SOLOPOS.COM - Sartika Dian Nuraini, Esais dan Peminat Seni Rupa (FOTO/Istimewa)

Sartika Dian Nuraini, Esais dan Peminat Seni Rupa (FOTO/Istimewa)

Peter Carey, sejarawan dari Universitas Oxford, mengatakan Raden Saleh (1813-1880) adalah sosok yang aneh. Raden Saleh adalah Arab wurung, Landa durung, Jawa tanggung (Koran Tempo, 10 Juni 2012). Siapa Raden Saleh? Apakah kita masih mengenalinya? Jawabannya tidak hanya di pameran yang bertajuk bertajuk Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia di Galeri Nasional Jakarta, 3-17 Juni 2012. Pameran yang diinisiasi oleh Goethe Institute bekerja sama dengan Kedutaan Besar Jerman di Jakarta dan Galeri Nasional Jakarta ini dihadiri ribuan pengunjung. Sebuah keajaiban, mengingat publik seni di Indonesia masih terbilang minim jumlah dan apresiasinya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Saya juga ingin mencari jawaban tentang Raden Saleh Sjarif Boestaman. Keinginan itu terwujud pada hari terakhir pameran. Saya berada di Galeri Nasional Jakarta dan mata saya dibuat terpukau oleh lukisan-lukisan dan sketsa-sketsa yang dibuat Raden Saleh. Penilaian saya hanya satu kata: memukau! Saya merasa sejarah masa lalu datang dengan rayuan-rayuan visual dan misteri biografi sang pelukis.

Lukisan-lukisan itulah yang mengenalkan kita pada perantauan seorang pelukis yang terkenal di Eropa. Namun, banyak misteri sang pelukis dan lukisannya yang belum terungkap sampai hari ini. Saya bernapas pelan-pelan untuk mengenang Raden Saleh dan sejarah Indonesia. Raden Saleh adalah ikon yang memperkenalkan Jawa di mata publik seni Eropa.

Melalui lukisan-lukisannya, Raden Saleh telah mengusung imaji-imaji tanah Jawa atau Hindia Belanda ke Eropa, memindahkan realitas Timur ke Barat. Dalam waktu bersamaan membawa implikasi terhadap perubahan persepsi kaum pribumi di hadapan kolonialisme. Melalui lukisan-lukisan Raden Saleh, kolonialisme semakin menampakkan wujudnya secara jelas sebagai bentuk kekejaman terhadap nurani kemanusiaan.

Pada abad ke-21 kita masih dapat mewarisi humanisme, nasionalisme dan antikolonialisme yang diusung Raden Saleh melalui lukisan-lukisannya. Kita sebenarnya juga bisa mempelajari alam pikiran Raden Saleh lewat tulisannya yang terpampang di sisi kiri pintu masuk Galeri Nasional Jakarta. Kutipan itu menyapa mata para pengunjung ketika memasuki ruang depan pameran lukisan.

Terbaca di sana,”Dua kutub yang saling bertentangan, namun keduanya cerah dan ramah, seperti kekuatan sihir sakti yang memengaruhi jiwaku. Di sana taman firdaus masa kecilku, di bawah terik matahari dan di keluasan Samudra Hindia yang gemuruh, tempat tinggal orang-orang yang kucintai dan tempat abu nenek moyangku bersemayam. Di sini, Eropa, negara-negara paling beruntung, tempat kesenian, ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi berkilau bagai permata, yang memikat bagai gairah masa mudaku dapat kutemukan lebih banyak dibanding impian kampung halamanku, di mana aku begitu bahagia, di antara sahabat-sahabat baikku, sebagai pengganti ayah, ibu, dan saudara-saudariku. Hatiku terbagi untuk keduanya.”

Kutipan tulisan Raden Saleh di atas ditulis di Maxen pada 1848. Dalam kutipan tersebut, pembaca mudah menangkap suatu dilema yang khas zaman itu: antara nasionalisme dengan fetisisme terhadap peradaban Eropa. Maka, kita bisa mewarisi benih semangat nasionalisme Raden Saleh. Pada masa itu, mungkin gagasan Raden Saleh tidak sejelas yang ditunjukkan oleh kaum pergerakan di Hindia Belanda. Tetapi, kita bisa menduga selama di Eropa Raden Saleh terus memperhatikan nasib bangsanya. Lukisan adalah ekspresi untuk mengenalkan dan membela tanah airnya.

Lukisan-lukisan itu ”merupakan bahasa paling sederhana” yang banyak bertutur tentang nasionalisme dan hakikat kemanusiaan. Satu dimensi kemurnian yang tak dapat hilang, walau jati dirinya telah berubah ketika mengenyam surga pengetahuan di tanah rantau, Eropa. Raden Saleh memaknakan diri sebagai ”bocah kecil berhati murni” yang segera siap dan mudah untuk dikonstruksi dan mengkonstruksi realitas kolonialisme.

Kita pun belum tentu rela menyebutnya sebagai Jawa, mengingat dia berpikir layaknya orang Eropa dan tak rela menyebutnya Jawa mengingat ia memakai bahasa seni yang dipakai oleh orang-orang Eropa. Namun, satu hal yang jelas disampaikannya dalam lukisan-lukisan itu melalui warna rasa kemanusiaan dan pertalian dengan Jawa yang membuatnya menggambar kemurnian hatinya sebagai orang Jawa yang menuntut satu kehidupan ideal di tanah air, impian kecil tentang kemerdekaan.

Soekanto dalam buku Dua Raden Saleh, Dua Nasionalis Dalam Abad ke-19 (1951) menyatakan Raden Saleh adalah seorang nasionalis dan revolusioner,”Walaupun sudah westersch georienteered, ia masih tjinta dan masih mentjari perhubungan dengan bangsanja sendiri.” Kita dapat merasakannya dari tema-tema lukisan dan lanskap yang menunjukkan ikatannya dengan tanah air. Padahal, selama puluhan tahun Raden Saleh hidup dan melukis di negeri Eropa.

 

Benih Nasionalisme

Bagaimana kita bisa membayangkan betapa rindu dan kagumnya Raden Saleh dengan tanah kelahirannya? Artinya, lukisan-lukisannya tentu menggunakan mata memori yang kuat untuk mengimajinasikan segala hal di Hindia Belanda. Mata Eropa memandang lukisan Raden Saleh sebagai eksotisme dan pernyataan orientalisme. Barangkali mereka kurang menyadari ada benih-benih nasionalisme yang digoreskan Raden Saleh.

Lukisan Raden Saleh yang paling terkenal adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro. Konon, saat pulang ke Jawa, Raden Saleh membawa sepucuk pistol dan buku Revolution de 1848. Raden Saleh mungkin jadi bersemangat membuat lukisan yang menorehkan nasionalisme. Inilah yang menunjukkan dirinya antikolonialisme (Tempo, 11 Juli 2010). Namun, masih banyak hal yang belum kita ketahui tentang latar belakang dan motif-motif dari lukisannya.

Para ahli masih terus menelitinya, meskipun hanya mendapati sedikit sumber-sumber rujukan. Sosok Raden Saleh adalah nasionalis di balik penampilannya yang selalu memukau di mata masyarakat Eropa. Selama 23 tahun tinggal di Eropa, ia bergaul di kalangan aristokrat. Ia selalu berpenampilan eksotis dengan busana timur yang diciptakannya sendiri. Barangkali Eropa lebih tertarik dengan penampilan Raden Saleh tetapi tidak menyangka di balik semua itu ada gagasan humanisme, antikolonialisme dan nasionalisme.

Anehnya, beberapa ahli mengatakan Raden Saleh melukis demi uang. Namun, kita masih bisa memperdebatkannya. Werner Kraus menyatakan semua Gubernur Hindia Belanda memang dilukis oleh Raden Saleh dengan bayaran yang mahal, tetapi tidak berarti dirinya mendukung kolonialisme. Raden Saleh malahan sedih melihat bangsanya dijajah.

Artinya, kita masih harus banyak belajar dan membuka kembali lembaran sejarah yang ternyatakan dalam lukisan-lukisan Raden Saleh. Maestro asal Jawa itu mewariskan banyak hal pada kita, meskipun kita belum dapat merawat secara pantas dan terhormat.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya