SOLOPOS.COM - Udji Kayang Aditya Supriyanto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) III yang mengangkat tema Memajankan Sastra Indonesia di Panggung Dunia akhirnya selesai terlaksana secara daring dan tatap muka di Hotel Novotel Mangga Dua, Jakarta, 2–5 November 2020.

Soal apakah pantas di tengah pandemi Covid-19 ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengumpulkan para sastrawan dari berbagai daerah dalam satu ruangan, soal apakah sastra Indonesia begitu mendesak untuk dibicarakan sehingga Munsi III tidak dapat ditunda atau minimal diadakan sepenuhnya daring, soal siapakah peserta undangan dan peserta terpilih, serta soal mengapa ada sosok kontroversial di jagat sastra Indonesia dalam forum tersebut, rasanya sudah dibicarakan beberapa orang.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Saya tidak ingin nimbrung pada persoalan itu, tetapi lebih tertarik pada pernyataan Martin Suryajaya bahwa sastra Indonesia adalah hewan yang terluka. Martin berangkat dari pengamatan terhadap situasi sastra Indonesia berhabitat media sosial yang menggejala hari ini, alias sastra Indonesia pada era pasca-kebenaran—merujuk istilah yang dipesan panitia.

Media sosial menantang konsepsi adiluhung tentang sastra, yang kita terima serta-merta selama berpuluh-puluh tahun, bahwa sastra adalah produk unggul kebudayaan, bahwa penguasaan sastra menandai tingginya keilmuan seseorang, bahwa bersastra itu sinonim beradab, dan sebagainya.

Konsepsi adiluhung itulah yang kemudian melahirkan pembedaan antara sastra dan nonsastra, yang sering kali tidak jelas ukurannya kecuali sentimen tertentu, misalnya novel best-seller yang ditulis oleh seorang akuntan dan gaya tulisannya sangat quotable adalah nonsastra, novel pop dan puisi curahan isi hari atau curhat jelas bukan sastra, segala teks yang ringan-ringan saja belum layak disebut sastra, dan lain-lain.

Segala nonsastra itu justru bertumbuh dan berkembang biak di media sosial. Kini ada banyak akun Instagram yang rajin mengunggah instapoet—semacam menjadi Rupi Kaur dan Lang Leav versi bahasa Indonesia. Ada pula program-program menulis prosa pendek di takarir Instagram semisal #30HariBercerita.

Sementara di Twitter bejibun akun menulis utas cerita horor, yang beberapa di antaranya menjadi viral dan membuat orang lupa pada Abdullah Harahap. Media sosial memberi tempat bagi para penulis instapoet, quote, cerita horor, dan cerita pendek personal—kalau bukan mereka sendirilah yang pandai mendayagunakan medium itu.

Lantas, di manakah letak sastra Indonesia dalam pengertian adiluhung di media sosial? Sastra Indonesia ada di status-status Facebook galak para fasis kebudayaan yang sedikit-sedikit memviralkan blundernya sastrawan, bahkan tidak jarang menarasikan beberapa hal yang dikatakan atau dilakukan seorang sastrawan sebagai blunder kendati sebetulnya bukan sama sekali.

Sastra Indonesia juga ada di twitwar tentang representasi daerah, gender, dan orientasi seksual. Di media sosial—suatu jagat digital, oleh banyak orang sastra Indonesia memang dibentuk dan dirayakan sebagai hewan yang terluka. Seperti apakah hewan dalam jagat digital itu?

Pada 26 Juni 1997, Bandai merilis sebuah waralaba bernama Digimon, singkatan dari Digital Monster, yang hadir dalam bentuk anime, manga, video gim, mainan, kartu, dan berbagai aksesori. Konsep Digimon sendiri adalah makhluk semacam kecerdasan buatan alias artificial intelligent (AI) yang tersusun dari kumpulan data digital—berdasarkan konsep itu maka kehadiran Digimon sangat mungkin terwujud pada masa mendatang kalau orang mau.

Digimon memiliki berbagai bentuk, jenis, kemampuan, dan yang paling menarik: garis evolusi. Digimon hidup di dunia digital, suatu dunia paralel yang diciptakan dari jaringan komunikasi dan informasi manusia. Lantaran berbasis data, maka Digimon tidak pernah benar-benar mati.

Digimon dalam pertarungan di jagat digital tidak pernah digambarkan terkapar tanpa kesadaran lantas membusuk seiring waktu, tetapi melebur menjadi partikel atau berubah menjadi telur. Dari telur itulah, Digimon dapat kembali bertranformasi ke wujud yang lebih tangguh.

Pertarungan Wacana

Apa kaitan Digimon dengan sastra Indonesia sebagai hewan yang terluka? Setelah bertahun-tahun menyaksikan Metalgreymon dan Weregarurumon dengan bentuk yang pakem, serial Digimon Adventure yang tayang pada tahun ini menyajikan kemungkinan bentuk baru.

Pada sebuah adegan digambarkan dua Digimon itu terluka dan mengalami kuldesak dalam pertarungan. Para penonton Digimon diarahkan untuk menduga setelah ini mereka akan berevolusi menjadi Wargreymon dan Metalgarurumon seperti yang “seharusnya” terjadi.

Ternyata tidak, mereka tidak berevolusi. Mereka tetap Metalgreymon dan Weregarurumon hanya dalam bentuk lebih mutakhir dan ampuh. Metalgreymon dan Weregarurumon tidak perlu berubah menjadi sesuatu yang lain untuk membalikkan situasi dari hewan yang terluka menjadi pemenang pertarungan di jagat digital, tetapi dengan siasat baru yang relevan di medan dan situasi pertarungan saat itu.

Pada masa silam medan pertarungan sastra Indonesia ada di majalah dan jurnal kebudayaan, kemudian ke surat kabar karena majalah-majalah raksasa kebudayan masa lalu banyak yang gulung tikar. Pada masa itu, siapa yang mempunyai akses ke media-media cetak tersebut, selain tentu mempunyai gagasan dan keterampilan menulis, dapat menjadi sastrawan yang diakui.

Pengakuan sebagai sastrawan biasanya berlapis: dimulai dari menerbitkan tulisan-tulisan di majalah, jurnal, atau surat kabar, membukukan kumpulan tulisan, menulis buku utuh, dan pada titik tertentu dianugerahi penghargaan sastra. Begitulah sastrawan Indonesia, dan begitulah konsepsi adiluhung terhadap sastra Indonesia, yang sayangnya dapat dipertanyakan relevansinya pada era digital ini.

Semua orang memiliki akses ke media sosial. Semua orang bisa menulis di sana dan mendapatkan pembaca, banyak maupun sedikit, suka maupun tidak suka, bagus maupun buruk tulisannya dalam standar adiluhung sastra Indonesia yang masih diyakini dan diributkan oleh banyak orang.

Apakah media sosial menopang sastra Indonesia? Jawabannya tentu iya, hanya jika sastra Indonesia tidak selesai dirayakan sebagai hewan yang terluka, tetapi dicarikan kemungkinan-kemungkinan baru untuk bertahan, bahkan berkembang di jagat digital.

Jika pada masa silam sastra Indonesia terdistribusi lewat kapitalisme cetak saja, kini distribusi—bahkan produksi—sastra Indonesia sudah dengan memperhatikan algoritme. Beberapa penulis dan penerbit cukup strategis dalam hal ini. Dengan kata lain, sastra Indonesia mesti diperlakukan sebagai makhluk yang juga hidup di dunia digital, alias sebagai Digimon, alih-alih dibiarkan berjarak dari dunia tempat kita hidup dan berperistiwa hari ini..

Pada dasarnya sejak dulu kala sastra Indonesia adalah pertarungan wacana. Jagat digital hanya medan baru sebagai konsekuensi perkembangan teknologi dan informasi. Sayangnya, pembuktian keadiluhungan sastra Indonesia yang dilakukan beberapa orang justru dengan mengolok-olok pihak yang memenangi pertarungan wacana di medan baru itu, dan medium yang sama digunakan untuk menghajar potensi sastra Indonesia ketimbang mengembangkannya.

Sebagai Digimon, maka sekalah-kalahnya sastra Indonesia di jagat digital, toh ia akan menjadi telur, dan pada saatnya nanti melahirkan sastra Indonesia yang baru, entah apakah akan disukai atau bahkan tidak diakui sebagai sastra.

Pada kelahiran itu, para fasis kebudayaan semestinya siap, mengutip puisi Bambang Lokajaya dalam kumpulan puisi Martin Suryajaya, Terdepan Terluar Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945–2045 (2020),”Pulang ke dalam sastra Indonesia yang tak pernah ada.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya