SOLOPOS.COM - Pengendara melintas di depan Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Surakarta (TBS), Solo, beberapa waktu lalu. (Maulana Surya/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Simpul-simpul sosial budaya di Kota Solo kian komersial. Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (TBS), Taman Balekambang, dan Joglo Sriwedari sebagai contoh simpul sosial budaya itu kini berkembang sebagai mesin pendulang uang dalam pemenuhan target pendapatan asli daerah (PAD).

Selain terjajah target PAD, simpul-simpul sosial budaya itu juga kian birokratis. Ruang-ruang publik untuk ekspresi sosial dan budaya, termasuk berkesenian itu, kini lebih akomodatif terhadap acara-acara yang mendatangkan uang demi mencapai target PAD.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

”Yang paling menonjol ialah maraknya pesta pernikahan di Taman Budaya Surakarta (TBS). Lama-lama, TBS menjadi gedung pernikahan, bukan lagi gedung kesenian,” kata Yunanto Sutyastomo, pengelola Balai Soedjatmoko Solo, saat berbincang dengan Solopos.com pekan lalu.

Menurut Yunanto, gejala di TBS tersebut secara tak langsung telah mempengaruhi iklim aktivitas sosial budaya, termasuk berkesenian, di Kota Bengawan. Salah satunya kerap terjadi benturan kepentingan antara para seniman, budayawan, dengan para penyewa gedung TBS secara komersial.

Seniman teater, Hanindawan, mengatakan suasana TBS akhir-akhir ini memang kian komersial. Sebagai pengelola seni teater di TBS, ia mengaku sering harus menunda pertunjukkan teater jika berbarengan dengan acara pesta pernikahan di Pendapa Ageng TBS.

“Secara teknis, ya [acara seni budaya] harus digeser. Kalau zamannya Pak Murtidjono dulu, enggak boleh ada acara pernikahan di TBS,” kata Hanindawan.

Menurut Hanindawan, perubahan iklim pengelolaan TBS akhir-akhir ini yang lebih berpihak kepada kepentingan komersial [pemenuhan target PAD] dibandingkan menjadi simpul sosial dan budaya, termasuk seni, adalah imbas otonomi daerah.

Setelah pengelolaan TBS diserahkan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah, TBS yang semula murni menjadi laboratorium seni budaya, dan menjadi simpul sosial, kini dituntut harus setor PAD. “Dulu yang bergerak di TBS adalah seniman. Motor TBS adalah para seniman dan budayawan, ditambah warga masyarakat yang aktif di kegiatan sosial. Sekarang, karena tuntutan PAD, yang bergerak adalah birokrasi,” ujar Hanindawan.

Hanindawan berharap pengelola TBS lebih akomodatif dalam menyerap program kegiatan para seniman. Selain PAD, faktor kepemimpinan dia nilai juga memiliki andil besar dalam membentuk iklim berkesenian di TBS.

Networker kebudayaan, Halim H.D., mengatakan sebenarnya TBS masih punya harapan menjadi ruang sosial budaya, termasuk ruang berkesenian, yang kondusif. Para pengelolanya harus memiliki visi dan misi yang kuat untuk mengembangkan sektor sosial, seni, dan budaya.

Halim menyebut bahwa tonggak sejarah mendunianya TBS ketika di bawah kepemimpinan Murtidjono, pada 1981-2007. Bagi Halim, Murtidjono merupakan peletak dasar sistem pengelolaan TBS yang terbuka, egaliter, dan berani memangkas birokrasi yang kaku, lambat, dan formalistik.

”Ia sadar seniman dan budayawan membutuhkan kelonggaran, fleksibilitas, improvisasi, dan kolegial. Ia tahu apa yang mesti diperbuat di TBS. Nah, itu yang tidak terjadi sekarang?” ujar Halim.

Senasib dengan TBS, ruang-ruang simpul sosial budaya lainnya di Solo, seperti Taman Balekambang dan Sriwedari, kini kian komersial dan terasing dari aktivitas seni dan budaya. Menurut budayawan St. Wiyono, kondisi ini tak terlepas dari gempuran budaya massal yang berkolaborasi dengan industri seni.

Contohnya, menurut Wiyono, ialah tingginya minat masyarakat pada atraksi goyang artis yang menonjolkan syahwat atau humor dengan selera rendahan ketimbang seni yang berakar budaya. “Akhirnya, siapa yang bisa memberikan pendapatan, ya itu yang dipakai,” kata Wiyono.

Kepala Pengelola TBS, Suhardi, tak memungkiri hal-hal tersebut. Menurut dia, target PAD TBS hanya Rp300-an juta/ tahun. Kepada para seniman dan budayawan, Suhardi mengaku berusaha semaksimal mungkin memberi kelonggaran tarif.

”Jika saya boleh usul, saya akan minta target PAD di TBS dihapuskan saja. Biarlah TBS dikembalikan kepada para seniman dan budayawan seperti dulu lagi,” ujar Suhardi.

Kepala UPTD Taman Balekambang Solo, Endang Sri Murniati, mengatakan PAD adalah bagian pelaksanaan peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang retrubusi. Menurut Endang, pemasukan terbesar Taman Balekambang adalah kegiatan-kegiatan dari pihak swasta dan pernikahan. “Kalau acara-acara seni-budaya sangat minim,” kata Endang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya