SOLOPOS.COM - Satu hunian di antara tanaman terong, tepatnya di pinggiran Dukuh Pilangsari, Desa Tegalrejo, Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen ini dihuni satu keluarga pada Minggu (21/8/2022). (Espos/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Anda akan melihat gubuk saat melewati Jalan Srimulyo-Tegalrejo, tepatnya di Dukuh Pilangsari, RT 006, Desa Tegalrejo, Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

Gubuk atau hunian sederhana dengan dinding dari potongan-potongan kayu bekas. Atap gubuk dari asbes. Gubuk itu berada di tengah areal persawahan, tepatnya di antara tanaman terong, kangkung, tomat, dan kacang tanah. Jaraknya sekitar 100 meter dari batas dukuh.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Gubuk itu dihuni sepasang suami istri dan seorang anak gadis berumur 10 tahun. Mereka adalah pasangan Suwarno, 60, dan Imas, 52, bersama putrinya. Mereka hidup sederhana dan seadanya di rumah tersebut sejak lima bulan terakhir.

Penghuni rumah itu mengandalkan penerangan dari jaringan listrik untuk pompa air tenaga listrik atau submersible pump. Mereka juga mengandalkan hasil dari bertani sayur-sayuran. Hasil panen terong 30 kg dalam sehari bisa dijual Rp3.000/kilogram (kg).

Suwarno dan Imas menempati lahan sawah 2.500 meter persegi warisan dari orang tua. Kendati kondisi rumah sederhana, Suwarno dan Imas mengaku merasa nyaman.

Baca Juga : Desa/Kelurahan Termiskin di Sragen Ternyata Ada di Wilayah Kota

Sebelumnya, mereka hidup di perantauan, yakni di Bogor. Bahkan, kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) mereka masih beralamatkan di Bogor. Ternyata, mereka merasa berat hidup di perantauan.

“Di Bogor itu makan pun dikasih orang. Bahkan sampai ada orang baik yang meminjami rumah tanpa harus bayar sewa kontrakan. Tetapi apapun usaha saya untuk mencari penghidupan sering kali diganggu orang. Jualan bensin seperti dibuat tidak laku. Buka warung kecil-kecilan juga tidak laku karena pelanggan itu tahunya tidak jualan. Padahal kami jualan terus,” kisah Suwarno dan Imas saat berbincang dengan Solopos.com, Minggu (21/8/2022).

Imas mengaku tidak kuat hidup di perantauan hingga akhirnya memutuskan pulang ke Sragen delapan bulan lalu. Saat itu, Suwarno mencoba bertahan mencari pekerjaan di Bogor.

Namun, Suwarno akhirnya memutuskan pulang juga ke Sragen. Kemudian, lima bulan lalu mereka bertekad tinggal di hunian seadanya di tengah sawah. Suwarno berkisah rumah huniannya hanya dua asbes pada awalnya.

Mereka menuturkan bahwa senang hidup apa adanya. Kendati tinggal di pinggiran dukuh, Suwarno dan Imas tetap ikut aktivitas yang diselenggarakan di dukuh tersebut, seperti pengajian dan perkumpulan RT.

Baca Juga : Ini Daftar 51 Desa/Kelurahan Zona Merah Kemiskinan di Sragen

Pada akhir obrolan, Imas berharap bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah luar biasa (SLB) meskipun tidak akan sanggup membayar biaya sekolah tersebut.

Mereka memiliki satu unit motor. Imas menyebut motor itu pemberian orang yang peduli terhadap kehidupan mereka.

“Beberapa waktu lalu, ada orang datang mencari saya. Kemudian ditanya punya motor tidak? Saya diajak dan ditunjukkan motor untuk dipakai. Surat-suratnya pun diserahkan juga. Motor itu bisa digunakan untuk antar sekolah anak,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya