SOLOPOS.COM - Siswa kelas VII A SMPN 18 sedang belajar. Belum cairnya BPMKS membuat para siswa baru masih memakai seragam SD, Sabtu (28/7/2012) . (FOTO: Tim Espos)

Siswa kelas VII A SMPN 18 sedang belajar. Belum cairnya BPMKS membuat para siswa baru masih memakai seragam SD, Sabtu (28/7/2012) . (FOTO: Tim Espos)

“Seragam memang perlu. Tapi apakah semua itu harus dikoordinasikan oleh sekolah,” tanya pegiat Masyarakat Peduli Pendidikan Solo (MPPS), Nunung Purwanti, Kamis (26/7).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menjadi hal positif, lanjut Nunung, apabila pengadaan seragam yang dikoordinasikan sekolah benar-benar meringankan beban orangtua atau walimurid. Dengan kata lain, harga seragam bisa dibanderol di bawah harga pasaran. Apabila yang terjadi justru sebaliknya, pengoordinasian seragam baru oleh sekolah seharusnya ditinjau kembali.

“Lagunya orangtua tiap tahun ajaran baru selalu sama. Seragam mahal, buku mahal. Kondisi ini harusnya segera dibenahi. Janganlah seragam dijadikan proyek para guru. Apa ya gaji itu masih kurang?” kritik Nunung.

Pegiat MPPS lain, Anik Trimaharani, menyuarakan hal senada. Dia mencontohkan soal kaus kaki siswa yang disablon dengan nama sekolah. “Sepele sebenarnya tentang kaus kaki. Untuk beli kaus kaki anak-anak kita itu kan tidak bisa di sembarang toko melainkan harus di koperasi sekolah. Satu pasangnya Rp12.500. Coba bandingkan dengan harga kaus kaki di luaran yang tak sampai Rp10.000. Umumnya Rp10.000 dapat tiga malah. Nah lho kenapa yang di sekolah harganya sangat mahal,” ujar dia.

Anik melanjutkan pemesanan kaus kaki sekolah pasti dengan harga grosir. Pertanyaannya kenapa ketika dijual kepada siswa harganya menjadi bengkak. “Tak pantas rasanya kalau semua dijadikan proyek oleh sekolah,” ujarnya.

Sebelum ada BOS, tutur Anik, biaya pendidikan dirasakan orangtua memang sangat mahal. Namun kondisi tidak berubah setelah pemerintah memberikan bantuan. “Pungutan jadi aneh-aneh sampai kaus kaki pun dibisniskan. Ini apa-apaan,” kata dia menyesalkan praktik itu.

Yang menjadi keprihatinannya sebagai orangtua, salah satunya adalah ketertutupan pihak sekolah mengenai sumber penerimaan maupun kegiatan belanja per tahun. “Dua tahun lalu anak saya sekolah di SMPN 4. Waktu itu saya protes keras karena ada piknik keluarga guru untuk perpisahan kepala sekolah yang lama. Jelas saya curiga dana piknik adalah dana dari siswa atau bahkan BOS. Sayangnya meski saya teriak tetap saja tidak ada penjelasan dalam bentuk dokumen tentang asal dana untuk piknik itu.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya