SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dikejar-kejar , ditagih, hingga diteror adalah risiko yang kerap dihadapi para peminjam uang dalam jumlah besar jika kemampuan membayar diragukan. Meminjam uang kini menjadi kebutuhan, terutama bagi mereka yang ingin mendapatkan komoditas atau memiliki kepentingan di luar batas kemampuan finansial dasar.

Bagi sebagian orang (tentu tidak semuanya) risiko itu adalah konsekuensi logis yang biasa mereka terima. Mungkin ada pandangan tidak masalah berurusan dengan teror dari para penagih utang. Toh, mereka sudah “menikmati” sesuatu yang mereka dapatkan–entah barang, jasa, atau bahkan eksistensi–melebihi kemampuan mereka membayar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Aku berpikir maka aku ada,” begitu kata Rene Descartes pada abad ke-17 yang masyhur hingga kini. Ungkapan singkat itu menggambarkan pandangan Descartes bahwa eksistensi manusia berdasarkan kesadarannya.

Kesadaran yang mendasari eksistensi manusia ala Descartes itu sudah sejak lama bergeser. Lebih dari satu dekade lalu, Haryanto Soedjatmiko menulis buku berjudul Saya Berbelanja maka Saya Ada. Buku itu terbit pada 2008. Dalam buku itu dia menjelaskan konsumerisme membentuk cara pandang manusia modern tentang eksistensi mereka.

“Jika Descartes mengatakan ‘aku berpikir maka aku ada’ dan menjadi wujud eksistensi manusia, sekarang yang dominan adalah ‘aku berbelanja maka aku ada’,” begitu kurang lebih kata Haryanto saat kami bertemu dalam sebuah diskusi di Balai Soedjatmoko, Kota Solo, suatu malam pada 2011.

Pandangan Haryanto mengekstraksi sejumlah gagasan para filsuf ekonomi klasik, khususnya Karl Marx dan Max Weber. Gagasan itu mengkritik konsumerisme yang tumbuh subur dalam ekonomi yang berbasis kapitalisme. Buku itu mengkritik kapitalisme melalui konsumerisme.

Konsumerisme ditandai aktivitas berbelanja masyarakat untuk membeli produk yang dihasilkan oleh industri, baik barang maupun jasa. Dalam industri kebanyakan produksi barang dilakukan secara massal, bukan lagi berdasarkan pesanan.

Produksi dilakukan berdasarkan proyeksi kemampuan konsumen menyerap alias daya beli mereka. Sederhananya, ketika daya beli sedang turun, industri biasanya mengurangi produksi. Sebaliknya, ketika daya beli masyarakat sedang naik, industri akan memacu produksinya.

Pertumbuhan industri sangat tergantung pada berbagai prediksi pertumbuhan konsumsi. Termasuk di dalamnya berbagai kondisi yang memengaruhi, seperti distribusi, suplai dan harga bahan bakar, suku bunga bank, hingga kebijakan regulator seperti bank sentral atau pemerintah, dan seterusnya.

Konsumsi menjadi bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan ekonomi. Di negara-negara berpenduduk besar seperti Indonesia, konsumsi dalam negeri bahkan menjadi faktor penyumbang pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, mayoritas industri menghasilkan produk untuk memenuhi permintaan konsumen domestik.

Dalam berbagai prinsip ekonomi yang kita kenal selama ini, konsumsi dibatasi oleh daya beli. Ekonom Inggris yang sangat berpengaruh dalam praktik politik-ekonomi modern, John Maynard Keynes, berpendapat jumlah konsumsi berhubungan langsung dengan pendapatan.

Saat pendapatan seseorang meningkat, semakin tinggi pula tingkat konsumsi dan tabungannya. Dalam teori konsumsi Ernst Engel, konsumsi cenderung tetap berapa pun pendapatannya. Apabila pendapatan meningkat, menurut Engel, persentase pengeluaran untuk keperluan pendidikan, kesejahteraan, rekreasi, barang mewah, dan tabungan juga meningkat.

Kemampuan Membayar

Hari-hari ini dua teori itu semakin jauh dari realitas ekonomi yang dijalani banyak orang. Dulu, kebanyakan orang memang hanya membeli berdasarkan kemampuan membayar. Untuk memfasilitasi keterbatasan kemampuan membayar konsumen munculah berbagai jasa finansial yang menawarkan bantuan.

Jauh sebelum jasa teknologi finansial (tekfin alias financial technology atau fintech) bertebaran, rentenir dan bank thithil–sebutan bagi jasa sektor keuangan yang meminjamkan uang kepada masyarakat dengan sistem tagihan harian atau per pekan–pernah merajalela.

Dulu, banyak ibu-ibu yang meminjam uang untuk membeli barang yang harganya terlalu besar untuk ukuran pendapatan mereka. Berikutnya, berkembanglah kartu kredit yang menjadi alat pembayaran populer selama beberapa waktu dan masih digunakan sampai sekarang.

Sebagian orang menggunakan kartu kredit untuk memudahkan transaksi nontunai. Banyak pula orang yang sengaja memanfaatkan untuk berutang alias mendapatkan barang tanpa keinginan untuk membayar saat itu juga. Maka bermunculanlah kredit macet alias utang yang tak terbayar.

Kartu kredit dianggap momok bagi mereka yang tak bisa mengendalikan nafsu berbelanja. Bank juga kian selektif memberikan persetujuan permohonan kartu kredit bagi nasabah. Seperti dalam pengajuan kredit pada umumnya, bank melihat kemampuan membayar, pendapatan bulanan, dan catatan kredit mereka.

Saat bank enggan sembarangan memberikan utang, jasa fintech peer to peer lending (P2P) menjadi alternatif. Proses cepat dan tanpa banyak syarat menjadi pilihan menarik bagi siapa pun yang ingin merentangkan konsumsi melampaui kemampuan membayar.

Kebanyakan utang diajukan untuk kepentingan konsumsi dan mayoritas diajukan oleh individu dan bukan badan usaha. Semua itu terlihat dalam publikasi bulanan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada Desember 2022, OJK mencatat outstanding pinjaman total dari jasa fintech mencapai Rp51,12 triliun.

Dari jumlah itu, Rp29,9 triliun adalah pinjaman untuk perorangan dengan status nonusaha mikro, kecil, dan menengah (non-UMKM). Ada Rp3,6 triliun pinjaman tidak lancar antara 30 hari hingga 90 hari dan mayoritas merupakan pinjaman perseorangan.

Itu belum termasuk pinjaman yang macet lebih dari 90 hari yang nilai totalnya mencapai Rp1,19 triliun. Itu sejalan dengan pemberitaan akhir-akhir ini yang mengangkat cerita-cerita mahasiswa yang terjebak utang di layanan pinjaman online atau pinjol demi bisa berbelanja barang atau berwisata.

Itu sejalan dengan pandangan Karl Marx ihwal commodity fetishism atau fetisisme komoditas. Dalam kapitalisme, kata Marx, komoditas diproduksi berdasarkan relasi ekonomi eksploitatif antara pemilik industri dan para pekerja yang menghasilkannya.

Para pemilik modal memproduksi komoditas bukan lagi berdasarkan kebutuhan orang, melainkan keinginan mengumpulkan uang. Dengan kata lain, komoditas diproduksi sebanyak-banyaknya dan sebisa mungkin diserap sebesar-besarnya oleh pasar.

Di situlah industri juga berinvestasi besar dalam pemasaran untuk memastikan masyarakat membeli produk meskipun sebenarnya mereka tak butuh-butuh amat (atau mungkin tak butuh sama sekali).



Keyakinan Marx bahwa suatu hari kapitalisme hancur dengan sendirinya tak pernah terbukti. Beberapa pandangannya masih bisa dipakai untuk mengkritik budaya konsumerisme yang menjangkiti manusia sejak lama.

Sebagai catatan, ini hanya sedikit bagian dari kritik filsuf Jerman itu terhadap kapitalisme. Saya tidak hendak menulis tentang yang lain-lainnya agar tidak dianggap melanggar Pasal 188 dan 189 KUHP baru.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Januari 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya