SOLOPOS.COM - Luhut Binsar Pandjaitan. (Dok. Bisnis)

Solopos.com, JAKARTA — Perseteruan antara Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinvest), Luhut Binsar Pandjaitan, dengan Direktur Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, kian meruncing dan berbuntut panjang.

Haris Azhar dan dan Fatia menuding ada mafia tambang di Papua dan menunjuk hidung Luhut dalam kanal Youtube. Luhut tak terima. Ia melaporkan kedua aktivis HAM itu ke Polda Metro Jaya. Ia juga mengajukan gugatan perdata senilai Rp100 miliar terhadap Haris Azhar dan Fatia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Menteri senior yang menjabat di sejumlah posisi itu merasa nama baiknya tercemar atas riset terkait keterlibatannya dalam usaha tambang di Blok Wabu, Papua.

Bukannya keder, pihak Haris Azhar justru bersyukur Luhut membawa kasus itu ke polisi.

“Ini adalah kesempatan justru bagi kami, untuk membuka seluas-luasnya data mengenai dugaan keterlibatan atau jejak dari LBP [Luhut Binsar Pandjaitan] di Papua dalam Blok Wabu,” kata Nurkholis Hidayat, salah satu anggota dari tim pendamping hukum Haris Azhar, dalam konferensi pers seperti dikutip suara.com, Kamis (23/9/2021).

Baca Juga: Dilaporkan Menteri Luhut ke Polisi, Pembela HAM Mengadu ke Komnas HAM 

Nurkholis bakal mengungkap bagaimana sosok Luhut sebenarnya serta jejak langkahnya dalam konflik kepentingan di Papua.

Nurkholis mengatakan, proses hukum yang diajukan Luhut justru memberikan kesempatan kepada pihaknya untuk mengungkap kebenaran dari yang disampaikan Haris Azhar dan Fatia.

Bisnis tambang yang melibatkan Luhut tersebut juga disebutnya berdampak buruk bagi orang asli Papua.

Tak semua mengecam Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan  terkait perselisihannya dengan dua aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) Herry Mendrofa membela Luhut. Ia menilai menilai keputusan Luhut melaporkan Direktur Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke polisi sudah tepat.

Perlindungan Hukum

Herry mengatakan laporan Luhut bukanlah kriminalisasi aktivis tetapi semata-mata upaya meminta perlindungan atas martabatnya menggunakan mekanisme hukum.

“Sudut pandang demokrasi Pak Luhut menggunakan hak konstitusionalnya hak sebagai warga negaranya untuk meminta perlindungan hukum terhadap martabatnya. Di sisi lain langkah-langkah persuasif sebenarnya,” ujar Herry saat dihubungi, Kamis.

Herry menilai langkah Luhut tersebut dilakukan karena tidak ada balasan dari pihak Haris Azhar maupun Kontras untuk menjawab somasi yang dilayangkan pihak Luhut. Sehingga ia menilai laporan Luhut bukan dikategorikan sebagai bentuk kriminalisasi.

Kuak Beberapa Nama Jenderal

Di sisi lain, polemik ini menguak informasi yang selama ini terpendam dari publik. Informasi itu seputar jejak para purnawirawan jenderal TNI dan Polri yang menjadi bagian dari perusahaan tambang di Blok Wabu, Papua.

Bukan hanya Luhut, sejumlah nama purnawirawan TNI serta pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) juga disebut dalam lingkaran perusahaan tambang di Bumi Cenderawasih.

Hal tersebut terkuak dalam laporan Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya.

Laporan tersebut merupakan hasil kajian yang diluncurkan oleh YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia.

Baca Juga: Dilaporkan ke Polisi, Kubu Haris Azhar: Kami akan Buka Semua Kebusukan Luhut Cs. 

Mereka tergabung dalam Gerakan BersihkanIndonesia. Laporan itu diunggah di situs KontraS.org.

Terdapat empat perusahaan yang berkonsentrasi pada pertambangan yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata’Ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Miratama (IU Pertambangan).

Luhut beserta TNI/Polri terdeteksi terkoneksi dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ).

3 Aparat Juga Terlibat

Bukan hanya Luhut, hasil kajian juga mengungkap ada tiga nama aparat yang diduga terhubung dengan PTMQ.

Mereka ialah purnawirawan polisi Rudiard Tampubolon selaku komisaris PTMQ, purnawirawan TNI Paulus Prananto, dan purnawirawan TNI Luhut Binsar Panjaitan (LBP).

“Bahkan West Wits Mining (pemegang saham MQ) menganggap bahwa kepemimpinan dan pengalaman Rudiard cukup berhasil menavigasi jalur menuju dimulainya operasi pertambangan,” demikian tertulis dalam kajian yang dikutip Suara.com, Kamis (23/9/2021).

Berdasarkan data Darewo River Gold Project, West Wits Mining membagi sejumlah 30 persen saham kepada PT Tobacom Del Mandiri (TDM) di mana presiden direkturnya ialah purnawirawan TNI Paulus Prananto.

West Wits Mining juga menyebut TDM bertanggung jawab terkait izin kehutanan dan terkait keamanan akses ke lokasi proyek. TDM masih menjadi bagian dari PT Toba Sejahtera Group, di mana pemilik saham minoritasnya adalah Luhut Binsar Panjaitan.

Dua purnawirawan TNI yang terkait dengan perusahaan MQ, Paulus Prananto dan Luhut Binsar Panjaitan merupakan anggota tim sukarelawan (Bravo Lima) pemenangan Presiden Joko Widodo pada 2014 dan 2019.

Lima Aparat

Selain itu, kajian tersebut juga mengungkap ada lima aparat militer baik TNI maupun Polri yang terlibat dalam kasus rencana tambang emas di Blok Wabu.

Lima aparat tersebut sebenarnya berasal dari tiga nama entitas perusahaan yang berbeda tetapi masih satu payung di bawah perusahaan BUMN Holding Industri Pertambangan yakni MIND ID.

Saat PT Freeport masih bergabung di Blok Wabu, ada nama Purnawirawan TNI Hinsa Siburian (HS) sebagai Komisaris PTFI.

Hinsa pernah menjabat sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih Papua pada 2015-2017.

“HS juga tercatat tergabung dalam tim relawan (Cakra 19) pemenangan Presiden Jokowi pada 2019,” ungkapnya.

Setelah PT Freeport menarik diri dari Balok Wabu, konsensinya dikembalikan ke pemerintah Indonesia dan dipegang oleh PT Antam.

Di dalam PT Antam juga ada dua nama aparat militer yakni purnawirawan TNI Agus Surya Bakti dan Komisaris Jenderal Polisi Bambang Sunarwibowo. Bambang juga masih aktif menjabat sebagai Sekretaris Utama BIN.

Ada Doni Monardo

Sementara itu di MIND ID tercatat nama purnawirawan TNI Doni Monardo sebagai Komisaris Utama dan Purnawirawan Muhammad Munir sebagai Komisaris Independen. Munir juga tercatat sebagai Ketua Dewan Analisa Strategis BIN.

Kemudian, kajian juga menemukan adanya indikasi kepentingan ekonomi di balik operasi militer ilegal di Intan Jaya. Ada yang berasal dari Kopassus bahkan juga ada yang memiliki pengalaman di BIN.

“Berdasarkan Peraturan Kepolisian 3/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 Tentang Pemberian Bantuan Pengamanan Pada Objek Vital Nasional dan Objek Tertentu, pemberian bantuan pengamanan sebagaimana dilaksanakan berdasarkan pada permintaan pengelola Obvitnas dan/atau Objek Tertentu,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, Kamis (23/9/2021).

“Oleh karena itu keterlibatan tersebut memperkuat indikasi adanya konflik kepentingan,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya