SOLOPOS.COM - Seorang pekerja konstruksi tengah melewati deretan beberapa proyek rumah di Karanganyar, beberapa waktu lalu. (Adib Muttaqin Asfar/JIBI/Solopos/ilustrasi)

Program sejuta rumah identik dengan rumah murah. Namun, harga murah sering dinilai tak realistis.

Solopos.com, SOLO — “Ini rumah-rumah kami, mari duduk untuk mendapat penjelasan.” Rayuan perempuan-perempuan muda itu mengantar beberapa pemburu rumah murah masuk ke stan. Harganya miring, hanya Rp110 jutaan. Tapi, itu sebatas dalam brosur.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di hari terakhir Real Estate Indonesia (REI) Expo 2015 di Solo Grand Mall, Selasa (9/6/2015) lalu, sejumlah staf marketing perusahaan properti masih gencar menjaring calon konsumen. Mereka yang mayoritas pengembang rumah bersubsidi menggunakan berbagai cara untuk menyiasati syarat rumah bersubsidi.

Fasilitas Likuiditas Pemilikan Perumahan (FLPP) alias subsidi bunga kredit perumahan rakyat (KPR) hanya berlaku bagi rumah dengan harga sesuai aturan pemerintah. Di Jawa Tengah, batas maksimal harga rumah bersubsidi dibatasi Rp118 juta. Praktiknya, rumah seharga Rp118 juta masih terkena pajak pertambahan nilai (PPN) 10% karena batas harga rumah bebas PPN adalah Rp110,5 juta.

Ekspedisi Mudik 2024

”Mari saya jelaskan,” kata Lilis, perwakilan pengembang 116 unit rumah bertipe 36 di Tasikmadu, Karanganyar, kepada calon konsumen. Pengembang membanderol rumah bersubsidi mereka seharga Rp110,5 juta. Tapi masih ada biaya lain yang harus dibayarkan konsumen.

”Ini kan harganya Rp110,5 juta. Tapi nanti ditambah biaya peningkatan mutu sebesar Rp7,5 juta dan dibayarkan bersama uang muka. Jadi, jika uang muka 1%, jumlahnya Rp1.105.000, ditambah Rp7,5 juta. Jadinya uang muka Rp8.605.000” katanya.

Jika ditotal, harga jual rumah tersebut sesungguhnya Rp118 juta atau batas maksimal harga jual rumah yang mendapatkan FLPP. Harga yang terdaftar di bank penyalur FLPP hanya Rp110,5 juta dan hal itu membawa pengaruh besar.

Dia menunjukkan sebuah coretan kertas putih berisi simulasi kredit yang harus dibayarkan konsumen. Di sisi kiri, terdapat hitung-hitungan cicilan KPR jika nilai rumah dibuat Rp110,5 juta dan uang muka Rp1.105.000 (ditambah Rp7,5 juta) dengan bunga 5%. Sedangkan di sisi kanan adalah hitung-hitungan jika rumah itu dijual seharga Rp118 juta dengan uang muka 10% (Rp11,8 juta). Perbedaannya memang sangat signifikan.

Dengan harga Rp110,5 juta, konsumen bisa mendapatkan bunga rendah FLPP sebesar 5% per tahun. Dengan asumsi uang muka seperti di atas dan masa kredit 15 tahun, konsumen hanya membayar cicilan Rp878.000/bulan. Biaya proses di bank hanya Rp2,5 juta dan bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Sedangkan dengan harga Rp118 juta dan bunga KPR 11,5% per tahun (di brosur bank hanya 5%), cicilan membengkak menjadi Rp1.264.800 selama 15 tahun. Belum lagi biaya proses di bank yang lebih besar, yaitu Rp5,3 juta dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% atau Rp11,8 juta.

Trik biaya tambahan atas nama ”biaya peningkatan mutu” menjadi hal yang umum dilakukan para developer perumahan bersubsidi. Demi menyiasati batas harga maksimal rumah bersubsidi, mereka menambahkan biaya lain di luar harga pokok.

”Harga jual [resmi] Rp118 juta biar bisa masuk syarat FLPP. Tapi uang mukanya ditambah. Pajaknya tetap sama seperti yang Rp118 juta,” kata seorang perwakilan pengembang lainnya yang beroperasi di Ngemplak, Boyolali, dalam pameran tersebut kepada calon konsumen.

Biaya peningkatan mutu yang dikenakan kepada konsumen pun cukup besar, yakni Rp17 juta hingga 27 juta. Artinya, konsumen harus membayar uang muka minimal Rp11,8 juta ditambah biaya Rp17 juta.

Menurutnya, pihaknya menempuh cara itu karena harga tanah yang sudah sangat mahal. Di kawasan yang jaraknya sekitar 4 km dari barat daya Bandara Adi Soemarmo tersebut, harga tanah sudah mencapai lebih dari 750.000/m2. ”Setelah pameran ini, kelebihan tanah kami hargai Rp1,5 juta/m2,” katanya.

Harga tanah diperkirakan terus meroket dalam waktu dekat. Hal ini terkait rumor akan dibangunnya kawasan industri baru di barat Waduk Cengklik, tak jauh dari kawasan bandara. Padahal dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Boyolali 2011-2031, tak ada kawasan industri besar baru di sekitar waduk tersebut.

Dimaklumi

Bank penyalur FLPP bukannya tak tahu praktik ini. Namun ada hal yang membuat bank memaklumi trik yang dilakukan para developer rumah bersubsidi itu. ”Kami ya tahu lah. Apa [harga] yang disodorkan ke kami, riilnya di lapangan enggak mungkin seperti itu [Rp110 juta]. Kecuali daerah yang betul-betul pinggiran [terpencil],” kata Consumer Financing Sevice Staff BTN Syariah Solo, Yahya Habibi El Makki, Selasa (23/6/2015).

Yahya mengakui mustahil mendapatkan lahan murah untuk perumahan di sekitar Solo. Alasan tersebut membuat bank memaklumi jika sebagian developer mendaftarkan harga rumahnya di bawah nilai yang sesungguhnya. Namun, toleransi itu ada batasnya.

”Tapi kalau tidak wajar akan kami tegur. Misalnya rumah Rp200 juta didaftarkan Rp118 juta,” katanya.

Menurutnya, selama tidak keterlaluan, langkah developer itu dinilai realistis. Justru developer dianjurkan untuk tidak asal mencari lahan murah namun sulit berkembang dan berpotensi mangkrak ditinggal konsumen. Padahal, konsumen yang tak menempati rumah tersebut bisa terkena sanksi.

”Sekarang aturan ketat. Berdasarkan Peraturan Menteri PU-Perpera No. 20/PRT/M/2014, ada syarat rumah tersebut harus dihuni paling lambat setahun sesudah akad kredit.”

Baca juga:
PROGRAM SEJUTA RUMAH : Masalahnya, Lagi-Lagi Soal Birokrasi

PROGRAM SEJUTA RUMAH : Bukan PNS, Tapi Penjual Tahu-Tempe

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya