SOLOPOS.COM - Proses penyortiran kopi di perkebunan kopi Karangpandan milik Kadipaten Mangkunegaran di tahun 1920. (Puromangkunegaran.com)

Solopos.com, SOLO — Kadipaten Mangkunegaran memiliki peran besar dalam sejarah perkopian di Pulau Jawa, khususnya Kota Solo, Jawa Tengah. Sejarah mencatat, kopi menjadi komoditas kedua penyumbang pendapatan terbesar pada masa Mangkunegara IV duduk di takhta.

Sejarawan Universitas Sanata Dharma Jogja, Heri Priyatmoko, mengatakan persebaran kopi atau zaman dulu disebut kahwa di Soloraya berutang pada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV (1853-1881). Pada waktu itu, raja merintis usaha budi daya kopi jenis arabika dan liberika.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Baca juga: Legendaris, Toko Kopi Podjok di Pasar Gede Solo Eksis Sejak 1963

Perkebunan Kopi Pertama

Dikutip dari situs resmi Puro Mangkunegaran, Jumat (4/2/2022), perkebunan kopi di zaman kejayaan Mangkunegaran berada di sebagian wilayah Wonogiri dan Karanganyar. Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran dimulai pada 1814, di mana saat itu bibit kopi diperoleh dari Kebun Kopi Gondosini, Kecamatan Bulukerto, Wonogiri.

Setelah menduduki takhta, Mangkunegara IV memperluas perkebunan kopi ke wilayah Honggobayan, Keduwang dan Karangpandan, di luar Kota Solo. Hal ini dikarenakan beberapa tempat yang cocok untuk penanaman kopi masih berada di tangan para penyewa pengusaha Eropa. Maka untuk memperluas pembudidayaan kopi Mangkunegara IV melakukan alih fungsi hutan di wilayah Wonogiri.

Pada awal tahun 1850 baru ada 4 wilayah penting bagi penanaman kopi di Mangkunegaran, tetapi sejak pembebasan tanah-tanah apanage berkembang menjadi 24 wilayah. Penanaman kopi di 24 wilayah Mangkunegaran ini ditangani secara serius, dengan mendatangkan administratur kopi dari Eropa, Rudolf Kampff untuk mengorganisir pananaman kopi.

Baca juga: Hai Penyuka Kopi, Ini Data Produksi Kopi di Solo dan Sekitarnya

Dari 24 wilayah itu, masing-masing dikepalai seorang administratur yang bergelar panewu kopi dan mantri kopi. Di setiap daerah didirikan gudang untuk penampungan kopi dan pesanggrahan sebagai tempat tinggal para administratur. Ke-24 administratur kopi itu berada di bawah kendali dua orang penilik atau inspektur Eropa, yaitu L.J. Jeanty dan J.B. Vogel yang masing-masing berkedudukan di Tawangmangu dan Nguntoronadi.

Masing-masing penilik membawahi 12 wilayah. J.B. Vogel membawahi wilayah-wilayah: Karangpandan, Tawangmangu, Jumapolo, Jumapuro, Jatipuro, Ngadirojo, Sidoarjo, Girimarto, Jatisrono, Slogohimo, Bulukerto dan Purwantoro. Sedangkan L.J. Jeanty membawahi wilayah-wilayah: Nguntoronadi, Wuryantoro, Eromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno, Selogiri, Singosari dan Ngawen.

Baca juga: Rasa Teh di Solo Ternikmat No Debat, Sepakat?

Kedua inspekstur itu bertanggungjawab terhadap seorang superindentent dari Kawedanan Kartoprojo. Pejabat superindentent pada saat itu adalah Raden Mas Wirohasmoro.

Sejak dekade pertama perluasan penanaman kopi telah memperoleh peningkatan hasil yang cukup baik. Dari 1.208 kwintal pada tahun 1842 telah meningkat menjadi 11.145 kwintal pada tahun 1857. Pada tahun 1857 Mangkunegara IV bersikeras untuk mencoba mengakhiri persewaan tanah apanage di wilayahnya agar ia dapat mengambil alih pembudidayaan kopi di Mangkunegaran Solo dari para pengusaha Eropa.

Baca juga: Solo Zaman Dulu: Gemerlap Berkat Listrik Mangkunegaran

Warisan Mangkunegaran

Upaya Mangkunegara IV dengan dukungan rakyatnya mampu menanam tanaman kopi sebanyak 6.056.203 pohon di tahun 1863, dari jumlah itu 5.037.356 pohon di antaranya telah berbuah. Kopi produksi Mangkunegaran tidak dapat dijual langsung ke pasaran bebas karena berlaku politik monopoli oleh pemerintah Hindia Belanda. Untuk menambah pendapatan, Mangkunegara IV meminta petinggi Belanda menaikkan harga kopinya diatas harga pasaran.

Selama periode antara 1871-1881, Mangkunegara IV berhasil menambah kas kerajaan dari hasil produksi kopi. Sebagai komoditi ekspor, harga komoditi kopi sangat dipengaruhi oleh harga pasar internasional.

Selain pengelolaan modern, Mangkunegara IV juga berjasa dengan meninggalkan warisan berupa pedoman tata cara pengolahan kopi untuk masyarakat pekopen pada 1867. Pedoman agar menghasilkan buah kopi yang lebat itu ada 17 tahap.

Baca juga: Kali Samin Matesih, Bekas PLTA Mangkunegaran Kini Sering Makan Korban

Dimulai dari pemilihan lahan, tanah, pengolahan tanah, pemilihan dan pengolahan benih, pemindahan semaian, penyangkulan, pemanenan, penjemuran, menumbuk, penggantian tanaman, sampai mengantisipasi hama.

“Sesuai kesepakatan dengan Belanda, kerajaan tidak bisa menjual hasil produksi ke pasaran bebas. Semua hasilnya harus dijual kepada pemerintah kolonial. Pengiriman kopi sebelum ada jaringan kereta api dilakukan dengan kapal. Dari gudang, kopi diangkut ke dermaga di Beton lalu dikapalkan melalui Sungai Bengawan Solo,” jelas Heri kepada Solopos.com beberapa waktu lalu.

Merebaknya serangan jamur Hemeleia vastatrix (karat daun) di seluruh penjuru Nusantara turut menggoyang produksi kopi di lingkup istana Mangkunegaran sejak 1878. Perkebunan kopi di Karanganyar dan Wonogiri terus menanggung rugi akibat gagal panen mulai 1879 sampai 1900. “Kondisi ini memukul telak keuangan Mangkunegaran,” pungkas Heri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya