SOLOPOS.COM - Umat muslim sedang menunaikan salat tarawih di halaman Griya Solopos tahun lalu. Meski ada perbedaan dalam beribadah, umat Islam supaya bisa saling menghargai. (dok)

Umat muslim sedang menunaikan salat tarawih di halaman Griya Solopos tahun lalu. Meski ada perbedaan dalam beribadah, umat Islam supaya bisa saling menghargai. (Burhan Aris Nugraha/JIBI/SOLOPOS)

Jumat (21/7/2012) sekitar pukul 08.30 WIB, Sari, 26, sedang asyik mencuci baju di kompeks kos-kosan di Karangasem, Laweyan, Solo. Sambil mengerjakan tugas sehari-harinya itu, Sari bercerita perihal perbedaan pelaksanaan ibadah puasa di dalam rumah tangganya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Hari ini [Jumat] saya sudah puasa, tapi suami saya belum. Suami baru puasa besok [Sabtu]. Sejak dulu suami biasa ikut pemerintah,” kata Sari kepada Solopos.com.

Ibu satu anak itu menuturkan meski sering beda awal menjalankan puasa di bulan Ramadan, mereka tetap berusaha menghormati. Dia mengaku suaminya tetap mengantar mencari makanan untuk sahur. Ia berusaha menyadari adanya perbedaan itu karena keyakinan masing-masing.

“Sejak kecil, saya sudah terbiasa ikut puasa sesuai dengan ketetapan Muhammadiyah karena lingkungan tetangga kebanyakan orang-orang Muhammadiyah,” tambahnya.

Bagi dia, meski berbeda waktu puasa, yang terpenting masih tetap menunaikan ibadah puasa.

Kejadian yang dialami Sari mungkin juga banyak terjadi di keluarga-keluarga muslim lainnya.  Perbedaan barangkali tidak hanya sebatas saat awal Ramadan atau Syawal. Berbagai bentuk ibadah memungkinkan terjadinya perbedaan di antara umat muslim.

Ketua Lembaga Al Iqtida’ bi Akhlaqirrosul, Sofwan Faisal Sifyan mengatakan perbedaan dalam beribadah itu wilayah keyakinan. Sofwan menuturkan umat Islam harus dewasa dalam menyikapinya.

“Mana yang diyakini silakan diikuti. Tapi dengan catatan yang mantap dan diyakini itu memiliki dasar. Sehingga tidak hanya mantap ikut si A dan si B,” kata Sofwan saat ditemui Solopos.com di Kantor Lembaga Al Iqtida’ bi Akhlaqirrosul, di Solobaru Sukoharjo, Sabtu (21/7/2012).

Sofwan menuturkan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan pemerintah memiliki dasar dalam menentukan awal Ramadan. Untuk itu, kalau ada dasar-dasar yang kuat, perbedaan-perbedaan itu supaya tidak menjadi masalah.

Lelaki yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Kajian Lintas Kultural (LKLK) itu menilai umat muslim sudah terbiasa dengan perbedaan-perbedaan itu.

Dia berharap elit-elit agama tidak perlu saling panas memanasi. Sebagian masyarakat sering terprovokasi oleh elit-elit agama, baik itu melalui pernyataan yang serius maupun yang bernada guyonan.

Sofwan melihat perbedaan-perbedaan seperti awal Ramadan dan awal Syawal sebagai sebuah test case. Yaitu apakah perbedaan itu berpengaruh kepada ukhuwah Islamiah atau tidak. Perbedaan tidak menjadikan umat retak. Ukhuwah Islamiah masih kokoh. Selama ini masih tidak masalah. Yang penting perbedaan tidak menjadi pemicu pertentangan atau perepecahan. Sebab perpecahan akan merusak ukhuwah Islamiyah.

Dia mencontohkan salat Tarawih itu hukumnya sunah dan dipersilakan jika mau mengerjakan delapan rokaat atau 20 rokaat. Hukum Tarawih yang sunah itu bisa jadi haram kalau pertentangannya menimbulkan perpecahan.

Mubaliq Solo, Ahmad Qusyairi menyebutkan perbedaan di antara ulama itu rahmat.  Memasuki bulan Ramadan, dirinya banyak menerima sms yang menanyakan puasa ikut yang mana. “Kalau mau mengamalkan suatu amalan supaya pakai dalil,” imbuh Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) itu.

Ketua Forum Silaturahmi Takmir Masjid dan Musala Indonesia (Fahmi Tamami) Soloraya, Ahmad Baidlowi menyampaikan jika terjadi perbedaan di dalam ibadah supaya saling menghargai dan bersikap toleran. Ahmad mengatakan satu pihak jangan hanya minta dihargai pihak yang lain.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali IMran: 103)

Ahmad mengatakan umat Islam boleh saja berbeda dalam hal ibadah tapi tidak boleh beda soal akidah. “Selama masih Laa ilaaha illallah  dan beda cara ibadah atau cara bekerja, itu sah-sah saja. Derajat manusia di sisi Allah itu di sampai di mana iman dan takwanya. Inna akromakum ‘indallahi atqookum,” imbuhnya.

Dia berharap umat Islam menghargai perbedaan. Tidak sama itu indah sehingga muncul kalimat indahnya perbedaan. Umat Islam harus rukun dan bersatu serta mau duduk bersama untuk membahas sesuatu yang dibicarakan bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya