SOLOPOS.COM - Agus Riewanto/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Hari-hari ini rakyat Indonesia dikenalkan dengan omnibus law sebagai program unggulan pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo di bidang hukum dan regulasi (peraturan perundang-undangan).

Istilah omnibus law ini kali pertama disebut Presiden Joko Widodo saat pidato pelantikan sebagai presiden ke-8 Indonesia di Gedung MPR/DPR/DPD pada 20 Oktober 2019 lalu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Presiden Joko Widodo menyatakan segera membuat program omnibus law yang terkait dengan ketenagakerjaan dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bagaimanakah prospek program omnibus law ini dalam konteks reformasi regulasi di Indonesia?

Dalam praktik ketatanegaraan, menurut A. Gluck, at all  (2015), dalam Unorthodox Law Making, Unorthodox Rulemaking, omnibus law adalah sebuah metode membuat satu peraturan yang terdiri dari banyak subjek atau materi pokok untuk tujuan tertentu.

Sesungguhnya konsep omnibus law mencerminkan integrasi dan kodifikasi peraturan yang bertujuan mengefektifkan penerapan. Omnibus law adalah salah satu terobosan progresif dalam menyiasati konflik norma undang-undang akibat dari banyaknya undang-undang (obesitas); tumpang tindih; inkonsistensi; multitafsir; dan tidak operasional.

Program omnibus law ini bagi sistem ketatanegaraan Indonesia relatif baru, namun telah lama dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem common law. Di Amerika Serikat omnibus law telah dipraktikkan sejak 1967 dan setidaknya telah ada 42 negara bagian yang mengatur tentang subjek-subjek dalam satu undang-undang (the one subject at a time act).

Peraturan Berkonflik   

Di Indonesia saat ini terdapat ratusan undang-undang terkait dengan dunia bisnis yang saling berkonflik. Berdasarkan data  Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2018) terdapat 15 undang-undang berkaitan dengan investasi; 10 undang-undang berkaitan dengan memulai bisnis.

Sebanyak 44 undang-undang terkait dengan perizinan berusaha; 10 undang-undang terkait tata ruang dan pertanahan; 23 undang-undang terkait dengan sarana-prasarana bisnis, ketenagakerjaan, insentif fasilitasi, dan kewajiban pembayaran pendapatan negara bukan pajak/pajak daerah dan retribusi daerah; dan 50 undang-undang berkaitan dengan penegakan hukum.

Semua undang-undang itu dibuat pada era 1960-an hingga 2000-an yang sudah tak mampu menjawab aneka problem dunia usaha, sehingga malah menghambat investasi dan menyulitkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Tepatlah kritik dari Global Competitiveness Report (2019) yang menyatakan peraturan di Indonesia rendah kualitasnya dalam daya dukung terhadap  kemudahan berusaha (easy of doing bussiness/EoDB). Peringkat EoDB Indonesia (ke-73)  kalah jauh dalam hal peringkat indikator starting a business dari Singapura (ke-3), Malaysia (ke-15), dan Vietnam (ke-69).

Program omnibus law yang digagas Presiden Joko Widodo pada jabatan periode kedua ini patut diapresiasi positif. Program ini diharapkan segera dijalankan untuk mewujudkan perubahan, pencabutan, atau pemberlakuan beberapa ketentuan yang terdapat pada beberapa undang-undang yang berbeda ke dalam satu undang-undang (the one subject at a time act).

Ini akan menghasilkan suatu peraturan yang bersifat khusus, yakni terkait  dengan dunia bisnis, utamanya investasi, ketenagakerjaan dan usaha mikro, kecil, dan menengah yang akan memotong mata rantai birokrasi; undang-undang yang tumpang tindih antarkementerian; dan disharmoni asas undang-undang.

Tantangan

Harus diakui bahwa menjalankan program omnibus law bukan perkara mudah dan sederhana karena diperlukan rekonsolidasi undang-undang (reconsolidation of law) terlebih dahulu, yakni penyisiran dan klasifikasi ratusan undang-undang untuk dijadikan satu subjek.

Dalam proses rekonsolidasi ini diperlukan kecermatan dan kemampuan untuk mengomunikasikan secara politis dengan DPR dan rakyat karena pintu omnibus law harus melewati tiga jalur sekaligus, yaitu pemerintah, DPR, dan rakyat (stakeholders) sebagai manifestasi penguatan partisipasi publik.

Ini penting agar omnibus law tidak senasib dengan rancangan RUU KUHP, UU KPK, dan RUU Pertanahan yang mengundang resistensi dan kontroversi. Lebih dari itu, salah satu tantangan program ominibus law, seperti dikatakan Helen Xanthaki (2018) dalam On Transferibility of Legislation Solution: The Functionality Test, harus mampu menjalankan prinsip dasar peraturan.

Prinsip dasar peraturan tersebut adalah efikasi (efficacy), yakni kemampuan menghasilkan undang-undang sesuai tujuan utama, yakni negara kesejahteraan (welfare states) yang di dalamnya terhimpun kualitas norma yang dapat diterima semua kalangan sehingga tak mudah dilakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi yang akan melambatkan praktik omnibus law.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya