SOLOPOS.COM - perundungan pada anak. (freepik)

Solopos.com, SOLO—Dua hari yang sangat menyenangkan ketika sekolah menugaskan saya mengikuti Workshop Literasi Keberagaman bagi Guru yang diadakan oleh Solopos Institute.

Workshop ini merupakan sesuatu yang baru bagi saya karena topik yang dibahas mengenai keberagaman. Keberagaman memang sudah sering dibicarakan akhir-akhir ini, namun apakah semua dari kita sudah mengerti benar apa itu keberagaman.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keberagaman adalah kondisi masyarakat di mana terdapat perbedaan dalam berbagai bidang, terutama ras, agama, ideologi, dan budaya. Keberagaman menjadi penting untuk dikaji semua kalangan karena sangat erat dengan jati diri bangsa kita tercinta, Indonesia.

Keberagaman menjadi keniscayaan karena negara kita adalah negara kepulauan dengan berbagai jenis bahasa, suku, adat, kepercayaan, maupun budaya. Bahkan, Indonesia sudah menghadapi bonus keberagaman ini sejak zaman dahulu, atau sebelum Indonesia merdeka.

Ekspedisi Mudik 2024

Namun, semakin dewasa dan menua, terkadang kita lupa dengan diri kita sendiri bahwa kita memang berbeda. Perbedaan itu bisa kita temukan dari fisik kita yang tidak akan sama dengan orang lain.

Bahkan, manusia kembar pun adalah individu berbeda. Di tengah keberagaman itu, kita menjadi miris dengan banyaknya lelucon yang menggunakan keberagaman sebagai materinya.

Praktik-praktik itu, yang menyedihkan, bisa kita lihat di lingkungan terdekat kita, yaitu keluarga dan masyarakat. Di dalam lingkup keluarga dan masyarakat ada manusia dari semua usia, mulai dari anak balita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua. Mereka tidak akan lepas dari bullying, bahkan yang usia balita.

Berpengaruh

Menurut Wikipedia.org, balita merupakan salah satu periode manusia setelah bayi dengan rentang usia dimulai dari 2-5 tahun. Usia ini menandakan anak dalam masa pengawasan orang dewasa. Mereka akan dengan mudah mencontoh perilaku orang di sekitarnya.

Bullying terhadap anak pernah dialami seorang perempuan yang saya kenal. Perempuan itu berasal dari desa. Dia merantau bersama suaminya ke kota.
Keputusan merantau dia ambil karena dia ingin memperbaiki perekonomian keluarga. Tak lama setelah menikah, perempuan itu dikaruniai anak laki-laki.
Perempuan itu dan suaminya sama–sama bekerja. Dia harus mencari baby sitter untuk bayinya. Akhirnya, dia menitipkan bayi yang baru dua bulan itu kepada orang lain untuk diasuh.

Tidak mudah bagi dia dan suami untuk bertahan hidup dan percaya dengan orang yang baru mereka kenal. Namun, baby sitter yang ia temui membuatnya kagum karena sangat perhatian terhadap anaknya, bahkan bisa bertahan sampai saat ini.

Baby sitter itu membantu anaknya berlatih berjalan, berbicara, dan telaten menemaninya bermain di luar rumah. Perempuan itu berharap anaknya bisa tumbuh normal meskipun ia dan suaminya bekerja.

Namun, suatu saat, ada yang berbeda dari anaknya. Perempuan itu melihat semakin si anak lancar berbicara, anak tersebut makin tidak memerhatikan orang tuanya yang mengajak bicara. Si anak bahkan sering tantrum dan sering menjawab pada saat yang dia belum boleh menjawab.

Perempuan tersebut akhirnya menyadari ada yang mengganggu tumbuh kembang anaknya. Ia terus mencari tahu penyebabnya. Setelah si anak berusia tiga tahun, baru ia menyadari suasana berbeda yang ditemui anaknya ketika bermain di luar rumah. Salah satunya berasal dari tetangga.

Seorang tetangga memperlakukan si anak dengan tidak baik. Bukan secara fisik, namun verbal. Anaknya sering mendapatkan bullying dari tetangganya yang usianya terpaut jauh. Selama ini, baby sitter yang mengasuhnya tidak pernah bercerita karena dia merasa hal itu hanya candaan sehingga tidak akan berpengaruh terhadap anak asuhnya.

Jadi, terkadang, orang dewasa tidak sadar bahwa mereka telah melakukan perundungan terhadap anak-anak. Di tempat perempuan itu tinggal, mayoritas tetangga memiliki anak perempuan yang usianya jauh di atas anaknya.

Tempat tinggal perempuan itu adalah perumahan dengan jarak antartetangga sangat dekat. Rumah yang ia tempati adalah perumahan subsidi. Baru dia tahu bahwa beberapa tetangga sering memanggil anaknya dengan kata-kata diskriminatif, seperti hidung pesek, kulit hitam, dan lain-lain.

Candaan itu membuat mereka tertawa bahagia karena mereka menganggap lucu. Bahkan, ketika si anak mulai menunjukkan ekspresi sedih dan hendak menangis, mereka langsung meneriakinya agar si anak segera menangis. Akhirnya, si anak pun menangis.

Menurut perempuan itu, kondisi tersebut menjadi penyebab anaknya semakin cuek, suka memotong pembicaraan orang lain, tidak mau dinasihati, bahkan tantrum. Perempuan tersebut tidak langsung memutuskan untuk pindah dari tempat tinggalnya, namun dia mencoba untuk memberikan afirmasi positif kepada sang anak. Namun, setelah sang anak tidak menunjukkan perubahan hingga masuk sekolah dasar, perempuan itu memutuskan pindah.

Dia memilih tinggal dekat dengan keluarga suaminya. Sayangnya, perundungan yang anaknya alami tidak berhenti. Sang anak memang termasuk anak yang lambat dalam belajar (slow learner). Dia lebih suka bermain dibandingkan fokus memahami pelajaran.

Susah Obatnya

Perundungan kembali dilakukan orang dewasa di sekitarnya, yaitu keluarga. Paman si anak yang tinggalnya tidak jauh dari rumah, dengan mudah memberikan label kepada si anak dengan sebutan anak bodoh dan anak enggak nyambung karena selalu mendapatkan peringkat terakhir di kelas.

Padahal si paman memiliki anak balita. Apakah ia tidak sadar ketika anaknya besar bisa saja mendapatkan label seperti keponakan yang sedang ia bully?
Perundungan verbal yang dialami si anak sejak balita sampai sekarang ternyata membekas. Si anak menjadi pribadi yang seakan punya dunia sendiri.

Bahkan ketika guru menerangkan pelajaran di kelas, ia selalu bermain. Dia asyik bermain bolpoint, benang, atau benda apa pun yang ada di depannya. Kondisi ini dipahami guru-guru di sekolah sehingga mereka membebaskan anak tersebut belajar sambil bermain.

Teman saya dan suaminya itu tidak pernah berhenti berusaha untuk menguatkan mental sang anak. Mereka telah menegur pihak-pihak yang telah merundung anak mereka.

Berangkat dari kisah itu, saya ingin mengingatkan bahwa dampak dari perundungan memang berlangsung dalam jangka panjang. Bom besar yang siap meledak ada di depan mata.



Anak yang mengalami bullying akan menjadi pelaku bullying pada waktu yang akan datang. Mereka terbiasa menyaksikan perilaku bullying di tengah masyarakat.

Komisioner KPAI Jasra Putra pernah mengatakan bahwa luka fisik bisa dicari obatnya, namun luka batin sangat tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Orang dewasa memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan penerus estafetnya berkembang dengan baik. Kita sebagai orang dewasa harus bisa memantau anak-anak supaya terhindar dari perundungan dan mencegah mereka menjadi pelaku perundungan yang sudah menjadi budaya di tengah masyarakat kita.

Sangat penting untuk meluangkan lebih banyak waktu bagi anak-anak. Yang tidak kalah penting, kita sebagai orang dewasa harus mampu menjaga ucapan supaya tidak justru memberi racun untuk penerus estafet kita.

Anak yang berbeda tidak lantas menjadikan kita latah untuk merundungnya. Apalagi kita tinggal di negara dengan keberagaman sehingga kita wajib membawa Indonesia menjadi contoh warna keberagaman di dunia. Kita harus memberikan contoh yang baik dalam menjaga dan menuntun anak-anak hingga mereka mampu menopang estafet berikutnya. Cintai dan hargailah anak-anak disekitar kita karena merekalah penerus kita.

Penulis adalah guru di SMAN 4 Solo

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya