SOLOPOS.COM - Ilustrasi Sabdo Palon. (Youtube)

Solopos.com, SEMARANG — Sabda Palon dan Naya Genggong dikenal sebagai punakawan atau abdi di masa terakhir Kerajaan Majapahit. Mereka adalah pengayom Prabu Brawijaya V. Keduanya menjadi saksi proses wawan-sabda (dialog) antara Prabu Brawijaya V dan para wali sanga yang dimotori Sunan Kalijaga.

Saat itu Prabu Brawijaya V berhasil dipengaruhi oleh para wali sanga hingga akhirnya memeluk agama Islam. Hal ini menyebabkan Kerajaan Majapahit mengalami kekalahan dalam serangan garebeg dari Sultan Demak, Raden Patah. Padahal Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya V sendiri dari hubungannya dengan wanita berdarah Tionghoa dari Campa (Kamboja).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Meskipun Kerajaan Majapahit runtuh dan Prabu Brawijaya V masuk Islam, kedua punakawan tersebut tidak mengikuti jejak sang prabu. Mereka meninggalkan sang prabu demi meneguhkan keyakinan dan tradisi yang sudah dipegang lama. Bahkan mereka berjanji akan kembali sesudah 500 tahun setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit sebagai pamong Nuswajawi.

Baca juga: Sumpah Sabdo Palon Hancurkan Tanah Jawa

Makna Sabdo Palon dan Naya Genggong

Dilansir dari literasi yang ada di situs ejournal.purpesnas.go.id berjudul Sabdapalon Nayanggenggong Nagih Janji: Makna dan Pemahaman dari Masa ke Masa, Jumat (21/1/2022), secara harafiah Sabda Palon dan Naya Genggong mengadung pengertian untuk dijadikan landasan/pegangan yang melekat pada kedua sosok punakawan tersebut.

“Sabdo” berasal dari kata “Sabda” atau “perkataan/firman” dan “Palon” adalah “pegangan.” Berdasarkan definisi dasarnya, Palon memiliki arti kayu pengancing kadang ternak (Dr. Sigit Hardiyanto.MA: “Ramalan Ghaib Sabdo Palon Naya Genggong). Sedangkan “Naya” memiliki arti “pandangan/pengamatan,” selanjutnya “Genggong” memiliki arti “keabadian”.

Jadi Sabdo Palon dan Naya Genggong secara umum dan keseluruhan berarti pegangan dengan berlandaskan atas keadaan yang berlangsung terjadi secara berkelanjutan dan abadi.   Definisi sebutan inilah yang dipegang oleh kedua punakawan saat mereka meninggalkan Prabu Brawijaya V.

Baca juga: Ini Isi Ramalan Sabdo Palon Nagih Janji

Dikisahkan sesudah wafatnya sang Prabu Brawijaya V, Sultan Kerajaan Demak, yaitu Raden Patah dan Sunan Kalijaga mendengar suara gaib yang berbunyi “Habislah cinta kasihku kepada anak, walaupun telah mati wujudku, tetapi ingatlah besok kalau ada Agama kawruh, saat itu akan kubalas.”

Mendengar suara gaib itu, Raden Patah dan Kanjeng Sunan Kalijaga merasa bersalah dan mereka ingin menebus kesalahannya dengan selalu menggunakan jubah warna hitam. Mereka juga menggunakan penutup kepala bernama udheng atau iket/destar berwarna wulung. Kemudian Sunan Kalijaga mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa mengenai Ilmu Sejatining Urip yaitu ilmu yang berporses pada diri sendiri untuk mengetahui hidup yang sejati.

Ilmu Sejatining Urip ini mengajarkan bahwa “budi” dalam diri setiap pribadi yang menggerakan kehendak sehingga keluar berupa ucapan atau sabda. Ilmu  inilah yang dulunya masih dipertahankan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong, yang dikenal dengan Agama Budi. Demi keyakinan ini juga, kedua punakawan ini rela meninggalkan pengabdian mereka kepada Prabu Brawijaya V.

Baca juga: Sumpah Sabdo Palon Hancurkan Tanah Jawa

Ramalan Sabdo Palon dan Naya Genggong Jadi Nyata

Sabda Palon dan Naya Genggong juga meninggalkan sejumlah ramalan, di antaranya adalah kehadiran penjajah Belanda yang diibaratkan sebagai sosok “kebo bule mripat sliwer.” Ramalan ini teralisasi dengan datangnya kedatangan Belanda pada 1602 yang dipelopori oleh Cornelis de Houtman yang kemudian menjajah Indonesia secara keseluruhan selama 3,5 abad.

Kemudian Sabdo Palon dan Naya Genggong juga mengatakan soal kemunculan agegaman kawruh atau agama kawruh. Dalam pengertiannya, kawruh berasal dari kata dasar dalam bahasa Jawa, yaitu weruh yang berarti mengetahui yang kemudian diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang lenih bersifat sekulur. Sebagaimana yang sudah diketahui, IPTEK saat ini berkembang pesat, khususnya di bidang teknologi informasi sebagai alat/senjata kemajuan zaman.

Baca juga: Ramalan Sabdo Palon Nagih Janji, Obrak-Abrik Tanah Jawa?

Sedangkan realisasi ramalan lainnya di masa sekarang adalah pada perkembangan aliran kepercayaan yang diramalkan terjadi pada 500 tahun setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit di mana 500 tahun tersebut terhitung sejak 1400 Sakadan jatuh pada 1978. Saat itu, tepat pada 10 November, Badan Penghayat Ketuhanan  Yang Maha Esa “Rila” didirikan oleh Drs. Soetadi  yang merupakan bentuk perkembangan dari ajaran Laskar Geriliya Maram “Rila” yang berada di Yogyakarta di bawah asuhan R. Aliman.

Sementara itu, seperti yang diberitakan Solopos.com, ramalan Sabdo Palon dan Naya Genggong yang paling kontroversial adalah kehancuran Islam di Tanah Jawa yang terhuitung 500 tahun setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit. Bait ramalan yang juga dikenal dengan Sabdo Palon nagih janji tersebut meramalkan bahwa Agama Budi akan kembali berdiri menjadi satu di tanah Jawa. Ramalan ini adalah salah satu yang belum teralisasi karena meskipun 500 tahun berlalu dan hingga sekarangpun, Agama Islam di Jawa masih kuat keberadaannya di tanah Jawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya