SOLOPOS.COM - Ilustrasi penambangan minyak dan gas bumi (JIBI/Bisnis/Dok)

Revisi UU Migas kemungkinan meninjau ulang posisi BPH Migas dan SKK Migas.

Solopos.com, JAKARTA — Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui adanya kecenderungan Indonesia terlalu banyak memiliki badan independen pengatur dan pengawas energi nasional. Namun sejauh ini, pemerintah juga diakui JK, belum membahas posisi ideal bagi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dalam struktur lembaga energi nasional.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Memang ada kecenderungan badan terlalu banyak, harus ada fokus bekerja, tetapi BPH Migas belum dibahas sama sekali,”kata JK, Selasa(14/4/2015).

Dia juga menilai perlu ada fokus tugas agar keberadaan lembaga dan komisi independen tidak berlebihan dan bertabrakan dengan fungsi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Lembaga dan komisi yang dianggap mubazir itu berpotensi dihapus, sayangnya dia tidak menjelaskan lebih terperinci lembaga yang dimaksud.

Sebelumnya isu hangat beredar bahwa Kementerian ESDM akan memangkas kewenangan BPH Migas dalam industri hilir. Caranya, dengan mengatur fungsi dan wewenang lembaga pengatur hilirisasi Migas itu. Pengaturan fungsi dan wewenang bertujuan merampingkan proses perizinan industri di sektor Migas nasional.

Suara senada JK, sebelumnya juga dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam Sudirman Said saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (8/4/2015). “Too many cook in the kitchen. Terlalu banyak koki dalam dapur kita. Sehingga orang bingung menunya apa. Ini kita coba streamline, kita coba rampingkan,” ujar dia sebagaimana dikutip sejumlah media massa di Jakarta.

Kementerian ESDM sebelumnya memang hangat dikabarkan tengah mengkaji sejumlah opsi mengenai masa depan BPH Migas yang rencananya akan dihapuskan oleh pemerintah, sesuai draf revisi UU No. 22/2001 tentang Migas. Pemerintah berencana untuk mengembalikan kewenangan regulator dan operator migas kepada Pertamina.

Wacana perombakan peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan BPH Migas itu sejalan dengan pernyataan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, pengujung tahun 2014 lalu. Kala itu, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) generasi pertama itu membuka wacana perubahan status lembaga yang dipimpinnya itu menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus.

Namun, Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng berpendapat pelaku industri hilir akan semakin banyak dan kegiatan hilir pun semakin kompleks sehingga membutuhkan pengaturan yang juga lebih ketat dari lembaga independen yang tak lain ialah BPH Migas. Menurut dia, semangat UU No.22/2001 ialah menghilangkan monopoli dalam kegiatan usaha, baik hulu maupun hilir.

BPH Migas, menurut dia, memiliki tiga kepentingan utama. Pertama, kepentingan pemerintah adalah agar kebijakan bisa berjalan. Kedua, kepentingan badan usaha bahwa agar bisa menjalankan kegiatan usaha dengan baik, adil, dan transparan, tanpa diskriminasi. Selain itu, ada jaminan dan kepastian hukum terkait pengembalian investasi. Terakhir, kepentingan masyarakat, yakni terkait aksesibilitas energi dengan harga yang terjangkau.

Pada kenyataannya, revisi UU Migas menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk para politikus di partai politik. Bahkan PDIP dalam rekomendasi hasil kongres di Bali baru lalu juga menyinggungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya