SOLOPOS.COM - Dida Kurniawan Wibowo (Istimewa/Dokumen pribadi

Solopos.com, SOLO – Indonesia  adalah bangsa yang majemuk. Keberagaman itu membentuk identitas Indonesia. Keberagaman itu mencakup kekayaan sumber daya alam, keanekaragaman suku, budaya, adat istiadat, sampai beragam kuliner khas.

Melimpahnya berbagai potensi berbasis keberagaman itu tak lepas dari pengaruh iklim yang bersahabat. Berbeda dengan negara-negara Eropa, Asia Tengah, maupun belahan bumi utara, Indonesia hanya mempunyai dua musim, yakni musim kemarau dan penghujan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Iklim ini disebut oleh Anthony Reid (2020) sebagai iklim lunak, yakni kondisi ketika ketersediaan makanan pokok seperti beras, ikan, serta buah-buahan lebih pasti dibandingkan di sebagian besar dunia lainnya. Mafhum kiranya Indonesia mempunyai daya pikat tinggi.

Nusantara ini kemudian menjadi destinasi ekspedisi bangsa Barat. Bangsa-bangsa Barat singgah di Nusantara dengan berbagai motif, seperti perniagaan, mencari jalan baru pelayaran dunia, sampai persaingan dagang yang berbuntut ekspansi penguasaan wilayah serta monopoli rempah-rempah dan bahan pokok lainnya.

Efek domino kolonialisme-imperalisme bangsa Barat signifikan terjadi. Berbagai sektor dikuasai bahkan didikte secara otoriter dan represif, mulai dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan spiritual masyarakat Nusantara. Puncaknya mereka berhasil membuat bangsa ini sebagai bangsa yang terjajah, kalah, dan dieksploitasi secara besar-besaran.

Politik adu domba (devide et impera) sampai pertarungan kebudayaan pasca-Perang Jawa (1825-1830) marak terjadi. M.C. Ricklefs mencatat penindasan lewat penjajahan sesungguhnya baru terjadi pada 1830. Kekalahan pasukan Sabilillah yang dipimpin Pangeran Diponegoro jadi pemicu utama.

Setelah kekahalahan Diponegoro, Belanda tak mempunyai musuh yang selalu menyuarakan keadilan dengan jalan konfrontasi bersenjata. Kekuasaan sosial-politik wangsa Mataram habis, namun raja sebagai simbol tetap diakui walau urusan sosial-politik direnggut.

Babak baru dimulai ketika muncul kritik pedas atas penindasan di tanah jajahan. Kritik tersebut dikemas sedemikian rupa lewat novel yang berjudul Max Havelaar (1860) karya Multatuli. Novel ini menginisiasi lahirnya kebijakan politik balas budi kolonial terhadap tanah jajahan: politik etis.

Kebijakan baru ini bertujuan memperbaiki kehidupan rakyat bumiputra dengan tiga prinsip, yaitu pendidikan, perpindahan penduduk, dan pengairan. Lahirnya kebijakan baru ini juga didorong oleh C.Th. van Deventer lewat artikel yang berjudul Een Eereschuld (Suatu Utang Kehormatan).

Pada era politik etis rakyat bumiputra mengalami beberapa kemajuan, terutama dalam bidang pendidikan. Politik balas budi ini setidaknya berhasil mendirikan berbagai sekolah mulai dari tingkat rendah sampai universitas. Ricklefs (2017) menjelaskan di tingkat rendah terdapat sekolah kelas satu (untuk golongan atas) dan sekolah kelas dua (untuk rakyat jelata).

Tingkat lanjutan terdapat Hoogere Burger School atau HBS. Tingkat universitas ada Technische Hoogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) dan Rechtsshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).

Selain itu juga disediakan sekolah bagi calon pegawai pemerintah, yakni Opleidingscholen voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) dan sekolah bagi calon dokter dari kalangan pribumi, yakni School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).

Corak pendidikan karya kolonial tersebut masih akrab dengan diskriminasi. Pribumi atau inlander dianggap tak pantas mengenyam pendidikan. Siswa pribumi sering mendapat ujaran rasialis. Walau aral melintang, semangat menuntut ilmu tak membuat gentar rakyat pribumi.

Terbukti dengan kegigihan H.O.S. Tjokroaminoto, Tirto Adhie Soerja, Soekarno, Wahidin Sudirohusodo, sampai Cipto Mangunkusumo mampu menamatkan pendidikan gaya Eropa yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda. Masing-masing tokoh tersebut merupakan lulusan OSVIA, HBS, dan STOVIA.

Formal dan Informal

Setelah kedaulatan secara de facto berhasil direbut. Berbagai sendi kehidupan bernegara mulai tumbuh, salah satunya bidang pendidikan. Negara ini mempunyai cara tersendiri mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak hanya didapat pada instansi formal saja, namun juga pada instansi nonformal, salah satunya pesantren.

Dua kutub ini saling mengisi. Satu mendapat julukan pelajar atau mahasiswa, satunya lagi mendapat sapaan khas: santri. Dua elemen ini yang nantinya membawa perubahan besar pada bangsa ini. Tercatat sedari dulu mahasiswa mempunyai andil besar dalam proses pendewasaan bangsa.

Lewat idealisme, pemikiran kritis-transformatif, serta kedewasaan moral-spiritual, mahasiswa mampu menuntun bangsa ini keluar dari jurang kebodohan dan kesengsaraan berlarut. Hal ini terekam dengan apik lewat cara-cara mereka menyuarakan aspirasi dan berada di barisan rakyat, membela yang lemah dan memerangi yang batil.

Berbagai jalan ditempuh guna menemukan keadilan. Aksi demonstrasi dan aksi pengorganisian massa menjadi aktivitas sehari-hari. Perjalanan panjang menapaki laju dinamika mahasiswa. Soe Hok Gie menuliskannya dalam catatan harian yang kemudian dirangkum dalam buku berjudul Catatan Harian Seorang Demonstran (2012).

Ia mencatat setidaknya mahasiswa mempunyai peran aktif dalam menanggapi isu sosial-ekonomi yang menjadi permasalahan zaman itu. Mulai dari  trituntutan rakyat atau tritura, protes penarikan mata uang, protes kenaikan harga bensin, sampai kenaikan karcis bus kota. Hal ini yang membuat mahasiswa geram dan memantik gerakan long march dari Salemba ke Rawamangun.

Betapapun mempunyai peran serta tanggung jawab sosial yang tinggi, mahasiswa tetap dituntut harus aktif dalam bidang akademis, terutama pada faktor kesarjanaan dan intelektualitas.

Pada era kehidupan baru kini, mahasiswa disuguhi arus informasi tanpa henti dan kemudahan mengakses Internet sampai big data yang tersebar di seluruh jaringan media sosial dan platform digital.

Mahasiswa sebagai agen perubahan dituntut harus aktif dan peka terhadap perkembangan zaman. Pada era free access ini seorang intelektual harus bijak dalam menggunakan teknologi. Seyogianya, sebagai seorang terpelajar, mahasiswa memberikan terobosan-terobosan baru perihal ini.

Jangan sampai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berdampak buruk pada iklim intelektual mahasiswa. Kemudahan akses informasi harus berdampak bagus pada alam intelektualitas mahasiswa. Selain harus peka terhadap digitalisasi zaman, seorang intelektual harus mempunyai kemampuan literasi yang tinggi.

Mahasiswa harus getol membaca buku sampai berdiskusi. Jangan sampai mahasiswa asing dengan hawa akademis seperti yang diwariskan Plato (Ashadi Siregar, 1979: 30). Dialektika harus senantiasa dipupuk dan dipelihara dalam tiap napas kegiatan di kampus. Ironis jika mahasiswa terlena dengan perkembangan zaman.



Selayaknya arus perkembangan teknologi menjadi pendorong mahasiswa sebagai pionir penerus bangsa semakin giat menuntut ilmu. Belajar dari zaman penindasan, wajah muram pendidikan Indonesia terpampang jelas. Sekat-sekat antarkelas memperuncing keadaan. Klasifikasi kelas menjadi hulu persoalan rasialisme.

Diskriminasi menjadi keseharian dalam sistem pembelajaran ini. Penduduk di tanah ini didigiring dalam polarisasi jahat dengan beragam konflik horizontal muncul di berbagai daerah. Keberpihakan mahasiswa kepada rakyat harus menjadi harga mati, terlebih pada zaman serbamudah ini.

Seorang intelektual dituntut harus menjadi eksponen penggerak dan aktif dalam hiruk-pikuk kegiatan sosial. Mampukah dengan berbekal ilmu dan pengetahuan yang cukup seorang mahasiswa membawa angin segar perubahan? Atau malah sebaliknya?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Januari 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Sejarah Fakultas Adab dan Bahasa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya