SOLOPOS.COM - Pendeta Saifuddin Ibrahim kembali melontarkan pernyataan kontroversial dari tempat pelariannya di AMerika Serikat, Rabu (6/4/2022). (Youtube)

Solopos.com, SOLO – Pendeta Saifuddin Ibrahim yang membuat heboh karena meminta 300 ayat Alquran dihapus karena menjadi sumber kekerasan ternyata dulunya seorang pejuang Negara Islam Indonesia (NII).

Saifuddin Ibrahim terpapar paham NII setelah lulus sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kesaksian itu disampaikan Syamsul Hidayat, teman sekamar Saifuddin Ibrahim saat mondok di Ponpes Haji Nuriyah Sobron sembari berkuliah di UMS.

Baca Juga: Pendeta Joshua: Saifuddin Ibrahim Tidak Mewakili Kekristenan

Ekspedisi Mudik 2024

Dikutip Solopos.com dari program Fakta di kanal Youtube TVOneNews, Jumat (8/4/2022), Syamsul mengatakan dirinya bersahabat dengan Saifuddin sejak 1984.

“Pertama ketemu sebelum masuk ke Sobron. Saya dan dia mengambil Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama. Di situ belajar semua agama, aliran kepercayaan,” ujar pria yang kini menjabat Dekan Fakultas Agama Islam UMS.

Syamsul Hidayat, Dekan Fakultas Agama Islam UMS yang juga teman kuliah Saifuddin Ibrahim. (Youtube)

Menurut Syamsul, kemampuan akademis Saifuddin Ibrahim tidak menonjol dibandingkan teman-temannya. Bahkan, kata dia, untuk mata kuliah Bahasa Arab kemampuan Saifuddin Ibrahim tergolong jelek.

“Makanya kalau ngaku guru besar bahasa Arab, menurut saya itu nol besar,” ujarnya.

Baca Juga: Tak Hanya Hina Islam, Saifuddin Ibrahim Juga Serang Sesama Pendeta

Syamsul menceritakan, dirinya dan Saifuddin menjalani kuliah di UMS dan mondok di Pondok Sobron secara bersamaan. Saifuddin lantas lulus sebagai sarjana muda pada tahun 1988 dan kembali ke Bima, Nusa Tenggara Barat.

Di kampung halamnannya itu, Saifuddin yang lahir 26 Oktober 1965 itu mengabdi sebagai guru Muhammadiyah sekaligus sebagai pendakwah Islam.

Entah bagaimana ceritanya, saat terjadi peristiwa GPK Warsidi pada tahun 1989 di Lampung, Saifuddin ikut terlibat. Beberapa saudaranya yang tokoh agama di Bima ditangkap polisi sedangkan Saifuddin kabur ke Solo. Ia lantas melanjutkan pendidikannya hingga lulus S1.

Baca Juga: Tinggal di AS, Saifuddin Ibrahim: Kalau Pulang Saya Habis!

Setelah lulus, Saifuddin lantas menjadi guru Muhammadiyah di Jepara, Jawa Tengah dan menikahi gadis di Kota Ukir.

“Saat menikah pun kami rombongan dari UMS hadir. Nah di Jepara itu ia ikut komunitas yang sudah terpapar NII. Setelah itu dia pindah ke Sawangan, Depok, Jawa Barat dan mengajar di Pondok Pesantren Daarul Arqam,” katanya.

Semenjak saat itu Saifuddin kian larut dalam NII. Ia merekrut banyak orang untuk bergabung dengan organisasi terlarang tersebut hingga memicu banyak konflik dengan komunitas Islam lainnya di Depok.

Karena menimbulkan keresahan, PP Muhammadiyah pada tahun 1994 lantas menugaskan Budi Nurastowo Bintriman untuk membendung pengaruh Saifuddin Ibrahim di Sawangan, Depok. Budi adalah adik kelas Saifuddin Ibrahim di UMS.

Baca Juga: Dari Amerika Serikat, Saifuddin Ibrahim Sebut Hakim Indonesia Bodoh

“Saya mendapat informasi dari teman-teman di Sobron, bahwa Saifuddin ini adalah tokoh di NII KW IX. Saya empat tahun di Depok. Tapi tak lama setelah itu NII di Daarul Arqam meledak, Saifuddin Ibrahim sudah buron,” katanya.

Budi Nurastowo Bintriman, adik tingkat Saifuddin Ibrahim saat kuliah di UMS. (Youtube)

Selama berinteraksi dengan Ponpes Daarul Arqam itulah ia menemukan banyak penyimpangan perilaku orang-orang yang terpapar NII. Salah satunya adalah tidak berpuasa saat Bulan Ramadan.

“Banyak santri, ustaz, dan stafnya yang gampang tidak berpuasa saat Ramadan, juga tidak salat. Bahkan banyak yang gagah-gagahan, menunjukkan ini lho saya merokok saat Bulan Puasa, dan sebagainya,” ujar Budi.

Baca Juga: Ditetapkan Tersangka, Kapan Saifuddin Ibrahim Ditangkap?

Budi mengaku dirinya sempat diajak Saifuddin Ibrahim untuk masuk ke NII namun ditolaknya. “Dia bilang ‘ayok ikut, di tempatku enak’. Memang di NII itu ia terlihat perlente, baju-bajunya bermerek, bawa pager (alat komunikasi awal tahun 1990-an). Itu terjadi tahun 1995. Langsung saya tolak,” ujarnya.

Itu merupakan komunikasi terakhir Budi dengan Saifuddin. Saifuddin lantas keluar dari Ponpes Daarul Arqam dan masuk ke Ponpes Az Zaytun, Indramayu.



Di tempat barunya itu, Saifuddin juga menularkan paham NII-nya kepada banyak santri.

“Iya benar, di Az Zaytun Abi memang mengajarkan itu (NII), dari tahun 1999 hingga 2006,” ujar putra kedua Saifuddin Ibrahim, Saddam Hussein dalam salah satu kesempatan.

Saddam meminta ayahnya kembali ke Tanah Air untuk mempertanggungjawabkan kegaduhan yang dibuatnya. “Tapi dia menolak. Memang kegaduhan ini yang beliau inginkan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya