teman-teman saya. Di sisi lain, kecintaan saya terhadap Persela juga tak luntur. Oleh karena itulah, ketika PSSI memutuskan meniadakan Liga 2, perasaan kecewa muncul.

Bukan hanya sebagai suporter Persela, namun juga sebagai pencinta sepak bola. Ada tiga alasan yang membuat PSSI menghentikan Liga 2. Pertama, ada permintaan penghentian Liga 2 dari sebagian besar klub.

Kedua, rekomendasi dari tim transformasi sepak bola Indonesia seusai tragedi di Stadion Kanjuruhan terkait sarana dan prasarana yang belum memenuhi syarat. Ketiga, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor10 Tahun 2022 yang mengatur perizinan dan pengamanan.

Tiga alasan tersebut tak semestinya membuat PSSI menghentikan liga, melainkan harus merumuskan dan memberlakukan kebijakan yang menjamin keberlangsungan kompetisi yang aman dan nyaman. Banyak orang yang menggantungkan nasib pada sepak bola.

Mereka adalah pemain, pelatih, staf, hingga orang-orang yang berjualan di area stadion. Selain itu, kompetisi sepak bola tanpa degradasi dan promosi hanya akan memunculkan celah berbuat curang. Tim-tim papan atas yang masih berpeluang menjadi juara berpotensi berbuat lancung demi memuluskan target.

Tim-tim di papan bawah akan merasa aman saja karena dijamin tak turun kasta. Tak ada lagi sportivitas, tak ada lagi berlomba-lomba menjadi yang terbaik dalam sebuah kompetisi. Antusiasme suporter klub Liga 2 jelas hilang.

Seperti saya yang tak lagi menggubris berita sepak bola nasional lantaran Persela yang vakum karena kompetisi berhenti. Identitas sebagai pendukung Persela Lamongan mungkin bakal terus melekat pada diri saya hingga akhir hayat, meski kini tak lagi tinggal di kabupaten itu.

Identitas saya sebagai suporter Persela mungkin sudah menggelinding seperti bola yang disepak dari ujung lapangan ke ujung lainnya. Semua merasakan, semua tahu. Kata penulis asal Lamongan, Mahfud Ikhwan, dalam buku Sepak Bola Tak Akan Pulang: jangan pernah berharap mengambil kembali bola yang sudah kadung menggelinding.

Jangan pernah mengharapkannya kembali. Ya, saya tak akan mengambil atau menghilangkan identitas yang sudah melekat, walau Persela kini di Liga 2 dan saya bukan warga Lamongan lagi. Biarlah seterusnya seperti itu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Januari 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya