SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Zaman modern di Eropa abad XVIII tak lekas memunculkan kesadaran tentang konsep anak-anak. Revolusi mesin cetak dengan risiko peruntuhan otoritas pengetahuan elitis dan kemungkinan sebaran gagasan secara masif belum bergerak ke ranah kepentingan anak-anak. Pengetahuan publik luput memikirkan dunia anak-anak kendati diacukan pada teologi atau tradisi. Konsep anak-anak pun masih jauh dari struktur ilmu pengetahuan modern, politik, kebijakan pendidikan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Konsep anak-anak baru muncul di abad XIX dengan penerbitan sekian buku cerita anak-anak. Cerita itu bermuatan pengajaran agama, fantasi petualangan, dan artikulasi nilai-nilai tradisi dalam struktur modern. Buku atau kultur literasi cetak dijadikan sebagai penyulut konstruksi dunia anak-anak. Kriteria-kriteria ditentukan untuk membuat definisi anak-anak dalam hal umur, bakat, kebutuhan, dan perlindungan. Literasi anak tumbuh sebagai tanda dari perhatian Barat atas anak-anak.

Keterlambatan itu fatal kendati tergantikan dengan proyek ambisius di Prancis, Inggris, dan Jerman untuk menjadikan literasi (sastra) anak sebagai penopang progresivitas peradaban modern. Persaingan produksi literasi anak disokong oleh kebijakan politik dan strategi kultural atas nama pamrih pembentukan identitas, karakter, dan nasionalisme. Negara memerlukan sebaran dan afirmasi nilai dalam literasi anak demi utopia pemartabatan diri di arus modernitas.

Martabat ditentukan sastra anak dan model pembuatan sistem ilmu pengetahuan berbasis anak. Gerakan selebrasi literasi sastra anak mengalir melalui pelbagai agen: keluarga, gereja, sekolah, penerbitan, perpustakaan, komunitas. Negeri-negeri itu besar berkat penguatan fondasi kultural dan identitas diri melalui literasi anak.

 

Sejarah

Bagaimana kebermaknaan sastra anak di Indonesia? Episode-episode sejarah perlu diajukan kembali untuk mencari pasang surut literasi anak dalam kegenitan politik dan keamburadulan strategi kultural. Christantiowati (1993) dalam Bacaan Anak Indonesia Tempoe Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 mengungkapkan bahwa bacaan anak di Indonesia cenderung mengutamakan pengajaran moral dan agama. Produksi bacaan tercetak ini menandai dari kemodernan untuk memberi perhatian terhadap dunia anak-anak. Bahan cerita diambil dari kitab suci, cerita-cerita terjemahan dari luar negeri, dan cerita-cerita lokal. Buku sebagai bentuk berkah revolusi mesin cetak dari Barat memungkinkan anak-anak di Hindia Belanda sejak abad XIX bisa ikut menikmati cerita-cerita terjemahan: Robinson Crusoe (Daniel Defoe) dan Mengelilingi Boemi dalam 80 Hari Lamanja (Jules Verne). Riris K Toha Sarumpaet (2010) menganggap ilustrasi historis itu membuktikan pertumbuhan literasi anak di Indonesia seiring dengan pertumbuhan literasi di Eropa dan Amerika.

Peran pemerintah kolonial ikut menentukan corak pertumbuhan literasi anak. Pembentukan sekolah-sekolah modern dengan kiblat Barat juga memicu produksi buku pelajaran dan bahan bacaan dalam bayang-bayang kolonialistik. Penerbitan Balai Pustaka menjadi corong politik literasi bagi anak-anak sebagai benih-benih penentu nasib bangsa. Jejak panjang kolonialistik bisa ditelisik melalui jenis-jenis terbitan buku bacaan anak-anak keluaran Balai Pustaka dengan bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Batak, dan Madura. Keberadaan taman pustaka atau perpustakaan di pelbagai desa dan kota juga ikut membesarkan sastra anak pada 1930-an.

Buku Bab Woelangan Ndongeng ing Volkschool (1941) karangan M Crijns adalah contoh signifikansi sastra anak dalam lingkungan pendidikan (sekolah). Buku ini memberi uraian impresif tentang makna mendongeng untuk serapan ilmu pengetahuan, pengajaran moral, suluh perilaku, dan konstruksi karakter-identitas. Sekolah-sekolah dalam politik kolonial masa itu cenderung memberi jatah besar dalam pelajaran mendongeng atau penyediaan bahasan bacaan cerita anak-anak. Model pendidikan ini memberi pengaruh besar bagi kelahiran para intelektual, sarjana, atau pengarang di Indonesia. Mereka lahir dan tumbuh dalam kultur membaca, menulis, menyimak, dan bicara dengan bingkai sastra.

 

Petaka

Warisan pendidikan kolonial itu masih terasakan dalam penyediaan bacaan di sekolah rendah atau sekolah rakyat pada akhir tahun 1940-an sampai 1960-an. Kita bisa membaca ulang buku Tjenderawasih: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rendah (1949) susunan K ST Pamoentjak dan MJ Hakim, Tjahaja: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rakjat (1951) karangan Johan van Hulzen, Jitno dan Jatni: Buku Batjaan Sekolah Rendah (1953) karangan M Sofion, Si Djarot: Lajang Watjan kanggo Sekolah Rakjat (1956) susunan NJ S Wojowasito dan NJ Srimoerjam, dan Sekar Mekar: Lajang Watjan ing Sekolah Rakjat (1959) karangan R Ng Reksoprodjo. Semua buku itu mengajarkan pelbagai hal dengan medium cerita, puisi, percakapan, teka-teki. Imajinasi dan nalar anak diajak bergerak dengan misi pembelajaran. Bacaan memberi refleksi atas pengalaman hidup keseharian.

Musim semi untuk anak-anak di sekolah masa lalu telah tergantikan dengan buku-buku pelajaran berat tapi melarat imajinasi. Sastra kentara tersingkirkan dalam model pembelajaran di SD, SMP, dan SMA. Buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia mutakhir justru “menghinakan” alias “menepikan” sastra: tradisi dan modern. Pilihan materi puisi di buku pelajaran sudah tergantikan dengan lirik-lirik lagu dari Dewa 19, Padi, Peterpan, atau Katon Bagaskara. Murid semakin dijauhkan dengan manifestasi sastra karena alasan mendekatkan anak dengan dunia pop alias kontekstualisasi picisan. Lirik-lirik lagu pop dianggap akrab pada diri anak-anak.

Dongeng-dongeng anak tergantikan dengan materi-materi mutakhir ala sinetron dan program anak-anak di televisi. Ironi ini bukti ketidaksanggupan negara mengurusi ketersediaan bahan bacaan dan buku pelajaran untuk anak-anak. Petaka dari pengabaian atas literasi anak adalah kebangkrutan karakter dan biasa identitas. Isu merevitalisasi pendidikan karakter adalah bukti “kepicikan” dalam memajukan dunia pendidikan dan aplikasi strategi kultural berbasis literasi.

Zaman kolonial dan praktik pendidikan pada masa Orde Lama adalah pembelajaran terang untuk menengok dosa-dosa dalam mengorupsi, mengabsenkan, dan menelantarkan dunia anak-anak dalam urusan bacaan. Zaman sekarang adalah zaman berat. Literasi anak menjadi keterpencilan identitas dan rujukan karakter keindonesiaan. Selebrasi literasi telah berganti rezim hiburan dan imperatif rasionalistik demi meladeni “abad kecemasan”. Begitu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya