SOLOPOS.COM - Rizal Ramli diperiksa KPK , Senin (22/12/2014). (JIBI/Solopos/Antara/Muhammad Adimaja)

Rizal Ramli menjelaskan awal mula munculnya kebijakan BLBI tak lepas dari tekanan IMF setelah krisis 1997-1998.

Solopos.com, JAKARTA — Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 dan mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) era Presdiden Gus Dur, Rizal Ramli, menjelaskan kepada KPK tentang kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) secara umum. Menurutnya, BLBI tidak bisa dilepaskan dari tekanan International Monetary Fund (IMF) kepada Indonesia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Rizal mendatangi Gedung KPK untuk memberikan keterangan dan pandangannya terhadap kebijakan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. “Seperti diketahui di Asia pada 1997-1998 mengalami krisis. Negara-negara tetangga kena krisis dan Indonesia juga kena. Kalau kita undang IMF, ekonomi Indonesia tetap kena krisis dan anjlok sekitar 6%, 2%, bahkan 0%,” kata Rizal di gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/5/2017).

Namun, kata dia, Menteri Perekonomian pada waktu itu mengundang IMF. Akibatnya ekonomi Indonesia malah anjlok ke minus 13 persen.

“Sebelum Managing Director IMF Michael Camdessus ketemu Pak Harto pada Oktober 1997, saya diundang dengan beberapa ekonom. Saya satu-satunya ekonom yang menolak IMF datang ke Indonesia. Karena pengalaman di Amerika Latin, IMF malah bikin lebih rusak daripada bikin lebih bagus,” katanya.

Pada saat itu, kata Rizal, IMF menyarankan agar tingkat bunga bank dinaikkan dari 18% menjadi 80% sehingga banyak perusahaan-perusahaan yang sehat menjadi bangkrut dengan bunga supertinggi itu.

“IMF memerintahkan supaya ditutup 16 bank kecil-kecil tahun 1998. Tetapi begitu bank kecil ditutup, rakyat tidak percaya dengan semua bank di Indonesia, apalagi bank swasta, [nasabah] pada mau menarik uangnya seperti BCA dan Danamon. Bank-bank ini nyaris bangkrut, akhirnya pemerintah terpaksa menyuntik BLBI dalam mata uang dolar AS dan pada waktu itu nilainya sekitar US$80 miliar,” tuturnya.

Rizal juga menjelaskan bahwa IMF pada waktu itu memaksa pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM pada 1 Mei 1998. “Dua hari sebelum kenaikan itu saya diundang oleh Managing Director IMF Asia di Hotel Grand Hyatt. Dia bilang, ‘Pak Ramli kami mau minta pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM 74%’. Saya bilang hati-hati, ini suasananya sudah ‘panas’ kalau kamu paksakan ini bisa terjadi sesuatu,” kata Rizal.

Pada 1 Mei 1998, kata Rizal, pemerintahan Soeharto akhirnya menyetujui untuk menaikkan harga BBM sebesar 74%. “Kemudian terjadi demo besar-besaran di Makassar, Medan, Solo, dan Jakarta. Ribuan orang luka-luka ratusan meninggal, rupiah anjlok dari Rp2.300 menjadi Rp15.000. Hal ini dikenal dalam literatur sebagai kerusuhan yang diakibatkan oleh kebijakan IMF. Jadi akibat tiga kebijakan ini, terjadi lah kasus BLBI yang besar,” ucap Rizal.

Ia juga menceritakan bahwa pada waktu itu para pemilik bank yang dibantu kredit BLBI pada dasarnya akan dibantu dengan uang tunai. “Jadi meminjam tunai harus dikembalikan dengan tunai. Tetapi pada Pemerintahan Habibie, [utang] dilobi diganti tidak usah bayar tunai asal menyerahkan aset saham, tanah, dan bangunan perusahaan. Kalau obligornya itu benar, dia serahkan aset yang bagus sesuai dengan nilainya. Tapi juga ada kasus-kasus di mana dia menyerahkan aset ‘busuk’ yang nilainya itu tidak sepadan,” kata Rizal.

Rizal mengaku dirinya dipanggil KPK dalam kapasitasnya sebagai mantan Menko Perekenomian dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada saat itu.

“Tetapi kejadian yang diselidiki oleh KPK ini terjadi setelah saya tidak lagi jadi Ketua KKSK dan tidak lagi jadi menteri, tetapi oleh Menko yang baru di pemerintahan setelah Gus Dur. Saya dimintai keterangan karena saya ketahui prosedur dalam pengambilan keputusan masalah-masalah yang ada di BPPN. Sebelumnya, KPK juga sudah memanggil Kwik Kian Gie yang jadi Menko sebelum saya menjabat, untuk mengetahui proses dalam prosedur yang terjadi,” tuturnya.

Sebelumnya, mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.

Atas penerbitan SKL itu diduga kerugian negara sekurang-kurangnya mencapai Rp3,7 triliun. Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya