SOLOPOS.COM - Satrio Wahono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sistem  politik demokratis yang sehat membutuhkan partai politik yang kuat. Partai politik adalah sarana paling efektif untuk melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan atau aspirasi masyarakat.

Mengingat masyarakat adalah entitas yang majemuk, terutama di Indonesia, maka partai politik di Indonesia akan kuat jika mereka memiliki spektrum ideologi yang beragam. Kalau perlu dengan perbedaan yang kontras.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Di Amerika Serikat yang masyarakatnya sama-sama majemuk seperti Indonesia, partai politik menjadi wujud dengan ideologi yang sangat berbeda dan mudah dikenali (contrasting), yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat.

Perbedaan tajam ini justru melahirkan dialektika dan disensus bermutu yang saling melengkapi guna melahirkan kebijakan publik berkualitas tinggi. Sayangnya, itu belum terjadi di Indonesia. Yang ada di Indonesia adalah perbedaan ideologi seolah-olah.

Ekspedisi Mudik 2024

Pada praktik politik praktis, masyarakat sulit membedakan mana yang partai Islam, mana yang partai nasionalis, mana yang partai tengah. Semua hanya diikat oleh kepentingan pragmatis demi meraih suara dalam pemilihan umum.

Itulah sebabnya ada penurunan drastis party identification di kalangan pemilih Indonesia. Party identification adalah istilah temuan Michigan School untuk menjelaskan bahwa identifikasi dengan partai politik tertentu akan membuat pemilih membuat penilaian atas isu dan kampanye dari sudut pandang identitas tersebut.

Sebagai contoh, pemilih yang beridentifikasi dengan Partai Demokrat—di Amerika Serikat—kemungkinan besar akan memilih calon presiden atau calon anggota kongres dari Partai Demokrat (Psikologi Politik, 2022, Penerbit Kompas).

Dalam konteks Indonesia, party identification terus menurun dari 86% pada Pemilu 1999 ke 55% pada Pemilu 2004, 20% pada Pemilu 2009, 14% pada Pemilu 2014, dan 10%-12% pada Pemilu 2019.

Orang bisa saja merasa dirinya sebagai santri yang seharusnya memilih partai Islam, tapi pada pemilihan presiden dia justru mencoblos calon presiden dari latar belakang nasionalis, atau sebaliknya. Artinya, masyarakat menjadi kurang ideologis dan lebih bersikap pragmatis dalam setiap pemilu.

Tanpa kesadaran ideologis yang kuat, pemilih akan mudah terombang-ambing oleh isu sesaat, tidak punya landasan yang kokoh dalam mencerna isu-isu publik yang terkait dengan kepentingan rakyat secara umum, dan gampang menjatuhkan pilihan politik secara gegabah.

Ini sangat disayangkan mengingat sejarah perpolitikan kita sesungguhnya kaya dengan perbedaan ideologis yang tajam. Studi antropologi klasik Clifford Geertz, The Religion of Java (Agama Jawa, Komunitas Bambu, 2014), misalnya, pernah melahirkan konsep santri, priayi, dan abangan untuk menjelaskan aliran-aliran ideologi politik di Indonesia.

Herbert Feith dan Lance Castle dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (LP3ES, 1995) memetakan ada lima aliran ideologi politik Indonesia, yaitu komunisme, nasionalisme radikal, sosialisme demokratik, Islam tradisionalis, dan Islam modernis.

Dalam Pemilu 1955, temuan Feith dan Castle ini mewujud dalam empat besar pemenang: Partai Nasiona Indonesia atau PNI (nasionalisme radikal), Majelis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi (Islam modernis), Nahdlatul Ulama atau NU (Islam tradisionalis), dan Partai Komunis Indionesia atau PKI (komunisme). Ideologi sosialisme demokratik diwakili oleh partai minoritas pimpinan Sutan Sjahrir, Partai Sosialis Indonesia atau PSI.

Mengapa pada masa itu ideologisasi partai dan party identification masyarakat begitu kuat? Alasannya adalah karena para elite partai politik memiliki basis pemikiran dan ideologi solid serta memberikan keteladanan inspiratif yang menggugah masyarakat pemilih.

Para pemimpin partai politik seperti Sukarno, M. Natsir, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, I.J. Kasimo, dan lainnya adalah pembaca buku yang rakus dan pemikir cemerlang yang pandai berdebat secara demokratis. Rakyat percaya bahwa mereka merupakan tokoh politik dan wakil rakyat yang akan secara konsisten memperjuangkan kepentingan ideologis mereka.

Keadaannya berbeda dengan partai politik sekarang yang begitu pragmatis dan hanya memperjuangkan isu-isu yang bisa mendulang suara bagi mereka dan mengamankan kepentingan mereka sendiri, terlepas dari apakah isu yang mereka dukung itu sesuai dengan khitah ideologis partai politik atau tidak.

Misalnya saja studi Michael Buehler (The Politics of Sharia Law, 2016) menunjukkan betapa partai nasionalis dan partai tengah (abangan dalam tipologi Geertz) justru sering memberikan dukungan pada pemberlakuan peraturan daerah (perda) berbau syariat Islam di tingkat daerah.

Dukungan semacam itu jelas bertentangan dengan ideologi partai politik mereka. Usut punya usut, alasannya sangatlah pragmatis, yaitu dukungan itu bisa meningkatkan jumlah suara mereka dalam kontestasi pemilihan kepala daerah maupun pemilihan calon anggota legislatif di tingkat daerah.

Akibatnya, rakyat tidak begitu yakin apakah partai politik sungguh-sungguh akan memperjuangkan aspirasi mereka ketimbang memperjuangkan kepentingan sempit elite partai politik itu sendiri. Demokrasi menjadi dangkal, kurang bermutu, dan hanya berorientasikan pada kepentingan elitis.

Karena itulah, demi mewujudkan kehidupan politik dan sistem demokrasi yang berkualitas, partai politik mau tak mau mesti melakukan reideologisasi dengan menunjukkan lebih tegas lagi warna politik (ideologi) mereka dalam setiap perdebatan publik dan perumusan kebijakan.

Hanya dengan begitulah, Indonesia akan menjadi negara demokrasi matang, negara demokrasi yang dewasa, yang mampu menciptakan masyarakat sipil yang baik dan juga kesejahteraan bagi warga negara. Semoga!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Januari 2023. Penulis adalah sosiolog dan alumnus Magister Filsafat Universitas Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya