Ratusan peserta ikuti lomba panahan tradisional di Klaten.
Solopos.com, KLATEN–Sebanyak 150-an peserta mengikuti Gladen Alit Jemparingan, lomba panahan tradisional di lapangan Desa Barepan, Kecamatan Cawas, Klaten, Minggu (25/2/2018). Para peserta berasal dari berbagai komunitas.
Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah
Lomba tersebut digelar Semut Ireng Pop Archery Sriwedari (SIPAS) Tunggul Wulung, Cawas yang merupakan cabang dari SIPAS Solo. Sesuai ajang lomba, para peserta mengenakan pakaian adat selama mengikuti perlombaan.
Wakil Ketua Tunggul Wulung, Ari Suryana, mengatakan ajang itu digelar untuk memperingati ulang tahun kesatu Tunggul Wulung. Para peserta berasal dari 21 komunitas di Solo, Jogja, Sukoharjo, Boyolali, serta Klaten.
“Jarak sasaran [berupa bandul] dan pemanah 30 meter. Peserta memanah dengan cara duduk dan wajib mengenakan pakaian adat,” kata Ari saat ditemui Solopos.com di sela acara. (baca juga: Hidup Bersama Anjing dan Ayam, Lansia Klaten Andalkan Santunan Tetangga)
Ari menjelaskan penilaian diberikan kepada anak panah yang mengenai bandul. Ada 20 babak yang harus diikuti peserta untuk satu kali perlombaan.
“Setiap peserta menembakkan empat anak panah setiap babak. Karena kami di bawah SIPAS, ada ciri khas warna pada bandul yakni merah, kuning, putih, dan hitam. Setiap warna yang dikenai itu ada nilainya mulai dari tiga hingga minus satu,” katanya.
Ari mengatakan selain memperingati ulang tahun Tunggul Wulung, perlombaan itu digelar untuk melestarikan dan mengenalkan jemparingan ke warga Cawas. Ia pun berharap jumlah peminat kian bertambah agar panahan tradisional tetap lestari.
“Banyak yang muda-muda. Banyak juga mantan atlet panahan bahkan masih atlet ikut jemparingan,” katanya.
Salah satu peserta, Edgar, 18, mengatakan belum ada setahun ini ia tertarik dengan jemparingan. Ketertarikannya pada panahan tradisional lantaran rasa penasaran.
“Dulu itu sering menonton di Youtube kok orang-orang bisa. Berarti saya harus bisa. Memang harus menggunakan pakaian adat. Awalnya ruang gerak terbatas. Namun, lama kelamaan juga terbiasa,” kata warga Telukan, Grogol, Sukoharjo itu.