Solopos.com, GROBOGAN -- Grobogan merupakan Kabupaten di Jawa Tengah dengan area terluas kedua setelah Kabupaten Cilacap. Berada di kawasan Pantura dengan Ibu Kota Purwodadi, Kabupaten Grobogan memiliki sejarah yang panjang sampai akhirnya terbentuk Kabupaten.
Dilansir dari situs Grobogan.go.id, Senin (10/5/2021), Kabupaten Grobogan sudah dikenal sejak masa Kerjaan Mataram Hindu. Daerah ini menjadi pusat Kerajaan Mataram saat itu dengan ibu kotanya Mendhang Kamulan atau Simsedang Purwocarito yang sekarang menjadi Purwodadi.
Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda
Pusat kerajaan kemudian berpindah ke sekitar Kota Prambanan dengan Sebutan Mendangi Bhumi Mataram atau Medang Mati Watu. Pada masa kerajaan Medang dan Kahuripan, daerah Grobogan ini merupakan daerah yang penting bagi kerajaan tersebut.
Baca Juga: Banyak yang Nekat, Ganjar Prediksi 1 Juta Pemudik Masuk Jateng
Pada masa kerajaan Mataram Islam, daerah Grobogan merupakan wilayah Koordinatif Bupati Nayoko Ponorogo, Adipati Surodiningrat. Dalam masa Perang Prangwadanan dan perang Mangkubumen, Grobogan merupakan basis kekuatan Pangeran Prangwwedana (R.M. Said) dan Pangeran Mangkubumi.
Saat itu, wilayah Grobogan meliputi Sukowati, utara Bengawan Solo, Warung, Sela, Kuwu, Teras Karas, dan Cengkal Sewu hingga Kedu bagian utara. Daerah Sukowati kemudian menjadi wilayah Kabupaten Dati II Sragen, bersamaan dengan daerah lain, di antaranya Bumi Kejawen, Sukowati, Sukodono, Glagah. Sedangkan daerah Grobogan yang masuk Kabupaten daerah Tingkat II, antara lain : Purwodadi, Grobogan, Kuwu, Teras Karas, Medang Kamulan dan lain-lain.
Perjanjian Kolonial
Dalam perjanjian Giyanti, sebagai daerah mancanegara, Grobogan termasuk wilayah kesultanan bersama-sama dengan Madiun, separuh Pacitan, Magetan dan daerah-daerah lainnya. Hingga perjanjian antara Daendels dengan PAA Amangkunegara Yogyakarta pada 10 Januari 1811, daerah Kedu di Grobogan masuk dalam pemerintahan Belanda
Daerah-daerah lain, seperti beberapa daerah di Semarang, Demak, Jepara, Salatiga, distrik-distrik Grobogan,dan Wirosari masuk juga dalam pemerintahan Belanda sedangkan kepada Yogyakarta, diberikan kawasan Boyolali dan sekitarnya
Baca Juga: Tak Henti Jubir Jelaskan Bipang Ambawang Presiden
Pada saat perang Diponegoro, daerah Grobogan, Purwodadi, Wirosari, Mangor, Demak dan Kudus tenggelam dalam api peperangan melawan Belanda. Meskipun daerahnya terpencil, namun Grobogan memiliki sejarah yang selalu bergolak untuk hidup bebas merdeka.
Bahkan sampai masa Pegerakan Nasional dan masa kemerdekaan serta sesudahnya, rakyat Grobogan sangat besar andilnya dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Nama Grobogan ini diambil berawal dari masa Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sunan Ngundung dan Sunan Kudus yang akan menyerbu Kerajaan Majapahit. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Demak berhasil memperoleh kemenangan hingga Kerjaan Majapahit runtuh.
Baca Juga: Sop Senerek, Kearifan Lokal Magelang Warisan Kolonial
Ketika Sunan Ngundung masuk ke istana dan menemukan beda pusaka Majapahit yang tersisa, dirinya mengumpulkannya dan memasukan dalam sebuah gerobak untuk nantinya dibawa pulang kembali ke Demak.
Dalam perjalanannya, gerobak itu tertinggal di sebuah tempat karena suatu sebab. Oleh karena itu, tempat dimana gerobak Sunan Ngundung tertinggal disebut sebagai Grobogan, yang berarti gerobak yang tertinggal. Gerobak itu juga merupakan peninggalan paling berarti bagi Sunan Ngundung karena dirinya berhasil menjatuhkan Kerajaan Majapahit