SOLOPOS.COM - ilustrasi

ilustrasi

BANTUL —Sepanjang 2011, Pengadilan Negeri (PN) Bantul telah menggelar sidang tindak pidana ringan (tipiring) tentang pelacuran sebanyak 21 kali dengan jumlah terdakwa mencapai 257 orang.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Data yang dihimpun Harian Jogja besaran denda yang dijatuhkan majelis hakim bervariasi. Mulai dari Rp200.000 hingga Rp1 juta. Sebab, bagi pelaku yang terjaring lebih dari satu kali, dendanya akan berlipat (lebih tinggi) dari vonis pertama. Hal itu dimaksudkan agar menimbulkan efek jera.

Hingga sidang terakhir pada Kamis (8/12) lalu, total denda keseluruhan dari sidang tipiring pelacuran sekitar Rp109 juta. “Semuanya disetorkan ke kas negara melalui BPD atau BRI,” kata sumber Harian Jogja di Kejaksaan Negeri (Kejari) Bantul yang menolak disebut namanya, Kamis (22/12) siang.

Menurut Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri (PN) Bantul Sigit Indriyatno, penegakan Perda No.5/2007 tentang larangan pelacuran pada 2011 terbilang cukup giat. “Ujung tombaknya pada kepolisian dan Satpol PP,” terang Sigit.

Sebagian besar terdakwa, lanjut dia, terjaring razia di wilayah Pantai Parangtritis. Sisanya dari salon yang diduga menyediakan layanan plus. “Dari salon paling sekitar 20 persen saja,” ujarnya. Sebagian besar berasal dari luar Bantul.

Sigit menyanggah jika penegakan Perda Larangan Pelacuran itu hanya menyentuh para pekerja seks komersial (PSK), hidung belang, dan pasangan mesum. Sebab, PN Bantul juga pernah menyidangkan germo hingga pemilik penginapan meski jumlahnya hanya sedikit.Namun, untuk germo dan pemilik penginapan, biasanya disidang pidana (bukan tipiring).

Hal itu dibenarkan sumber dari Kejari Bantul. “Untuk germo, kalau sekitar sepuluh, ada,” ungkapnya. Mengenai sidang tipiring, imbuh sumber itu, kebanyakan langsung membayar denda.

Tetapi, ada juga sebagian yang memilih menjalani hukuman penjara. “Ada satu orang yang pilih dipenjara sampai empat kali daripada bayar denda,” kata sumber itu. Selain tidak punya uang, PSK
yang pilih dipenjara biasanya tidak menjadi asuhan germo.

Kalaupun ada germonya, PSK itu diduga sudah tidak menguntungkan. Jadi tidak ditebus. Jika sesuai dengan aturan, subsider penjara maksimal 3 bulan. Namun, dalam prakteknya, hakim kerap memberi keringanan. Rata-rata dua minggu sampai satu  bulan.

Menanggapi data yang dihimpun Harian Jogja, Koordinator Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) Watin mengaku sangat miris. “Bukannya memberikan lapangan kerja yang halal, pemerintah justru memeras hasil keringat mereka (PSK),” tegas Watin.

Warga Dusun Mancingan, Parangtritis, Kretek, Indratno menambahkan, Parangtritis adalah penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) Bantul yang paling besar. Tahun ini, retribusi dari Parangtritis ditarget lebih dari Rp4 miliar. “Tetapi, tidak ada imbalannya bagi warga Parangtritis. Kami
justru terus diperas dengan razia yang berdalih demi memberantas penyakit masyarakat (pekat),” kata Indratno.

Sebelumnya, Kepala Dinas Sosial Bantul Mahmudi menjelaskan pihaknya telah mengupayakan langkah untuk mengentaskan para pelacur dari dunia prostitusi. “Untuk PSK asli Bantul, kami siap mendaftarkan mereka ke Panti Bina Karya Dinsos Provinsi DIY,” kata Mahmudi, Selasa (20/12)
lalu.

Selama dua bulan, masih kata Mahmudi, PSK itu akan mendapat pelatihan mental, ketrampilan, hingga binaan wirausaha. Setelah lulus, mereka akan dimodali sesuai keinginannya hendak membuka usaha sesuai ketrampilan yang diperoleh.(Harian Jogja/Dinda Leo Listy)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya