SOLOPOS.COM - Penjual perahu othok-othok di Sekaten Jogja (Arif Wahyudi/JIBI/Harian jogja)

Sekaten Jogja merupakan lokasi nostalgia terhadap mainan lama.

Harianjogja.com, JOGJA-Beragam jenis mainan dijumpai dalam gelaran Sekaten 2015 di Alun-Alun Utara Jogja. Mulai dari mainan modern hingga mainan tradisional dijajakan di sana.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Thok, othok, othok, othok.”

Itulah suara khas yang terdengar sebagai sambutan bagi pengunjung Sekaten yang masuk dari pintu sisi barat. Suara itu adalah bunyi yang dihasilkan oleh mainan kapal othok-othok, jenis mainan yang sangat familiar dengan Sekaten. Pasalnya sejak dulu hingga kini kapal othok-othok tetap eksis meski industri mainan modern banyak melakukan inovasi.

Kapal othok-othok tidak banyak yang berubah, tetap menyimpan ciri khas tersendiri. Sejak dulu ya bunyinya seperti itu, tetap othok-othok. Hanya bentuknya yang mengalami perubahan. Kini ada kapal othok-othok yang berukuran agak besar. Adapula kapal otok-othok berbentuk kapal layar sebagai upaya menarik minat pengunjung untuk membeli mainan ini.

“Kami juga ikut menyesuaikan dengan selera pasar. Enggak mungkin mainan ini bentunya hanya monoton. Bisa-bisa pengunjung enggak tertarik,” ujar Tohing, 23, penjual kapal othok-othok di arena Sekaten menuturkan kepada Harianjogja.com, Kamis (11/12/2015) malam.

Dengan ragam corak dan warna yang ada saat ini saja semakin sulit bagi Tohing untuk memikat pengunjung mau membeli kapal othok-othok dagangannya. Padahal harga yang dia tawarkan juga tidak terlalu mahal. Kapal othok-othok ukuran kecil hanya dia tawarkan Rp15.000 per bijinya. Untuk ukuran besar Rp20.000, sementara kapal layar dipatok Rp25.000.

Tohing tidak memungkiri, masa keemasan kapal othok-othok di setiap momen Sekaten sudah habis. Kapal othok-othok semakin tersisih oleh berbagai jenis permainan modern.

Laki-laki asal Cirebon itu sudah sewindu bergelut dengan dunia dagang mainan kapal othok-othok. Dari waktu ke waktu kondisinya semakin sulit. Berbeda dengan saat dia awal-awal menjalani bisnis mainan tradisional itu.

“Dulu sehari kalau pas ramai bisa laku hingga lebih dari seratus biji. Saat ini kalau ramai paling-paling hanya 50 biji,” terangnya.

Itu pun kalau ramai, 11 hari mulai membuka stan di Sekaten, dagangan Tohing belum laris. Rata-rata per hari hanya laku delapan hingga sepuluh biji. Pernah juga enggak laku sama sekali.

“Lebih ramai Sekaten tahun lalu. Sekaten saat ini sering hujan jadi ya pembeli makin sepi,” keluhnya.

Padahal datang ke Jogja dalam momen Sekaten ini Tohing benar-benar berharap ada peruntungan. Dia membawa 1.000 kapal othok-othok untuk dipasarkan. Sayang, 11 hari mengadu nasib di Sekaten, kapal othok-othok Tohing baru laku 10% saja.

Keliling Daerah

Pergelaran pasar malam seperti Sekaten sudah menjadi lahan bisnis bagi pegiat usaha seperti Tohing.

Di mana pun terdengar informasi ada pasar malam, di situlah motivasinya menyala untuk datang ke lokasi itu di mana pun lokasinya.

Kendati bisnis dagang kapal othok-othok semakin tidak menjanjikan, tapi orang seperti Tohing tidak menyerah. Dia tetap yakin ada peruntungan, meski laba yang dia dapat tidak banyak tapi setidaknya bisa mengirim uang bagi istri dan dua anaknya yang tinggal di Cirebon.

“Selama ini keliling Jawa, sebelumnya habis dari Tuban. Terus ke Jogja ini. Setelah ini langsung meluncur ke Semarang, enggak pulang dulu. Perkara uang untuk keluarga bisa lewat transfer,” paparnya.

Keliling daerah untuk mengadu nasib sudah menjadi hal yang biasa bagi dia dan rekan seprofesi.
Tak ayal untuk urusan tidur pun di tempat mana pun jadi, yang penting ada alas untuk berbaring. Berbaring di bawah langit terbuka tak jadi soal.

Karena terus keliling daerah, masalah order dagangan pun dilakukan secara simpel. Selama ini kapal othok-othok yang dijual Tohing memang pesanan dari perajin di Cirebon pula. Ketika dagangannya habis, dia tinggal order tambahan lewat telepon. Kemudian barang dikirim lewat paket. Pembayarannya pun simpel saja, bisa lewat transfer.
“Kami sudah saling percaya, yang penting sama-sama beres,” jelasnya.

Persatuan di kalangan pedangang pun sangat solid. Mereka saling bertukar informasi mengenai lahan bisnis. Jadi Tohing bisa tahu di daerah mana saja ada keramaian pasar malam. Komunikasi yang dilakukan juga lewat ponsel.
Tidak hanya kapal othok-othok yang semakin tersisih eksistensinya. Mainan tradisional seperti kitiran, suling bambu, gangsingan yang selama ini juga identik dengan penyelenggaraan sekatan mulai tidak diminati.

Wakiyo, 46, penjual gangsingan di Sekaten mengungkapkan, saat ini situasinya sangat sulit untuk bertahan dengan bisnis mainan tradisional itu.

“Sepi sekali dagangannya. Paling banyak dalam sehari laku 10 biji saja,” papar pria asal Semin, Gunungkidul yang sudah jualan gangsingan sejak 10 tahun lalu itu.



Seperti halnya pedagang lainnya, Tohing juga selalu ikut keliling daerah yang sedang ada momen keramaian pasar malam. Menurut dia, mainan kitiran, gangsingan dan sejenisnya paling ramai diminati di daerah Tuban. Momen Sekaten di Jogja minat pengunjung untuk membeli mainan tradisional ini sangat rendah meski harganya murah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya