SOLOPOS.COM - Ilustrasi sertifikat tanah. (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Sengketa tanah yang melibatkan pasutri terjadi di Bantul.

Harianjogja.com, BANTUL-Merasa ada yang janggal dengan proses lelang dua buah sertifikat tanahnya, Eni Mindarsih dan Cuk Harmono, pasutri warga RT 05 Jogoripan, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon berniat membawa perkara itu ke jalur hukum.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berawal dari kredit macet di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arum Mandiri Kenanga, Sewon, yang dialaminya 2008 silam, pasutri itu kehilangan hak milik kedua petak tanah yang masing-masing seluas 748 dan 450 meter persegi melalui proses lelang. Hanya saja, yang mereka persoalkan adalah ketidakterbukaan pihak-pihak terkait terkait proses lelang itu.

“Saat itu, sekitar tahun 2007, saya memang sempat pinjam uang di BPR Arum Mandiri Kenanga sebesar Rp100 juta. Tapi karena perekonomian saya drop, kredit saya macet di tahun 2008,” kisah Cuk Harmono saat ditemui di rumahnya, Jumat (12/6/2015).

Bermaksud untuk menyelamatkan asetnya itu, Cuk Harmono sempat menawarkan berbagai bentuk pengajuan keringanan kepada pihak bank.
Bahkan dikatakannya, ia sempat melayangkan surat tembusan ke pihak DPRD DIY dan Bank Indonesia. Puncaknya, adalah ketika menghadiri pelelangan yang digelar 17 Februari 2010 di Pengadilan Negeri, ia mengaku sempat dihalang-halangi oleh pihak bank. Akibatnya, dirinya pun tak mengetahui secara pasti kejelasan nasib sertifikatnya pasca lelang.

“Saya tahunya setelah 3 tahun berselang. Ketika saya dilarang mengolah tanah itu lantaran mau didirikan bangunan di atasnya,” ucapnya.

Dari situlah, ia baru mengetahui jika tanahnya sudah berpindah hak milik ke RR, seorang staf pengajar di salah satu kampus besar di Bantul, yang mengaku sebagai pemenang lelang. Bahkan ketika itu, RR pun telah menjualnya ke pihak ketiga. ”

Dari situlah, saya bingung. Saya coba cari informasi ke bank, selalu dilempar ke sana dan ke sini,” keluhnya.

Terkait hal itu, M. Rohmidhi Srikusumo selaku Kuasa Hukum dari pasutri tersebut menduga, pihak-pihak terkait sengaja menutup-nutupi terkait proses lelang itu. Menurutnya, ada mal-prosedur yang telah dilakukan oleh pihak-pihak tersebut terkait proses lelang aset milik kliennya itu. Salah satu contohnya adalah ketidakterbukaan pihak bank terkait hasil lelang.

Padahal, hasil lelang itu sangat penting bagi kliennya. Selain sebagai sumber kejelasan nasib asetnya, dari risalah hasil lelang itu, pihaknya bisa mengetahui besaran nilai lelang kedua sertifikat tanah itu.

“Kalau nilai lelangnya tidak jauh lebih besar dari tunggakan debitur, maka sudah seharusnya sisanya dikembalikan ke debitur, dalam hal ini adalah klien saya,” ungkapnya.

Dijelaskannya, ketika mengalami kredit macet, jumlah tunggakan kliennya adalah sebesar Rp70 juta. Hanya saja, pihaknya tidak mengetahui secara pasti berapa dan bagaimana penghitungan bunga dari sisa tunggakan itu.

“Inilah yang saya maksud dengan dengan ketidakterbukaan,” tegasnya lagi.

Terpisah, salah satu staf kredit BPR Arum Mandiri Kenanga yang enggan disebutkan identitasnya membantah jika terjadi mal-prosedur. Menurutnya, jika memang terjadi mal-prosedur, sudah barang tentu pihak Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) DIY selaku operator lelang dan Pengadilan Negeri Bantul selaku pihak penyelenggara tak akan menerima permintaan pihaknya untuk melakukan lelang.

“Buktinya, sampai pasca lelang semuanya clear dan tidak ada masalah. Justru saya yang bertanya, kenapa baru sekarang hal ini dipersoalkan lagi,” ujarnya, Kamis (11/6/2015) sore di kantor BPR Arum Mandiri Kenanga, Sewon.

Diakuinya, proses penagihan yang dilakukan pihaknya sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Bahkan dari tahun 2008 ketika kredit itu mulai macet hingga agunan itu dilelang, pihaknya masih memberikan kesempatan bagi pasutri itu untuk membayar tunggakan tersebut.

Sedangkan terkait dengan upaya penghalangan yang dilakukan oleh pihak BPR Arum Mandiri Kenanga seperti yang dituduhkan oleh pasutri itu, dirinya tak tahu menahu. Pasalnya, ia mengaku termasuk karyawan baru.

“Saya baru masuk ke BPR Arum Mandiri Kenanga setahun yang lalu,” imbuhnya.

Begitu pula terkait dengan nilai lelang kedua sertifikat tersebut, ia enggan menyebutkannya. Dirinya menegaskan, berdasarkan aturan perusahaan, dirinya tak memiliki kewenangan untuk membeberkannya ke hadapan publik. Diakuinya, baik nilai lelang maupun jumlah tunggakan pasutri itu, tak bisa dipaparkannya tanpa seijin dari debitur.

“Kalau debitur tak menerima uang sisa lelangnya, bisa jadi nilai tunggakannya impas dengan nilai lelangnya. Biaya lelang kan tidak sedikit. Bisa juga justru bank mengalami kerugian,” tegasnya

Itulah sebabnya, pihaknya justru menghimbau kepada masyarakat untuk menjalin komunikasi aktif dengan pihak bank, baik saat awal pengajuan kredit maupun saat penagihan. Diakuinya, banyak debitur terkadang menjalin komunikasi aktif hanya pada saat pengajuan.

“Tapi ketika ditagih, sulitnya minta ampun,” akunya.

Senada, Humas PN Bantul, Supandriyo mengakui pihaknya hanya melaksanakan amanat dari pihak bank dan KPKNL DIY yang menginginkan agar lelang itu digelar di PN Bantul. Itulah sebabnya, ia pun menolak jika PN Bantul dilibatkan terlalu jauh dalam sengketa ini.

Sebagai penyelenggara lelang, pihaknya sudah menempuh prosedur yang benar. Mulai dari pemanggilan, hingga menerbitkan surat pengumuman pemenang lelang pun diakuinya sudah dilakukan.(Arief Junianto)



Kronologi kejadian

  • Tahun 2007, Eni Mindarsih dan Cuk Harmono meminjam uang sebesar Rp100 juta dengan agunan berupa 2 buah sertifikat tanah yang luasannya masing-masing 748 meter persegi dan 450 meter persegi dengan bunga sebesar 2%. Dana itu kemudian dibelikannya truk untuk usaha angkutan barang.
  • Terkena dampak kenaikan harga BBM, usahanya pun drop. Alhasil, pasutri itu pun mengalami kredit macet. Mereka sempat menempuh berbagai prosedur pengajuan keringanan mulai dari restrukturisasi pinjaman hingga pendampingan UMKM, namun hal itu tetap ditolak oleh pihak bank.
  • Februari 2010 pihak bank lantas mengajukan 2 sertifikat itu untuk dilelangkan di PN Bantul. Lantaran tak mengetahui tanahnya telah dilelang, pasutri itu pun tetap memperlakukan tanah itu seperti milik mereka sendiri.
  • Barulah 2013 mereka mengetahui bahwa tanah itu telah berganti hak milik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya