SOLOPOS.COM - Deden Abdul Kohar Y.G. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Struktur masyarakat dalam konsep tata sosial Indonesia tidak bisa lepas dari kalangan santri. Santri bukan hanya dipandang sebagai kalangan yang paham agama. Peran santri dalam perjalanan sejarah Indonesia  melahirkan realitas sosial politik yang berkesinambungan hingga saat ini. Kalangan santri menjadi objek sekaligus subjek dalam politik.

Secara etimologis santri memiliki makna yang beragam. Nurcholis Madjid menjelaskan kata ”santri” berasal dari bahasa Sanskerta “sastri” yang berarti melek huruf. Pendapat tersebut berdasarkan aktivitas kaum santri sebagai kaum literary yang berupaya mendalami agama dari kitab-kitab yang berbahasa Arab.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ia juga menjelaskan asal kata santri ialah “cantrik” yang dalam istilah Jawa dimaknai sebagai orang yang selalu mengikuti guru ke mana ia menetap. Sebagai bagian unsur pesantren, santri berbeda dengan siswa dan mahasiswa yang umumnya berpendidikan di institusi formal tanpa mengenyam kehidupan pesantren.

Santri identik dengan agama Islam. Tujuan pesantren membina santri adalah membangun iqomatuddin sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 122. ”Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Ayat tersebut menjelaskan keharusan pembagian tugas kaum mukminin untuk iqomatuddin dan kewajiban adanya nafar, tho’ifah, kelompok, lembaga, atau jemaah yang mengkhususkan diri menggali ilmuddin supaya mufaqqih fiddin. Ayat tersebut juga mewajibkan insan yang tafaqquh fiddin untuk menyebarluaskan ilmuddin dan berjuang untuk iqomatuddin serta membangun mayarakat.

Nalar kritis selalu diuji ketika menyandang status sebagai santri. Metode pembelajaran pesantren dengan keteladanan (uswah hasanah), mengambil pembelajaran (ibrah), nasihat (mauidah), pujiandan hukuman (targhib wa tahzib) menghasilkan output karakter khas santri.

Tampak apabila ada santri bertemu dengan orang yang lebih tua, atau dianggap lebih tinggi, meskipun derajat keilmuan agama para santri lebih tinggi, kalangan santri menundukkan tubuh bahkan berjalan dengan posisi yang lebih rendah.

Nalar Kebangsaan

Kalangan agamawan pesantren juga terlibat langsung dalam aktivitas sosial politik, utamanya politik kebangsaan. Politik kebangsaan santri terlahir dari cara atau metode yang digunakan mendidik santri-santri di pesantren.

Adab dan ilmu dilanggengkan dalam kultur sosial pesantren sehingga menghasilkan santri yang kompeten dalam bernalar kebangsaan. Politik yang mengapitalisasi agama, polarisasi politik yang membawa-bawa agama, sangat jelas dalam pertarungan politik sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 dan pemilihan presiden pada 2019.

Keterbelahan publik sebagai dampak politisasi agama itu masih terasa hingga sekarang. Di sinilah kalangan santrimendapat ujian tentang pemikiran kebangsaan mereka. Para santri dengan tegas menolak pemikiran destruktif yang merusak tenun kebangsaan.

Santri lahir dari rahim pesantren dengan kultur pendidikan yang mengutamakan semangat ke-Indonesia-an. Santri pasti menolak arogansi dan ekstremisme yang menggunakan agama sebagai alat berkampanye demi meraih jabatan politik.

Kalangan santri sepanjang sejarah Indonesia memang selalu terlibat dalam politik. Tentu saja keterlibatan santri dalam politik selalu dengan warna berbeda dengan politik praktis yang berkembang. Kalangan agamawan pesantren menjadi aset strategis bagi para calon presiden yang akan bersaing dalam Pemilihan Umum 2024.

Lembaga survei dan media mulai memunculkan elektabilitas calon presiden. Pemberitaan tentang kedekatan tokoh-tokoh yang diproyesikan menjadi calon presiden dengan ulama, santri, dan pesantren kian hari kian banyak. Hal tersebut adalah bukti kalangan santri Nusantara memiliki andil besar dalam perpolitikan Indonesia.

Ketika salah satu partai politik mendeklarasikan calon presiden yang akan diusung, gerakan mendekati santri, membantu pesantren, dan mendekati kiai atau ulama langsung diintensifkan. Sowan kepada kiai atau ulama  menjadi ritual wajib sebelum pertarungan politik di mulai.

Laku seperti itu bukan hanya urusan tabarukan atau ”ngalap berkah” tetapi jelas bertujuan utama ”ngalap suara” kalangan santri dan kalangan agamawan pesantren. Dengan demikian rivalitas antara nalar kebangsaan dan politik praktis santri selalu diuji paad setiap pemilihan umum.

Semestinya santri tidak mendukung tokoh yang menggunakan agama sebagai alat berpolitik praktis tanpa esensi. Santri harus mendukung gagasan dan pikiran yang ditawarkan agat bisa memberikan sumbangsih terhadap bangsa dan negara karena santri sebenarnya adalah penguat nalar kebangsaan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 November 2022. Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya