SOLOPOS.COM - stop bullying (freepik)

Solopos.com, SOLO—“Ayo Lawan Perundungan dengan Persatuan.” Begitu bunyi kalimat yang saya lihat di antara banyaknya poster yang berjajar rapi dua bulan yang lalu di ruang aula dan kantin sekolahan saya. Poster-poster tersebut merupakan hasil karya peserta didik kelas X yang dipamerkan dalam rangka perayaan hasil belajar dalam proyek tahap pertama sekolah saya sebagai sekolah penggerak.

Poster-poster yang berjajar rapi dengan berbagai kreasi tersebut mengambil tema Sekolahku Antiperundungan. Tema ini sesuai dengan deklarasi sekolah saya yang merupakan sekolah ramah anak.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Awalnya, sebelum perayaan, peserta didik telah mengikuti seminar tentang perundungan. Mereka mempresentasikan apa yang mereka pahami tentang materi perundungan yang telah diberikan, menceritakan pengalaman yang pernah mereka alami atau ketahui tentang perundungan, serta menunjukkan komitmen apa yang akan mereka lakukan untuk menciptakan sekolah antiperundungan.

Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan dengan tujuan menanamkan kepada peserta didik tentang bahaya perundungan sekaligus sebagai sarana untuk menjadikan sekolah sebagai sebuah tempat yang aman dan nyaman bagi anak. Sekolah adalah tempat tanpa perundungan.

Seperti yang kita tahu, perundungan bisa terjadi di mana saja, baik dalam skala yang ringan maupun yang berat. Tapi, dalam bentuk dan tingkat skala apapun itu, perundungan tetap suatu hal yang tidak benar karena dapat menimbulkan dampak nagatif dari segi fisik maupun mental.

Ada banyak sekali penyebab munculnya perundungan. Salah satunya adalah karena perbedaan. Perbedaan jika tidak disikapi dengan benar berpotensi memunculkan perundungan dan bahkan berakibat pada munculnya konflik.

Seperti yang saya temui beberapa tahun lalu, tepatnya waktu saya bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Di tempat itu, ada siswa SD yang memanggil temannya dengan bukan panggilan sebenarnya, melainkan mengacu pada bentuk fisik.

Sipit

Kebetulan, waktu itu, di bimbel saya ada seorang anak keturunan Korea. Dia berbeda dibandingkan teman-temannya yang lain yang mayoritas adalah orang Jawa. Karena matanya yang lebih sipit dibanding teman-temannya yang lain, dia pun sering dipanggil “Sipit”.

Panggilan seperti itu berdampak pada munculnya kemarahan dan saling ejek satu dengan yang lain. Terkadang bahkan sampai terjadi pertengkaran. Tindakan perundungan seperti itu, yang mungkin mereka anggap sebagai lelucon antarteman yang dianggap sebagai hal yang sepele atau bahkan mereka tidak sadar telah melakukan perundungan, ternyata memberikan dampak negatif. Dampak itu dirasakan kedua belah pihak, terlebih karena mereka masih anak-anak.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), ada beberapa dampak yang timbul dari adanya perundungan. Dari sisi korban, akan berdampak munculnya rasa tidak percaya pada orang lain, depresi, rendahnya rasa percaya diri, munculnya perasaan yang tidak biasa, seperti marah, sedih, frustasi, tidak berdaya, serta merasa terisolasi dari lingkungan.

Sedangkan di sisi lain bagi pelaku, akan berdampak pada hilangnya rasa empati terhadap orang lain, berpikir bahwa perundungan adalah hal yang biasa dan bahkan memunculkan rasa puas, bahagia, hingga bangga karena bisa menindas orang yang lebih lemah atau dianggap berbeda. Selain itu, apabila pelaku dibiarkan seperti itu, tindakan perundungan yang awalnya dalam skala ringan atau bahkan diangap biasa saja, suatu saat dapat berpotensi menjadi tindak kriminal.

Kondisi seperti itulah yang harusnya membuat kita sadar bahwa perlu sedini mungkin menanamkan kesadaran kepada anak akan pentingnya saling menghargai dan menghormati orang lain. Kita perlu menanamkan kepada siswa bahwa manusia memang dilahirkan dalam kondisi berbeda-beda, bisa itu fisik, suku, ras, agama, maupun budaya. Perbedaan tersebut tidak seharusnya menjadi sebuah alasan untuk memunculkan permusuhan ataupun tindakan perundungan terhadap pihak lain.

Melalui keluarga, kita bisa memberikan contoh-contoh yang baik terhadap anak tentang saling menghargai dan menghormati orang lain. Contoh bisa ditunjukkan ketika kita bersosialisasi antaranggota keluarga ataupun ketika bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Sekolah pun dapat berkontribusi dengan memberikan pendidikan kepada anak tentang keberagaman, pentingnya toleransi, saling menghargai dan menghormati orang lain, serta pendidikan tentang bahaya perundungan.

Seluruh elemen di sekolah harus digerakkan untuk mengawasi dan memantau anak agar perundungan tidak sampai terjadi. Selain itu, semua elemen sekolah juga harus menjaga diri dalam bersikap agar jangan sampai tanpa sengaja memberi contoh yang tidak terpuji kepada peserta didik.

Tindakan-tindakan tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi tindak perundungan terhadap anak. Dengan demikian perlu kerja sama dan persatuan dari banyak pihak untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan perundungan.

Penulis adalah guru di SMAN 3 Solo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya