SOLOPOS.COM - Suasana Pasar Ngebong di Kampung Koplak, Kelurahan Siswodipuran, Kecamatan/Kabupaten Boyolali, Sabtu (21/1/2023). Pasar Ngebong dulunya adalah area makam keturunan Tionghoa, di sekitarnya juga terdapat kompleks rumah-rumah orang Tionghoa. (Solopos.com/Ni’matul Faizah)

Solopos.com, BOYOLALIKampung Pecinan di Boyolali diakui tak sebesar kampung serupa di berbagai daerah lain di Tanah Air. Keberadaan Kampung Pecinan di Boyolali diperkirakan berada di sekitar depan Pasar Boyolali Kota, tepatnya di sekitar Kelurahan Siswodipuran.

Pegiat sejarah asal Salatiga, Warin Darsono, mengungkapkan catatan-catatan Kampung Pecinan di Boyolali sangat sedikit. Namun, ia mengungkapkan Kampung Pecinan di Boyolali memiliki keterkaitan dengan peristiwa pada 1740 di Batavia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Sejarah pecinan di Boyolali terkait erat sama Geger Pecinan yang terjadi di Batavia pada 1740. Eksodus orang-orang Cina yang lari ke arah timur untuk menghindari tragedi tersebut, termasuk Boyolali,” ungkapnya kepada Solopos.com, Sabtu (21/1/2023).

Ia menjelaskan sisa-sisa orang Tionghoa yang melarikan diri ke wilayah Jawa Tengah selanjutnya bergabung dengan kekuatan Mataram untuk berperang melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Akhirnya, ungkap Warin, dari itulah awal orang-orang Tionghoa bisa tinggal dan menetap di berbagai daerah Jawa Tengah termasuk Boyolali secara turun temurun.

Ia mengungkapkan lokasi Pecinan di Boyolali dulunya di dekat patung susu atau depan Pasar Boyolali Kota.

“Hancurnya bangunan Pecinan lebih dikarenakan oleh pembangunan di Boyolali yang masif. Namun, memang hal tersebut lumrah karena saat itu Undang-Undang mengenai cagar budaya belum kuat,” ujarnya.

Warin mengungkapkan saat ini Kampung Pecinan di Boyolali telah berubah menjadi pertokoan dan kampung. Terkait foto-foto pendukung Kampung Pecinan di Boyolali, Warin mengungkapkan ia belum mendapatkannya karena Pecinan di Boyolali tak terlalu mencuat seperti kota-kota lain.

Selanjutnya, Warin mengungkapkan di sebelah selatan Pasar Boyolali adalah bekas bong atau makam Tionghoa. Ia tak tahu persis letaknya, akan tetapi ia memastikan area tersebut di Siswodipuran, Boyolali.

Sejak masa kolonial, orang-orang Cina di Boyolali memang kurang begitu eksis. Terbukti dari tidak ada nama-nama besar warga Tionghoa yang tinggal di Boyolali.

“Kurang tahu alasannya apa, mungkin memang daerahnya yang cenderung ke perkebunan dan kebanyakan dikuasai orang-orang Eropa. Kelenteng saja di Boyolali enggak ada kan?” tuturnya.

Sementara itu, warga Boyolali keturunan Tionghoa, Ali Widjaja, 73, mengungkapkan saat ini sudah tidak ada Kampung Pecinan di Boyolali. Warga keturunan Tionghoa di Boyolali sudah menyebar dan berbaur dengan masyarakat.

Pria yang memiliki nama lahir Hie Sek Lui tersebut membenarkan dulu di Kampung Koplak, Kelurahan Siswodipuran, yang terletak di depan Pasar Boyolali Kota banyak dihuni oleh orang-orang Tionghoa.

“Di situ memang kompleks orang Tionghoa, tapi ya enggak banyak. Jadi sebagian besar Tionghoa di situ. Soalnya kebanyakan kan kerjanya swasta, punya toko dan berjualan, pasti dekat pasar, dekat keramaian,” kata dia.

Ali juga mengatakan terdapat Pasar Ngebong yang memang dulunya adalah area makam warga keturunan Tionghoa yang saat ini berubah menjadi tempat transaksi jual beli.

Walaupun terdapat warga keturunan Tionghoa, Ali tak tahu pasti alasan di Boyolali tidak ada kelenteng. Namun, ia menduga hal tersebut karena Boyolali tidak strategis untuk dibangun kelenteng.

Terkait perayaan Imlek, Ali menjelaskan beberapa warga keturunan Tionghoa di Boyolali yang masih memegang tradisi merayakan ibadah untuk mendoakan leluhur di rumah masing-masing pada malam Imlek.

“Kalau saya ya intern di keluarga saja dan ibadah itu bagi yang masih meyakini. Kan sebagian ada yang sudah beragama Kristen, Katolik, atau muslim. Namun, ada juga yang sudah meninggalkan tradisi, ada juga yang masih nguri-nguri kebudayaan itu,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ali menceritakan masyarakat keturunan Tionghoa mulai bisa leluasa merayakan Imlek saat Presiden ke-4 Indonesia, Gus Dur, yang memberikan keleluasaan untuk beribadah. Bahkan, Hari Raya Imlek ditetapkan menjadi hari libur nasional.

“Zaman Order baru itu enggak begitu los perayaannya. Dulu kan enggak boleh waktu zaman Orde Baru,” kata dia.

Ia juga mengungkapkan di Boyolali pernah juga Mantan Bupati Boyolali, Seno Samodro, pernah memberikan penyelenggaraan Imlek yang meriah karena mengadakan Festival Barongsai. Ia tak mengingat pasti kapan waktunya, tapi Ali mengatakan waktu itu Bupati Seno masih menjabat di periode pertama.

“Jadi dulu kumpulnya di Gedung Dome Mahesa, ada yang dari Semarang, Salatiga, Temanggung. Sebelum pandemi, paguyuban kami biasanya juga mengundang barongsai dan liong untuk keliling mulai dari Jalan Merbabu sampai Pasar Boyolali Kota,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya