SOLOPOS.COM - Pasukan obor menyalakan obor ramai-ramai di lokasi swafoto obor cinta di Pasar Kawak Ngasinan Etan, Gebang, Masaran, Sragen, Jumat (6/5/2022) malam. (Solopos-Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Puluhan pemuda berbaris di simpang empat Dukuh Ngasinan Etan, Desa Gebang, Masaran, Sragen, Jumat (6/5/2022) malam, sembari membawa oncor atau obor. Oncor dibuat dari botol yang diisi minyak tanah dan diberi sumbu kain –juga disebut thintir– yang diikatkan pada tongkat bambu sepanjang 1 meter.

Para pemuda itu kemudian mengucapkan selamat Hari Raya Idulfitri kepada para pengunjung yang kebanyakan para pemudik di lingkungan Desa Gebang, Masaran. Situasi cukup gelap karena semua lampu listrik di seputaran simpang empat Ngasinan Etan dimatikan. Hanya cahaya oncor yang dibawa para pemuda itu menjadi penerang.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Mereka pun bergerak menuju Pasar Kawak sembari menghidupkan oncor yang sudah terpasang di sepanjang jalan. Para pedagang di Pasar Kawak hanya mengandalkan cahaya lilin atau lampu teplok. Praktis dagangan dan penjualannya tidak terlihat jelas tetapi pembeli bisa bertanya jenis dagangannya.

Di lokasi itu, pengunjung bisa menikmati musik gamelan khas Sragenan serta melihat atraksi membatik dan merajut daun pandan menjadi tikar. Suliyem, 65, menjadi satu-satunya orang yang bisa merajut tikar pandan. Mbah Suliyem belajar merajut daun pandan dari ibu dan kakaknya yang kini sudah meninggal.

“Setiap hari saya masih membuat tikar pandan tetapi untuk mengisi waktu luang. Biasanya saya buruh tani satu patok. Satu tikar pandan itu biasanya selesai dalam waktu lima hari. Tikar itu dijual dengan harga Rp40.000 saja,” katanya.

Baca juga: Pengumuman, Pemuda Asal Kandangsapi Sragen Dilaporkan Hilang

Semua atraksi di Pasar Kawak Ngasinan Etan itu dikemas dengan momentum Malam 1.000 Oncor. Acara itu sengaja disuguhkan kepada para pemudik untuk bernostalgia di zaman kawak, yakni zaman belum ada listrik masuk desa. Ketua Pengelola Pasar Kawak Ngasinan Etan, Slamet Riyanto, mengungkapkan biasanya acara seperti ini diadakan setiap malam Minggu dan pada Minggu paginya digelar Pasar Kawak.

“Mengingat Sabtu, para pemudik sudah mulai balik maka diajukan waktunya pada Jumat malam dan Sabtu paginya ada Pasar kawak. Semua yang kami suguhkan seperti malam 1.000 oncor, kesenian gejuk lesung, macapat, karawitan, dan kuliner malam itu untuk mengedukasi para pemudik, khususnya generasi milenial agar merasakan zaman kawak saat belum ada listrik,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com, Jumat malam.

Slamet sengaja menampilkan semua potensi zaman kawak itu untuk mengingatkan para generasi milenial agar tidak melupakan sejarah nenek moyang. Dia menyebut seperti macapat itu ada macam-macam tembangnya yang sarat dengan makna dan semua itu untuk pembelajaran para milenial.

Baca juga: Kronologi Penemuan Mayat Bayi di Bengawan Solo Masaran Sragen

Slamet menerangkan oncor itu simbol penerangan di saat gelap karena dulu belum ada lampu listrik. Kuliner yang disajikan pun, kata dia, kuliner malam, seperti jadah bakar, pecel, nasi petilan (nasi yang disuguhkan saat memetik padi kali pertama), bancaan, nasi tumpang, dan seterusnya.

“Untuk minumannya ada es dawet, wedang kawak, kopi, teh, dan seterusnya. Kuliner malam tidak sebanyak kuliner pagi atau siang. Seperti bancaan itu simbol wujud syukur kepada Tuhan. Generasi sekarang tidak banyak yang tahu. Semua kuliner itu dibungkus daun,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya