SOLOPOS.COM - Terdakwa kasus suap jual beli jabatan di Kemenag Romahurmuziy di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (6/1/2020). Dia dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider lima bulan kurungan. (Antara-Sigid Kurniawan)

Solopos.com, JAKARTA -- Sidang kasus suap di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) memunculkan pernyataan yang menyudutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Romahurmuziy alias Rommy, mantan Ketua Umum PPP mengungkapkan ada komisioner KPK 2015-2019 yang pernah meminta dukungan partainya.

"Perlu saya sampaikan ada komisioner KPK masa bakti 2015 - 2019 yang minta dukungan dari PPP tahun 2015 di DPR. Dia datang ke rumah saya, minta dibantu direkomendasikan ke beberapa pimpinan partai politik lainnya, tentu dengan sejumlah komitmen atau janji," kata Rommy di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (13/1/2020).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Rommy adalah terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap sebesar Rp 255 juta dari Kepala Kantor Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Rp91,4 juta dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi.

Eks anggota DPR 2014 – 2019 itu dituntut 4 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 5 bulan kurungan, plus pembayaran kewajiban sebesar Rp46,4 juta subsider 1 tahun penjara dan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.

Pembina Pramuka Ajarkan Tepuk Kafir No di SD, Kwarcab Jogja Minta Maaf

"Apakah ini termasuk trading in influence? Begitupun ada komisioner KPK yang untuk dukungan PPP terhadapnya tahun 2019, melalui keponakannya yang menurut tanda pengenal yang ditunjukkannya kepada saya adalah staf khususnya di KPK. Dia diutus pamannya meminta posisi sebagai Pengurus Harian DPP yang atas musyawarah bersama kolega saya di partai kemudian dikabulkan," ungkap Rommy.

Menurut Rommy pernyataan orang tersebut diiringi dengan sejumlah janji. "Meskipun akhirnya komisioner itu tidak terpilih karena gugur sebelum masuk ke DPR. Apakah sang komisioner tahu? Wallahu a'lam," kata Rommy tanpa menyebut siapa mantan komisioner KPK yang dia maksud.

Hal tersebut, menurut Rommy, mirip dengan posisi sepupunya yang tidak ia ketahui mengapitalisasi atau mengambil manfaat dari dirinya. Sepupu yang dimaksud Rommy adalah Abdul Wahab dan Abdul Rohim dalam perkara Muafaq.

"Namun publik sudah dibentuk opininya untuk menyalahkan saya. Apakah ini juga bisa disebut trading in influence? Yang ingin saya katakan adalah, bukan merupakan sebuah kejahatan apabila seorang pejabat publik meneruskan aspirasi para pemangku kepentingan untuk sebuah jabatan," tambah Rommy.

Pilkada Solo: Rekomendasi Calon Wali Kota Dari PDIP Ditunda, Ini Tanggapan Purnomo

Alasannya, karena manusia secara alamiah akan memilih seseorang sebagai pejabat dari orang yang dia kenal.

"Kalau bukan pribadinya, mungkin keluarganya, mungkin almamaternya, mungkin organisasinya, atau lainnya. Dengan demikian, proses penyampaian aspirasi yang saya lakukan dalam kasus Haris Hasanudin dan Muafaq Wirahadi adalah sah dan merupakan hak dan kewajiban belaka berdasarkan UU No. 2/2008 tentang Partai Politik.”

Apalagi, menurut Rommy, penyampaian soal Haris tidak tunggal, satu nama. Penyampaian soal Muafaq pun dilakukan kepada Haris yang tidak memiliki kewenangan, melainkan hanya sekedar pengetahuan administrasi.

Rommy juga menyebut dirinya dituntut antara lain dengan pasal trading in influence dari Konvensi PBB tahun 2003 yang telah diratifikasi menjadi UU No. 7/2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi PBB Melawan Korupsi).

"Oleh DPR sampai saat ini UU ini belum dimaterialisir menjadi delik namun yang diambil oleh penuntut umum adalah klausul 'pertimbangan'. Bila rumusan pertimbangan bisa digunakan untuk menjadi delik, kenapa tidak sekalian Pancasila saja yang digunakan sebagai delik? Katakanlah seseorang melanggar sila ke berapa dalam Pancasila sehingga dikenakan delik pidana," ungkap Rommy.

Kader PDIP Harun Masiku Terbang ke Singapura 2 Hari Sebelum OTT KPK

Rommy beralasan tidak dimaterialisasikannya trading in influence menjadi delik oleh DPR, disebabkan masih sumirnya proses penegakan hukum di Indonesia.

"Kalau pasal ini dimaterialisir, dikhawatirkan banyak tuduhan karet yang akan dimaterialisir yang tentu membahayakan stabilitas penegakan hukum di Indonesia. Apalagi kalau penegakan hukum dikooptasi kelompok-kelompok kepentingan, agenda kelompok berbaju penegakan hukum lah yang akan dijalankan, Kalau aspirasi yang saya serap dan himpun dan teruskan kepada pejabat yang berwenang, yang merupakan kewajiban selaku pimpinan partai politik, dianggap sebagai pelanggaran pidana, akibatnya bisa fatal," tegas Rommy.

JPU KPK memang menyebut Rommy memperdagangkan pengaruhnya (trading in influence) terhadap bekas Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam penetapan pejabat-pejabat di Kementerian Agama.

Oleh JPU KPK, Rommy disebut mewujudkan perbuatan kolusi yang lahir dari sikap dan tindak laku yang tidak jujur dengan memanfaatkan kedudukan dan jabatannya sebagai Ketua Umum PPP dalam mempengaruhi atau ikut campur dalam penentuan jabatan di lingkungan Kementerian Agama.

Terkait perkara ini, Haris dan Muafaq sendiri telah dijatuhi vonis. Haris divonis 2 tahun penjara karena dinilai terbukti menyuap Rommy dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sebesar Rp325 juta. Sedangkan Muafaq divonis 1,5 tahun penjara karena dinilai terbukti memberikan suap sejumlah Rp91,4 juta kepada Rommy dan caleg DPRD Gresik dari PPP Abdul Wahab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya