SOLOPOS.COM - Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI dan Ketua Ansor yang akrab disapa Gus Men (Instagram/@yaqut.cholil.qoumas_)

Solopos.com, SOLO —  Dalam budaya di Jawa, sering kali mendengar sebutan Habib atau Gus yang disematkan kepada pemimpin atau tokoh spiritual dalam agama Islam. Namun sebenarnya, penamaan Habib dan Gus ini tidak bisa disandangkan begitu saja kepada seseorang, meskipun sudah memiliki pengetahuan agama yang dalam.

Mereka harus melalui proses-proses pembuktian yang wajar sehingga bisa dipanggil Habib atau Gus. Lantas apa beda sebutan Habib dan Gus?

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Habib

Dilansir dari Suara.com, Kamis (2/12/2021), cendekiawan muslim, Quraish Shihab, mengatakan Habib merupakan gelar yang sangat terhormat. Gelar ini semestinya tidak disandangkan kepada sembarang orang.

Dia membagi dalam tiga kategori orang yang pantas diberi gelar Habib, yaitu: orang yang memiliki pengetahuan ilmu yang dalam, orang yang dapat mengamalkan ilmu yang dimiliki tersebut dan dapat mengabdi secara tulus di tengah-tengah masyarakat.

Secara implementasi, orang yang sudah bergelar Habib ialah orang-orang yang dapat menjabat pertanyaan lalu memberikan solusi. Karena Habib atau ulama secara umum menurut Al-Quran merupakan pewaris nabi. Artinya, orang-orang tersebut mampu memberi solusi atas problematika sesuai pada zamannya masing-masing.

Baca Juga: Mitos Larangan Pernikahan Orang Sunda dan Jawa

Habib Keturunan Nabi 

Sementara itu, di kalangan bani Alawiyyah/Sa’adah dari Hadralmaut, seseorang dipanggil Habib karena memiliki kriteria telah menempuh pendidikan keagamaan dan memiliki hubungan nasab dengan Nabi Muhammad SAW. Gelar Habib adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada para keturunan Nabi Muhammad SAW dari turunan Husen, yaitu putra Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah Zahra yang merupakan putri Nabi Muhammad SAW. Keturunan mereka diriwayatkan tersebar ke berbagai lokasi, seperti Lembah Hadramaut, Asia Tenggara, Afrika Timur dan beberapa negara Arab.

Gus 

Sedangkan di Jawa sangat umum dengan panggilan Gus yang dipakai menyapa anak para kiai. Ketika si anak kiai naik menjadi pengurus pesantren menggantikan ayahnya, dia akan bergelar kiai, dan sebutan Gus yang bersandar pada namanya akan hilang.

Selain kepada anak kandung, Gus juga disematkan kepada anak laki-laki menanmtu kiai pengasuh pesantren. Mantu kiai akan dipanggil Gus meskipun tidak memiliki garis keturunan kiai. Seorang Gus bisa ditahbiskan menjadi Kyai. Pada tahap ini, jika seseorang yang sudah menjadi kiai tapi lebih suka dipanggil Gus, maka gelar kiai-nya tidak akan hilang.

Baca Juga: Suku Sunda dan Jawa Tinggal 1 Pulau, Tapi Kok Beda Bahasa?

Secara analogi, gelar Gus ini sama seperti gelar dalam kerajaan di mana sang pewaris takhta, anak dari Raja yang memiliki jabatan sebagai Pangeran atau Putra Mahkota akan berganti saat dia naik takhta menjadi Raja. Di Madura, Gus lebih dikenal dengan sebutan Lora, Karenanya, di Madura, seorang putra Kyai besar akan dipanggil Lora bukan Gus tapi tetap dengan maksud dan tujuan yang sama.

Meskipun demikian, ada juga pengecualian. Di mana sebutan Gus juga dijadikan sebagai lambang keilmuan dan akhlak sosial seseorang. Gus menjadi tidak hanya lambang keturunan Kyai, melainkan  juga penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya