SOLOPOS.COM - Ilustrasi kekeringan. (Solopos)

Solopos.com, KLATEN – Sebanyak 31 sumber mata air dari total 171 sumber mata air di Klaten mati. Matinya sumber air itu dipengaruhi sejumlah faktor salah satunya aktivitas eksplorasi alias pertambangan galian C.

Aktivitas eksplorasi yang dimaksud yakni kegiatan pertambangan. Selain faktor eksplorasi, penggalian sumur diperkirakan ikut menyumbang turunnya debit sumber mata air.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berdasarkan data yang dihimpun dari Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Klaten, setidaknya di Klaten ada 171 sumber air yang dimanfaatkan untuk kepentingan irigasi. Dari jumlah itu, ada 31 sumber air yang mati atau tidak aktif. Ada yang berubah menjadi pekarangan hingga sawah.

Kepala Bidang (Kabid) SDA DPUPR Klaten, Harjaka, mengatakan sejak era 1990-an hingga kini, jumlah sumber air di Klaten terus berkembang menyusul ada sejumlah sumber air yang mati alias tak aktif lagi mengeluarkan air. Matinya sejumlah sumber air diperkirakan salah satunya lantaran faktor aktivitas di wilayah hulu.

Baca juga: Tak Berhenti di Mal, Aplikasi PeduliLindungi juga bakal Jadi Syarat Masuk Tempat Wisata Solo

Aktivitas di wilayah hulu di Klaten yakni kegiatan pertambangan galian C yang banyak ditemui di wilayah Kecamatan Kemalang.

“Kalau saya orang teknis menyampaikan kegiatan itu sebenarnya bisa dilakukan siasat agar kelestarian sumber air bisa terjaga. Seperti tetap melakukan reboisasi kemudian membuat embung konservasi untuk menangkap air. Jadi air yang tertampung bisa meresap ke dalam tanah,” jelas Harjaka saat ditemui di DPUPR Klaten, Senin (30/8/2021).

Harjaka mengatakan faktor lain yang menyebabkan debit mata air turun yakni semakin bertambahnya sumur dalam. Banyaknya sumur dalam apalagi proses penyedotan air menggunakan pompa membuat air di sungai bawah tanah semakin berkurang hingga berdampak pada debit mata air. Namun, Bidang SDA DPUPR Klaten belum sampai pada kajian berapa besar eksplorasi air menggunakan sumur dalam serta dampaknya terhadap kelestarian debit mata air.

Harjaka mengatakan pengeboran sumur dalam cukup dilematis. Di satu sisi penggalian sumur dalam ditujukan untuk mencukupi kebutuhan air bersih, di sisi lain semakin banyaknya sumur memengaruhi debit mata air terutama di wilayah hilir.

Baca juga: Peserta Tes SKD CPNS di Solo Wajib Bawa Sertifikat Vaksin

Harjaka berharap aktivitas eksplorasi maupun pembangunan sumur dalam juga mempertimbangkan kelestarian sumber air. Selain itu, dia berharap pengelolaan dan pemanfaatan air bisa lebih bijak lagi.

Hilangnya sejumlah sumber air itu seperti yang terjadi di wilayah lereng Gunung Merapi yakni Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang. Salah satu warga Dukuh Mbangan, Desa Sidorejo, Sukiman, mengatakan di wilayahnya hingga kini masih ada sekitar empat sumber air adat yang masih aktif dan dilestarikan warga.

Keempat sumber air itu masing-masing bernama Tuk Biru, Kali Lumbang, Kali Reno, serta Kali Putih. Sebagian dimanfaatkan warga dengan dialirkan ke permukian seperti Kali Reno serta Tuk Biru selain menggunakan aliran air dari sumber air Bebeng, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY.

Sukiman mengatakan sebelumnya ada lebih dari empat sumber air di wilayah Sidorejo yang berada pada lereng Gunung Merapi. Seperti sumber air bernama Kali Deles, Kali Konang, Kali Miren, Kali Munu, serta Kali Tawang. Oleh warga, sumber air itu sebelumnya dimanfaatkan terutama saat musim kemarau. Minimal, pemanfaatan itu untuk kegiatan mencuci dan sebagainya.

Baca juga: Cerita Warga Soloraya Berburu Vaksin Covid-19 Sampai ke Kulon Progo

Namun, kelima sumber air tersebut kini sudah hilang. Sukiman menjelaskan Kali Deles dan Kali Konang sudah mati sejak lima hingga enam tahun lalu. Kali Munu sekitar 10 tahun lalu. sementara, Kali Tawang belum lama ini hilang.

“Sejak ada aktivitas alat berat itu, sumber air tersebut ditambang kemudian diuruk sehingga tidak terlihat lagi,” kata Sukiman.

Sukiman menuturkan sumber air yang hilang rata-rata berdampingan dengan lahan milik pribadi. Ketika potensi material yang ada pada lahan tersebut dieksplorasi untuk kegiatan pertambangan serta disetujui pemilik lahan, warga lainnya tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan sumber air.

Disinggung upaya melestarikan sumber air yang masih tersisa, Sukiman menuturkan dilakukan melalui pendekatan budaya. Seperti tradisi dandan kali berupa kegiatan membersihkan sumber-sumber air yang ada di desa setempat.

“Selain itu dengan mengajak anak-anak muda di wilayah kami untuk sering ditulis dan didokumentasikan bahwa ini pernah menjadi sumber untuk hidupnya warga lereng Merapi. Sehingga ada rasa memiliki untuk ikut menjaga dan melestarikan sumber air yang masih ada,” kata dia.

Baca juga:Sumber Air Belum Mampu Cukupi Kebutuhan Semua Warga Desa Sidorejo Klaten, Beli Air Bersih Jadi Pilihan

Ditemui sebelumnya, salah satu operator Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Objek Mata Air Cokro (OMAC), Supriyono, menjelaskan debit air yang keluar dari Umbul Ingas ke saluran belakangan kian menurun. Kondisi itu terjadi terutama dua tahun terakhir.

Supriyono mencontohkan penurunan debit air itu dilihat dari ketinggian permukaan air pada saluran yang terhubung langsung dengan Umbul Ingas. Penurunan ketinggian permukaan air mencapai lebih dari 10 sentimeter. Kondisi itu membuat kinerja PLTMH saat ini tak optimal selain dipengaruhi faktor usia peralatan. Soal penyebab menurunnya debit air, Supri tak tahu pasti. Namun, bisa jadi kondisi itu dipengaruhi dengan semakin banyaknya sumur dalam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya