SOLOPOS.COM - Ilustrasi/cricketsoccer.com

Ilustrasi/cricketsoccer.com

JOGJA–Ditutupnya keran APBD untuk pembiayaan sepak bola membikin pusing manajemen klub di DIY. Untuk mendanai klub mengarungi kompetisi akhirnya segala cara digunakan.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Sejatinya pendanaan klub profesional bisa didapatkan manajemen dari sponsor, tiket pertandingan dan penjualan merchandise. Sayangnya tiga sumber itu tidak bisa diandalkan untuk menutup operasional klub.

Akhirnya sumber lain pun dicari salah satunya dengan meminta sokongan dari pengusaha yang ada di Jogja. Arifin Wardiyanto, pengelola PT. Global Indonesia Komunikatama, mitra PT Telkom yang sering membangun menara telekomunikasi mengatakan pernah dimintai dana untuk keperluan Persiba Bantul pada 2009 silam.

Salah satu manajemen di Persiba kala itu meminta perusahaan yang bergerak di bidang telekominukasi di Bantul membayar Rp10 juta untuk setiap pembangunan satu unit tower atau menara telekomunikasi. “Dulu satu tower Rp10 juta ada 180-an tower yang mau dibangun,” kata Arifin pekan lalu.

Arifin juga mengalami hal serupa saat ingin membangun menara telekomunikasi di Bantul. Dalih saat itu, iuran terkait penegakan Perda mengenai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Gangguan. Kasus itu pernah ia laporkan ke Polda DIY dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) namun hingga kini menguap begitu saja. “Itu ada bukti kuitansinya ketika menyetor uang Rp10 juta,” ungkapnya.

Manajemen Persiba kala itu membantah telah melakukan pungutan. Uang dari sejumlah pengusaha tersebut dianggap sebagai sumbangan sukarela bukan pungutan. Mantan Direktur Operasional PSIM, Hans Purwanto mengakui peran pengusaha untuk menyokong pendanaan klub. Kini pengusaha furniture itu tak lagi terlibat sebagai pengurus PSIM. Namun menurutnya, ia kadang masih menyetor sumbangan untuk klub tersebut. Hans menolak menyebut berapa nominal yang harus ia keluarkan. “Kadang masih, yang jelas jutaan lah saya nggak mau menyebut,” tuturnya.

Hans mengakui, setoran oleh pengusaha ke klub sepak bola sudah jamak. Ia mahfum tak ada klub yang beres soal sumber daya keuangan. Di Jogja sendiri menurutnya, cukup sulit mencari pengusaha tajir yang mau berbaik hati menyetor sumbangan. Lantaran karakteristik daerah ini bukan daerah industri. Apalagi Kota, kendati banyak pembangunan hotel, hanya sedikit yang tergolong besar dibanding wilayah macam Sleman yang banyak terdapat pengembang perumahan.

“Sulit kalau di Jogja itu, kalaupun mau cari ke luar daerah, tiap daerah itu sudah ada klub sendiri. Seperti perusahaan rokok Djarum dia pasti sudah menyumbang untuk klub di Jawa Timur,” lanjutnya.

Selain dirinya, Hans menyebut sejumlah pengusaha seperti pemilik mall juga menyumbang. “Sumbanganya jutaan, beberapa ada seperti pemilik Amplaz. Tapi kalau sekarang saya enggak tahu apakah masih ada,” terangnya.

Jelang kompetisi seperti saat ini, Hans menduga manajemen klub pasti tengah berusaha mencari pemasukan agar permainan tetap berjalan. Krisis finansial menurutnya menjadi dilema bagi klub. Idealnya untuk klub yang berlaga di kasta tertinggi butuh biaya hingga Rp11 miliar pertahun.

Porsi terbesar untuk membayar gaji pemain dan bermain ke kandang lawan. Untuk klub sekelas Divisi Utama biaya yang dikeluarkan per tahun mencapai Rp5 miliar-Rp7 miliar. “Waktu itu zaman saya masih boleh lewat APBD ditambah sponsor, sumbangan tapi tetap enggak menutup biaya operasional. Biasanya saya keluarkan uang sendiri sampai ratusan juta,” imbuh Hans.

Modal

Untuk mengarungi kompetisi PSIM memiliki modal awal Rp1,8 miliar. Diakui oleh CEO PT PIM, Ajiek Tarmidzi dana tersebut didapat dari hasil patungan beberapa penanam saham yang terdiri dari sejumlah pengusaha.

Dari para penanam modal tersebut, pemilik saham mayoritas memang lantas menjadi komisaris utama PT PIM. “Kami memang sangat banyak dibantu oleh talangan dana dari beliau ini. Tapi itu sifatnya dana talangan, jadi kami memang harus mengembalikan,” ucapnya, akhir pekan lalu.

Dicontohkannya, untuk biaya pembayaran gaji di awal musim ini, manajemen memang menggunakan dana talangan dari salah satu komisaris PT PIM. “Memang, dari dana talangan seperti itulah, kami bisa menutup kekurangan dana tersebut. Sedangkan teknis pengembaliannya, kami lakukan dengan terperinci. Kami tak ingin mengulang musim lalu, utang dan pengeluaran yang tak jelas,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia pun membenarkan dana talangan itu memang bisa didapatkan dari kolega-koleganya sesama pengusaha. “Tapi saya tidak bisa sebutkan satu per satu identitas mereka. Yang pasti mereka adalah beberapa kawan-kawan saya sesama pengusaha,” akunya.

Kondisi yang sama dilakukan PSS Sleman. Untuk mendanai kompetisi pengusaha menjadi andalan pemasukan dana. Berdasarkan sumber Harian Jogja yang tak bersedia disebutkan identitasnya mengatakan, bahwa sumber pendapatan PSS Sleman salah satunya adalah dari hasil “sumbangan” sejumlah kontraktor yang ada di Sleman. ”Soal nominal dan besarannya tidak sama,” ucapnya.

Terpisah, Manajemen Persiba Bantul membantah melakukan pungli terhadap pengusaha untuk mendanai klub. Klub kebanggan Paserbumi tersebut mengandalkan sponsor dan simpatisan sebagai penyandang dana.

“Soal pungli itu sudah tidak, sekarang murni dari sponsor dan simpatisan itu tadi,” kata Bendahara Persiba, Yulianto, Minggu (10/2/2013).

Menurut Yulianto untuk mendanai kompetisi Persiba mengandalkan sponsor. “Sumber dana kita adalah sponsor dengan dana yang lebih besar dan simpatisan pihak yang memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap Persiba, sebut saja demikian,” kata Yulianto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya