SOLOPOS.COM - Ilustrasi - Sejumlah petugas Satpol PP dibantu TNI-Polri saat melakukan patroli di kawasan eks lokalisasi Dolly, Kota Surabaya, beberapa waktu lalu. (ANTARA/HO-Diskominfo Surabaya)

Solopos.com, SURABAYA — Kota Surabaya, Jawa Timur, pernah memiliki tempat lokalisasi besar bernama Gang Dolly. Bahkan tempat ini disebut-sebut sebagai lokalosasi terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Namun, tempat prostitusi tersebut kini tinggal kenangan. Pemerintah secara resmi menutup lokalisasi yang ada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, tersebut untuk selama-lamanya pada Juni 2014.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Penyebutan Gang Dolly ini sebagai tempat lokalisasi terbesar di Asia Tenggara ini nampaknya bukan isapan jempol belaka. Dikutip dari penelitian ilmiah berjudul Potret Lokalisasi Gang Dolly dalam Perspektif Patologi Sosial karya Akmal Saputra, disebutkan setiap malam sekitar 9.000 orang lebih yang merupakan pekerja seks komersial (PSK), germo, ahli pijak berada di Gang Dolly. Di tempat itu juga ada lebih dari 800 wisma, kafe dangdut, dan panti pijat plus.

Tempat tersebut menjadi pusat perekonomian yang sangat besar di wilayah itu. Banyak orang mulai dari pedagang kaki lima, tukang parkir, calo prostitusi, karyawan karaoke, tukang becak, dan lainnya menggantungkan hidup di tempat itu.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca Juga: Tekan Angka Inflasi, Wali Kota Madiun Ngantor di Pasar Besar

Sebelum menjadi tempat lokalisasi, ternyata dulunya kawasan Dolly merupakan tempat pemakaman warga Tionghoa pada zaman penjajahan Belanda. Dikutip dari artikel ilmiah berjudul Dolly Dahulu dan Sekarang karya Ode Dedy dan kawan-kawan, tempat pemakaman Tionghoa itu pada zaman itu disulap oleh noni Belanda bernama Dolly sebagai tempat prostitusi. Awalnya tempat itu dikhususkan sebagai lokasi prostitusi bagi tentara Belanda.

Bahkan keturunan tante Dolly juga disebut-sebut masih ada hingga kini, tetapi tidak meneruskan bisnis esek-esek ini. Sebagai penggagas komplek lokalisasi ini, nama noni Belanda kemudian menjadi legenda dan dijadikan nama tempat tersebut.

Dalam penelitian ini disebutkan, menurut kisah tutur dari informan yang ditemui, pada awal pendiriannya, tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Para pekerja seks ini disediakan untuk melayani dan memuaskan syahwat pada tentara Belanda.

Baca Juga: KA Kertanegara Tabrak Mobil di Kediri, Satu Orang Meninggal Dunia

Namun, seiring berjalannya waktu, tempat ini kemudian dikenal luas di masyarakat. Hingga akhirnya pengunjung tempat esek-esek ini bukan hanya dari tentara Belanda, tetapi juga warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut “jajan” di tempat ini.

Karena jumlah pengunjung yang semakin banyak, secara otomatis juga berpengaruh terhadap penambahan jumlah PSK. Hingga akhrinya tempat ini menjadi lokalisasi besar di kawasan tersebut.

lokalisasi solo jumlah psk indonesia satpol pp booking cewek open bo psk kestalan solo prostitusi online solo gibran pelaku tarif, pembongkaran lokalisasi gunung antang jakarta gang dolly surabaya
Ilustrasi prostitusi. (Solopos.com/Whisnupaksa Kridhangkara)

Mengenai cerita lain tentang sejarah berdirinya Gang Dolly ini, seperti dalam buku berjudul Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly karya Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982. Dalam buku itu tertulis kawasan Dolly awalnya merupakan makam Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat Gede. Pada tahun 1966, daerah itu kemudian diserbu pendatang dan menghancurkan bangunan-bangunan makam.

Baca Juga: Waduh, Ruko Milik Pemkot Madiun Banyak Disewakan Secara Ilegal oleh Makelar

Makam China itu ditutup bagi jenazah baru dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Kondisi ini membuat banyak orang mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam, menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.

Selanjutnya, pada 1967, datang seorang pelacur bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghoa tersebut. Dia kemudian menikah dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM, dan MR. Tiga di antaranya empat wisma itu disewakan kepada orang lain.

Setelah itu Dolly semakin berkembang pada tahun 1968 dan 1969, wisma-wisma yang didirikan semakin banyak. Dan tempat prostitusi semakin berkembang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya