SOLOPOS.COM - Seorang ibu di Dukuh Pagerjurang, Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Klaten, membuat tanah liat menjadi gerabah menggunakan teknik putaran miring, Rabu (19/1/2022). (Solopos.com/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN—Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Klaten, sejak lama dikenal sebagai pusatnya pengrajin gerabah terutama di Dukuh Pagerjurang. Sekitar 200 keluarga menjadi pengrajin yang sudah mereka geluti secara turun temurun.

Salah satu keunikan gerabah di Melikan yakni teknik pembuatannya. Hingga kini, warga masih meneruskan tradisi membikin gerabah dengan teknik putaran miring.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Meski tak ditemukan sejarah tertulis terkait awal mula kerajinan gerabah ada di Bayat, pengrajin meyakini kerajinan berbahan dasar tanah liat itu sudah ada saat Sunan Pandanaran mulai menyebarkan agama Islam di wilayah Bayat pada abad ke-15. Keyakinan itu berdasarkan keberadaan Gentong Sinogo, tempayan berisi air untuk wudu.

Baca Juga: Dikenal Teknik Putaran Miring, Melikan Bangun Wisata Edukasi Gerabah

Ekspedisi Mudik 2024

“Gentong yang asli sekarang di mana belum diketahui. Tetapi, replikanya sampai sekarang masih digunakan untuk wudu dan ada di makam Sunan Bayat. Artinya, kerajinan gerabah di wilayah Bayat sudah ada sejak ratusan tahun lalu,” kata Sekretaris Desa Melikan, Sukanta, kepada Solopos.com, Rabu (19/1/2022).

Dukuh Pagerjurang, Desa Melikan yang berbatasan langsung dengan wilayah Kecamatan Bayat menjadi sentra kerajinan gerabah. Pada tempo dulu, kerajinan gerabah yang dibikin warga masih monoton seperti celengan, tempat sesaji, dan lain-lain.

Jenis karya yang dibikin pengrajin mulai bervariasi mulai 1985. Tak hanya celengan, warga membikin produk gerabah menjadi kendi, pot, air mancur, dan ratusan desain lainnya.

Baca Juga: Teknik Putaran Miring Gerabah Melikan Klaten Sedot Perhatian Dunia

Teknik pembuatan gerabah di Melikan juga dikenal unik. Tak hanya dibikin menggunakan teknik putaran tegak, ada teknik pembuatan gerabah yang dikenal dengan teknik putaran miring. Teknik tersebut digunakan untuk membikin kerajinan gerabah berukuran kecil.

Teknik pembuatan gerabah dengan putaran miring biasa dilakukan kaum perempuan Melikan. Perbot atau meja putar  dibikin miring. Mereka duduk pada dingklik dan menyerong. Kaki mereka menendang bambu yang untuk memutar perbot. Bilah bambu dan perbot terhubung oleh tali.

Sukanta menjelaskan teknik tersebut sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Hanya saja, tak ada bukti tertulis untuk memastikan sejak kapan teknik tersebut ada. Teknik putaran miring yang dilestarikan perajin Melikan pun mendapatkan perhatian dari dunia internasional.

Baca Juga: Bahan Baku Menipis, Perajin Gerabah Melikan Inginkan Lahan Perhutani

Sukanta menjelaskan dari penuturan para sesepuh desa, teknik itu dibuat untuk memudahkan kaum perempuan membikin gerabah. Pada tempo dulu, kaum perempuan masih banyak yang mengenakan jarit. “Melalui teknik ini, perempuan tetap bisa membantu ekonomi keluarga dengan membuat gerabah,” jelas dia.

Tak sekadar unik dan memudahkan perempuan untuk membikin kerajinan gerabah. Teknik putaran miring juga mengandung filosofi kaum perempuan membantu perekonomian keluarga dengan tetap menjaga kesopanan mereka. Dengan teknik tersebut, mereka tak duduk dengan membuka kedua paha.

Sukanta mengatakan teknik putaran miring hingga kini dilestarikan warga. Hampir setiap keluarga perajin dari total 200 keluarga di Pagerjurang memiliki alat membuat gerabah dengan teknik putaran miring yang hingga kini masih dilestarikan.

Baca Juga: Omzet Pengrajin Gerabah Melikan Klaten Sempat Melonjak Hingga 100% Selama Pandemi

 

Barang Kecil

“Harapan kami teknik pembuatan gerabah dengan putaran miring tetap lestari. Perlu perhatian berkelanjutan agar kerajinan gerabah tetap lestari salah satunya dengan membantu perluasan pemasaran. Kami berharap bisa memasarkan produk secara online,” jelas Sukanta.

Salah satu perajin gerabah di Dukuh Pagerjurang, Waris Sartono, 40, mengatakan menjadi perajin gerabah sudah digeluti warga sejak ratusan tahun silam. Bahkan, sebelum Sunan Pandanaran menyebarkan agama Islam di Bayat, warga di wilayah Bayat dan sekitarnya sudah memproduksi gerabah.

“Kerajinan gerabah Melikan sudah ada secara turun temurun dari nenek moyang. Alat putaran miring yang menjadi maestro unggulan budayanya. Pada zaman dulu produk yang dibuat masih terbatas antara lain kendi air, kendil, alat memasak, mainan anak, alat sajen, dan lain-lain. Pada 1980-1990, mulailah para pemuda desa mencoba dengan kreativitasnya. Produk yang dibuat menjadi bervariasi berbagai berbaga upaya akhirnya muncul produk dengan kualitas halus dan bagus. Pada 2000-an, mulai ada inovasi dengan sentuhan finishing mulai dari ukir, tempel, dan variasi cat,” kata Waris.

Baca Juga: Waduh, Produksi Gerabah Melikan Klaten Terancam Macet Total

Salah satu pengrajin gerabah putaran miring di Dukuh Pagerjurang, Anik Iskandar, 35, menjelaskan teknik putaran miring untuk membuat barang-barang berukuran kecil seperti mangkuk, tempat sayur, dan lain-lain.

“Untuk barang-barang besar seperti wastafel, meja, dan piring-piring berukuran besar dibuat dengan putaran tegak. Teknik putaran miring sampai sekarang khusus dilakukan ibu-ibu,” jelas Anik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya