SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok/JIBI/Bisnis Indonesia)

Rizal Ramli mengungkapkan perubahan kebijakan penagihan utang para obligor BLBI dari era Gus Dur ke era Megawati.

Solopos.com, JAKARTA — Mantan Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rizal Ramli, mengatakan Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat untuk memaksa para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) melunasi utang. Namun, hal itu tidak terjadi di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal itu diungkapkan Rizal seusai menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan tersangka Saffrudin Arsyad Temenggung. Menurut Rizal, saat menjabat menteri, dia melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KKSK).

Dari hasil evaluasi tersebut, pihaknya menilai posisi negara saat itu sangat lemah karena para obligor tidak dikejar untuk melunasi utang yang diperoleh dari BLBI. Karena itu, pemerintah kemudian mengambil kebijakan memaksa para obligor harus menyerahkan jaminan pribadi atau personal guarantee. Artinya, para obligor hingga keturunan ketiganya wajib untuk melunasi utang tersebut.

“Semua tanggung jawab ya bapaknya, anaknya, cucunya, sehingga kalau bapaknya meninggal, cucunya harus tanggung jawab. Ini membuat pemerintah punya posisi tawar-menawarnya menjadi sangat kuat, karena kami mengetahui ada kelemahan, ada iregularitas saat aset yang diserahkan tidak bagus, aset bagus, dan sebagainya. Tetapi kalau pemerintah pegang personal guarantee, pemerintah posisinya kuat,” ujarnya, Selasa (2/5/2017).

Akan tetapi, lanjutnya, setelah Gus Dur dimakzulkan oleh MPR dan Megawati Soekarnoputri naik menjadi Presiden, kebijakan personal guarantee ini tidak dilanjutkan. Karena itu, negara kembali tidak memiliki posisi tawar yang kuat.

Dia menilai pula bahwa BPPN tidak bisa bertindak sendiri dalam memutuskan suatu kebijakan yang bersifat strategis seperti penerbitan surat keterangan lunas atau SKL karena harus dibahas dalam KKSK. Dalam Keputusan Presiden (Kepres) No.177/1999 tentang Komite Kebijakan Sektor Keuangan, KKSK diketuai Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri yang beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN, dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

“Ya pada kesempatan ini saya juga mengimbau kepada para obligor yang belum melunasi, ya dilunasilah. Selama 19 tahun setelah ini tentunya makin hebat dan makmur jadi penuhi dong kewajibannya,” kata dia.

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan pemeriksaan Rizal Ramli ini merupakan penjadwalan ulang setelah sebelumnya mantan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya ini tidak bisa menghadiri pemanggilan pertama. “Penyidik mendalami informasi pengambilan kebijakan beserta prosedurnya seperti apa dan dalam kondisi tertentu seperti apa seorang obligor bisa mendapatkan surat keterangan lunas dan sebagainya,” ujarnya.

Saffrudin Temenggung diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dalam penerbitan surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Dia menjabat sebagai Kepala BPPN sejak April 2002, pada bulan berikutnya mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk melakukan perubahan atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BDNI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Hasil dari restrukturisasi tersebut, Rp1,1 triliun ditagihkan kepada petani tambak yang merupakan kreditor BDNI dan sisanya Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi sehingga masih ada kewajiban obligor yang harus ditagihkan.

Akan tetapi pada April 2004, tersangka selaku Ketua BPPN mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham terhadap obligor Sjamsuk Nursalim atas semua kewajibannya kepada BPPN. Padahal saat itu masih ada kewajiban setidaknya Rp3,7 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya