SOLOPOS.COM - Sukma Larastiti/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Tulisan ini merupakan gabungan catatan saya dari diskusi dengan topik penataan parkir di Jl. Slamet Riyadi, Kota Solo, yang diadakan oleh Forum Kota pada Juli 2019 dan Forum Rembuk Soloraya yang diadakan Harian Solopos pada Rabu (4/12/2019).

Esai ini barangkali dapat disebut terlambat diterbitkan sekarang mengingat kebijakan sudah berjalan, seperti yang terjadi di sisi utara Jl. Slamet Riyadi. Walaupun begitu, tulisan ini tetap saya buat dengan tujuan agar kita belajar dari kebijakan yang sudah terlaksana.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tentu saja berbeda dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya yang bertujuan mengingatkan sebelum kebijakan dilaksanakan. Kalaupun tidak bisa belajar dari peringatan, saya berharap kita dapat belajar dari apa yang sudah terjadi.

Toh, dari pengalaman yang lalu, kebijakan yang sudah diputuskan oleh pemerintah kota tidak akan begitu saja berubah hanya karena sebuah tulisan. Pembahasan Jl. Slamet Riyadi yang mengaitkan transportasi dengan ekonomi sesungguhnya kompleks.

Ada banyak faktor yang berpengaruh. Sayangnya, pemerintah hanya mampu mengidentifikasi masalah parkir sebagai pokok permasalahan dan mengabaikan faktor-faktor sejarah ruang dan jalan, desain jalan, dan angkutan umum yang turut membentuk Jl. Slamet Riyadi masa kini.

Ruang dan jalan di Jl. Slamet Riyadi ada sejak zaman Belanda. Terbentuk mengikuti pola pergerakan manusia ketimbang kendaraan bermotor. Ini alasan kenapa muka bangunan atau toko menempel garis sempadan jalan dan tidak perlu penyediaan tempat parkir di halaman depan bangunan seperti bangunan-bangunan masa kini.

Bentuk seperti ini memudahkan pejalan kaki langsung mengakses bangunan tanpa perlu berjalan kaki menjauhi jalan. Kebijakan transportasi ala pemerintah yang mengubah tipe jalan menjadi satu arah dan kemudian mengubah desain jalan dengan memperlebar trotoar dan menghilangkan tempat parkir di sisi selatan menimbulkan efek yang tak sederhana.

Jalan satu arah memunculkan lalu lintas menerus lebih besar ketimbang mampir yang berdampak menurunnya aktivitas di kanan dan kiri jalan. Ini pula yang terjadi pada kasus jalan satu arah di Jl. dr. Radjiman dulu. Perubahan ini juga menciptakan ruang jalan yang sangat lebar dan lebih sulit untuk diseberangi pejalan kaki kendati membuat lalu lintas kendaraan lebih lancar.

Dibandingkan jalan satu arah, tipe jalan dua arah berefek psikologis membuat jalan menjadi lebih sempit bagi pejalan kaki. Jalan satu arah juga meningkatkan kemungkinan pengendara kendaraan apa pun memacu kecepatan dan berisiko terjadi kecelakaan fatal.

Tidak banyak orang mau menyeberangi jalan selebar 17 meter (34 meter bolak-balik) setiap hari dengan kendaraan yang melintas berkecepatan di atas 40 km/jam. Jika wali kota yang berdiam di rumah dinas wali kota saja tidak mau melakukan tentu tidak banyak yang bisa diharapkan dari warga biasa.

Angkutan Umum yang Memburuk

Desain jalan ini memang tidak ramah bagi pejalan kaki. Kondisi ini diperburuk dengan sistem angkutan umum yang terus memburuk akibat peralihan ke penggunaan kendaraan pribadi secara besar-besaran.

Dibandingkan angkutan umum, pengguna kendaraan pribadi lebih banyak mendapatkan insentif, seperti kemudahan pembelian unit kendaraan dan boleh parkir sembarangan, termasuk di jalur sepeda dan trotoar.

Insentif ini juga yang mendorong pembentukan kultur berkendaraan pribadi. Akibatnya, ruang yang terbentuk ratusan tahun ini kesulitan mengakomodasi perubahan pergerakan yang terjadi. Dibandingkan jalan atau lalu lintas yang perubahannya dapat dilakukan dengan dinamis, tata ruang lebih bersifat statis karena perubahan ruang melibatkan biaya yang lebih besar.

Itulah alasan kenapa kebijakan parkir ala pemerintah sebenarnya problematis. Ruang di sepanjang Jl. Slamet Riyadi dipaksa melayani pergerakan kendaraan bermotor yang sebetulnya bukan peruntukannya. Ruang-ruang jalan yang seharusnya disediakan untuk pengguna jalan lainnya diubah untuk melayani kebutuhan baru ini.

Skema kebijakan parkir ala pemerintah saat ini memberi kendaraan bermotor 29 meter dari 38 meter lebar efektif ruang jalan (atau sekitar 76%). Pengguna jalan yang lain mendapat sisa ruang hanya sembilan meter (24%).

Taman yang dianggap sebagai ruang kosong maupun jumlah pejalan kaki yang sedikit sebenarnya tidak bisa menjadi justifikasi bahwa ruang itu boleh begitu saja diubah fungsinya. Taman tak hanya menurunkan suhu lingkungan, tetapi juga meningkatkan kualitas layanan trotoar dan jalur sepeda dengan menjadi pelindung keduanya dari lalu lintas kendaraan.

Jika terjadi kecelakaan sebagaimana yang terjadi di depan sekolah Ursulin beberapa waktu lalu, taman menghambat kendaraan sehingga tidak langsung menerobos trotoar dan jalur sepeda. Taman justru semakin penting di jalan arteri dan arteri sekunder yang memiliki lalu lintas dengan kecepatan tinggi!

Alih fungsi taman dan trotoar untuk tempat parkir menunjukkan tidak ada keadilan ruang untuk pengguna jalan lainnya dan merupakan preseden buruk dalam pengembangan sistem transportasi perkotaan, apalagi jika mengingat panjang trotoar Kota Solo baru 1,49% dan jalur sepeda 3,63% dari total panjang jalan kota.

Penyediaan tempat parkir kendaraan dan jalur sirkulasi yang sebidang dengan trotoar juga meningkatkan paparan dan kerentanan pejalan kaki, kaum difabel, dan pesepeda terhadap kendaraan bermotor yang diparkir. Saat jalur lambat sisi utara Jl. Slamet Riyadi dilarang beberapa tahun yang lalu terlarang untuk parkir, kendaraan bermotor tetap saja melanggar batas median taman yang memisahkan jalur utama dan jalur lambat.

Gagal Mengukur Kebutuhan

Kebijakan membolehkan parkir di bekas taman sisi utara Jl. Slamet Riyadi kini malah membuat parkir sepeda motor membanjir ke jalur lambat dan memakan ruang semeter hingga 1,5 meter jalur lambat. Hal ini menunjukkan pemerintah gagal mengukur kebutuhan dan merumuskan kebijakan parkir.

Bagaimana cara pemerintah menjamin pengguna kendaraan taat mengikuti markah jalan dan tidak menerobos ruang trotoar jika diterapkan di sisi selatan? Masalah fundamental kebijakan parkir ini adalah pemerintah luput menganalisis kebijakan parkir dengan cermat.

Pemerintah berfokus pada jumlah suplai ruang baru, tanpa mendalami seperti apa dan seberapa besar kebutuhan parkir kota, yang ditunjukkan oleh data jumlah lokasi parkir yang tersedia, tingkat okupansi lahan parkir, dan durasi parkir, baik untuk parkir di tepi jalan atau di dalam gedung.



Ketiganya dibutuhkan untuk mengetahui apakah seluruh tempat parkir yang ada saat ini sudah dikelola dengan efektif dan efisien? Apakah penambahan ruang parkir memang perlu dilakukan? Analisis ini juga penting agar sumber daya ruang publik tidak digunakan secara sembarangan.

Hal ini sekaligus menghindari kelebihan tempat parkir di tengah kota yang justru mendorong penggunaan kendaraan ke pusat kota (induced traffic). Pemerintah perlu kembali mengingat tujuan manajemen parkir bukan sekadar melayani ekonomi atau menyediakan ruang sebanyak-banyaknya bagi pengguna kendaraan, melainkan untuk melayani tujuan ruang jalan yang beragam dan layak huni secara efisien.

Oleh karena itu, kebijakan parkir harus ditimbang dengan kebutuhan dan peran ruang jalan lainnya, seperti pergerakan angkutan umum, pesepeda, pejalan kaki, ruang publik, pedagang kaki lima, pepohonan kota, dan sebagainya (GIZ SUTP, 2016)

Kebijakan parkir ini justru berlawanan dengan ketentuan parkir dalam peraturan daerah. Peraturan Daerah Kota Solo Nomor 1 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perhubungan, khususnya Pasal 210,  mengatur penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum perlu memperhatikan, salah satunya, rencana tata ruang wilayah.

Pada Peraturan Daerah Kota Solo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Soloa Tahun 2011-2031, khususnya Pasal 64 ayat (6) butir c dan Pasal 65 ayat (2) butir b, mengatur larangan membangun atau melakukan kegiatan yang mengganggu pejalan kaki dan kelancaran pesepeda.

Hilangnya Ruang Ekologis

Yang paling menyedihkan dari kebijakan ini adalah hilangnya (baca: pengabaian) ruang ekologis dalam pembentukan kebijakan kota demi kepentingan ekonomi. Pemerintah sama sekali tidak menganalisis beban lingkungan yang timbul dari kebijakan ini, misalnya berapa emisi dan polusi yang mungkin timbul jika lahan parkir dibuka?

Sektor transportasi jelas termasuk salah satu sektor penghasil emisi karbon besar yang menyebabkan pemanasan global dan krisis iklim. Pemerintah berkewajiban menekan produksi emisi ketika Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris bertahun-tahun lalu untuk turut menekan produksi emisi.

Apakah kota ini tak membutuhkan ruang-ruang ekologis untuk mendukung kehidupan kota? Apakah kota ini tak peduli pada krisis iklim, yang sudah dibuktikan secara saintifik mengancam kehidupan muka bumi, termasuk pemanasan bumi yang tinggi (rata-rata global 1,1 derajat Celsius pada 2019) selama satu tahun terakhir?

Pemerintah perlu lebih banyak membuka diri, mendengarkan suara warga yang lebih luas, dan tak buru-buru menganggap warga lain salah paham, tidak tahu masalahnya, atau bersikap memusuhi. Kebijakan yang kedodoran muncul karena analisis kebijakan yang tak komprehensif dan pengabaian atas peringatan kekurangan yang ada di dalam kebijakan. Banyak-banyaklah mendengar. Ingat, masyarakat tak hanya butuh bisnis, tapi juga ekosistem yang mampu menunjang kehidupan di muka bumi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya