SOLOPOS.COM - I Nyoman Masriadi (JIBI/Harian Jogja/Andreas Tri Pamungkas)

Seniman Miliader I Nyoman Masriadi dibandingkan pelukis lain susah untuk ditemui. Namun karyanya dikenal hingga mancanegara.

Harianjogja.com, SLEMAN-Namanya terus melesat, bahkan disebut-sebut menjadi motor booming lukisan kontemporer di kawasan Asia Tenggara. Pada bursa seni rupa Art Jog bulan lalu, lukisannya laku terjual Rp4,5 miliar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kehidupan pribadi I Nyoman Masriadi yang kini berusia 41 tahun itu terkesan penuh teka- teki. Ia jarang beredar di antara komunitas perupa di Jogja. Awak media juga tak mudah menemuinya secara langsung. Istrinya Anna, atau asisten Masriadi di Masriadi Art Foundation (MAF), Ida Ristiani, yang kerap menghubungkannya. Padahal, I Nyoman Masriadi adalah pelukis muda yang sangat menonjol di Indonesia.

Reputasinya juga diakui di level internasional. Lukisannya yang berjudul Shangri-La laku sampai Rp4,5 miliar di Art Jog tahun ini. Sebelumnya, karyanya yang berjudul Fatman yang menggambarkan Superman bertubuh tambun laku hingga Rp10 miliar di Shanghai, Tiongkok, pada 2013. Lukisan-lukisannya yang bernilai miliaran rupiah meliputi The Man From Bantul, Attack from Website, Home Champion dan Don’t Ask Me, Ask The President.

Sabtu (27/6/2015) siang di MAF yang terletak di kompleks Rumah Toko (Ruko) Bale Mulia Kav. 2-3, Sendangadi, Mlati, Sleman, Masriadi turun dari Toyota Fortuner hitamnya bersama seorang sopir. Rambutnya masih basah tapi tak beraturan. Bajunya serba hitam. Masriadi menuju dapur. MAF menempati dua unit ruko yang berdampingan. Satu unit luasnya 20 meter x 5 meter. Tembok pembatas keduanya direnovasi sehingga bagian dalam ruko tampak menyatu.

Logo MAF bewarna merah, dengan bintang sebagai pengganti huruf A. Bintang sangat disukai Masriadi. Di lengan tangannya, ia bahkan membuat tato tiga bintang merah sekaligus.

“Suka saja bintang. Tiga bintang itu kan jenderal,” ujarnya sambil berkelakar pada kesempatan lain wawancara dengan Harian Jogja di rumahnya, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman.

Di lantai dasar, MAF menjual berbagai pernak-pernak seperti kaus, buku catatan, hingga korek api yang didesain dari karya Masriadi. Lantai kedua digunakan sebagai ruang pamer. Ruko itu dibeli sekitar dua tahun lalu, seharga Rp700 juta untuk satu unit. Dalam kurun waktu itu, Masriadi memperbaikinya agar semakin layak menjadi ruang untuk memerkan karya seni.

MAF sangat berarti baginya. Awalnya, ruko itu rencananya ia bangun sebagai game center. Masriadi adalah penggila game. Dia ingin memindahkan kegemarannya menjadi ladang bisnis. Tetapi izin pendirian game center tak didapatnya. Akhirnya ia memilih mendirikan yayasan. Masriadi mengaku ingin lebih bermanfaat bagi orang lain. Idenya itu bukan berangkat lantaran Jogja kurang tempat untuk pameran karya, melainkan lebih pada niatnya untuk membantu para seniman muda.

Masriadi tak ingin apa yang dirasakan selama meniti karier sebagai perupa dialami oleh seniman- seniman muda. Pelukis kelahiran Banjar Blahtanah, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali ini tak ingin mengambil komisi atas penjualan karya seniman muda.

“Foundation enggak memotong kalau lukisan laku, mereka [pelukis] dapat semua [keuntungan],” ujar dia.

Masriadi mendorong seniman-seniman yang berusia di bawah 30 tahun sudah mulai berkarya secara profesional. Ia selalu terngiang pada pesan bapaknya untuk menentukan arah hidup begitu menginjak kepala tiga.

“Saatnya kamu bekerja. Kalau sudah 40 tahun enggak ada tenaga lagi,” begitu pesan bapaknya yang menjadi pematung tradisional di Bali.

Masriadi memulai pameran profesional pada 1998. Kala itu ia berusia 24 tahun. Waktu itu periode yang sulit baginya. Karena setelah menikahi Anna, ia praktis punya kewajiban mengurus keluarga. Ia memilih tak menamatkan sekolahnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, meski tinggal sedikit lagi ia melangkahkan kakinya untuk menyelesaikannya.

“Sudah KKN, mau skripsi, tetapi masih ketinggalan beberapa SKS. Susah bagi waktunya,” kata dia.

Ia kemudian kembali ke Bali dan mulai menjual lukisan kepada para turis di pasar seni dan beberapa galeri di Ubud. Setahun kemudian, ia memutuskan kembali ke Jogja karena melihat seni kontemporer lebih dapat berkembang.

Sewaktu sekolah, ada beberapa seniman yang ia kagumi seperti Jasper Jones, Pablo Picasso dan Affandi. Namun dalam perjalanan waktu, ia menjauh dari pengaruh mereka. Masriadi belajar dari kehidupan sehari-hari melalui permainan komputer, bacaan komik, seniman lain atau pergerakan seni lainnya. Ia menyebutnya sebagai pop-art.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya