SOLOPOS.COM - Y.F. Sukasno (Ardiansyah Indra Kumala/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO -- Ketika banjir besar melanda Kota Solo pada 16 Maret 1966, YF Sukasno baru berusia 7 tahun. Ia tinggal bersama keluarganya di Kampung Bangunharjo RT 001/RK 003 Kelurahan Gandekan, Jebres, Solo.

Meski sudah berlalu 55 tahun, peristiwa itu masih lekat dalam ingatan pria yang kini menjadi legislator DPRD Solo dari PDIP itu. Kepada Solopos.com, Rabu (17/3/2021), ia bercerita banjir besar pada 16 Maret 1966 diawali hujan deras selama berhari-hari di Soloraya.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

“Umur kula tujuh tahun. Sebelum banjir hujan terus beberapa hari. Saya dan teman-teman karena masih anak-anak malah rasanya senang bisa hujan-hujanan. Tiga hari hujan terus. Hujan, terang, hujan, terang,” tuturnya.

Baca Juga: Ngeri! Banjir Bandang 16 Maret 1966 Nyaris Tenggelamkan Seluruh Wilayah Solo

Pada hari terjadinya banjir besar Solo itu, Sukasno menceritakan air mulai masuk kampungnya pada sore hari. Lalu pada pukul 17.00 WIB ia diajak keluarganya mengungsi ke SD Widya Wacana Solo. Sampai saat ini sekolah tersebut masih ada.

Ketika itu tidak hanya Sukasno dan keluarganya yang mengungsi ke sekolah tersebut, tapi juga para tetangga. Namun tak lama mengungsi di SD Widya Wacana, Sukasno dan keluarganya harus pindah ke Dalem Danu Seputran.

Geger Tanggul Jebol

Terdapat bangunan joglo di dalem itu yang digunakan warga untuk menyelamatkan diri dari terjangan banjir. Sampai saat ini bangunan tersebut pun masih ada. Namun, di tempat itu pun Sukasno dan tetangganya tidak bisa bertahan lama.

Baca Juga: Pengunggah Komentar Miring Tentangnya Diciduk Polresta Solo, Gibran: Silakan Kritik Saya, Tapi...

“Habis Magrib saya diajak keluar lagi oleh orang tua dan tetangga ke SMAN 3 Solo. Kira-kira pukul 19.30 WIB geger terdengar orang teriak-teriak tanggule jebol. Saya malah lari ke pinggir jalan, dicari orang tua, dimarahi,” katanya mengenang banjir besar Solo itu.

Karena genangan banjir yang terus naik, pada malam itu juga Sukasno dan para tetangga kembali pindah tempat pengungsian. Mereka berpindah ke kompleks SD Warga agar tidak terkena banjir besar.

Warga menginap di sekolah itu pada malam pertama banjir. Esok harinya mereka kembali berpindah tempat pengungsian yaitu di Gedung Gajah—sekarang Kantor PMS Solo. Sebagian warga mengungsi di Gedung Sin Min Solo.

Baca Juga: Duh! Gara-Gara Dana CSR Rp49,5 Juta, PKL Dan Sekda Sragen Sampai Bersitegang

Saksi Sejarah

Gedung yang kini menjadi Kampus UNS di Jl Urip Sumoharjo, Solo, itu pun menjadi saksi sejarah dampak banjir besar Solo 1966. Ketinggian air banjir saat itu menurut Sukasno bervariasi. Banjir mencapai Pertigaan Gedung Gajah.

“Zaman itu banyu sing lor Jl Urip Sumoharjo wes tekan pertelon kulon Gedung Gajah. Kalau kampung saya kelep semua. Rumah terendam. Atap atau gendenge tinggal kelihatan tiga atau empat wuwungan saja,” katanya.

Baca Juga: Diolok-Olok Enggak Ngerti Sepak Bola, Gibran Bicara Soal Persis Solo

Seperti diketahui, banjir bandang di Kota Solo pada Maret 1966 lalu berlangsung beberapa hari. Hampir seluruh wilayah kota terendam dan hanya menyisakan Kecamatan Laweyan serta Kelurahan Mojosongo yang tak terkena banjir.

Pada beberapa tempat, air banjir besar Solo itu mencapai ketinggian 2 meter. Aktivitas pemerintahan dan perekonomian lumpuh selama beberapa hari karena jalan-jalan tak bisa dilalui. Banjir besar itu disebabkan jebolnya tanggul Bengawan Solo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya