SOLOPOS.COM - Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dan Juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan tentang penetapan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Sigid Kurniawan)

Permohonan praperadilan tersangka kasus penerbitan SKL BLBI, Syafrudin Temenggung, ditolak hakim PN Jakarta Selatan.

Solopos.com, JAKARTA — Permohonan praperadilan Syafrudin Arsjad Temenggung terkait penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi penerbitan SKL BLBI ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dalam sidang dengan agenda putusan, Rabu (2/8/2017), Hakim Efendi Muchtar mengatakan bahwa beberapa dalil yang disampaikan oleh kuasa hukum Syafrudin Arsjad Temenggung sebagai pemohon sudah menjadi pokok penyidikan. Karena itu, dalil-dalil tersebut tidak bisa diperiksa sidang praperadilan.

Beberapa dalil yang diajukan Syafrudin adalah KPK tidak berwenang melakukan penylidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) yang diterbitkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Alasannya, hal itu merupakan kasus perdata.

Argumen lainnya adalah Syafrudin menganggap penyelidikan tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dia mengklaim tidak dapat ditersangkakan karena melakukan perbuatan berdasarkan perintah jabatan. Selain itu, objek perkara telah dihentikan penyidikannya oleh Kejaksaan Agung.

Dalil-dalil tersebut, kata hakim, harus dibuktikan oleh penuntut umum dan dibantah dalam persidangan Tipikor, bukan pada praperadilan. “Menimbang bahwa hakim berpendapat demikian dengan alasan hal-hal itu baru dapat dibuktikan benar atau tidak pada pengadilan tindak pidana korupsi dengan komposisi hakim. Sesuai Peraturan Mahkamah Agung No.6/2014, praperadilan hanya bertugas memeriksa syarat formil,” ujar hakim.

Hakim berpendapat bahwa penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor Sjamsul Nursalim telah memenuhi tempus delicti UU KPK. Pasalnya, pemberian SKL pada pemegang saham mayoritas Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) oleh BPPN yang dipimpin Syafrudin itu terjadi pada 26 April 2004.

Hakim juga menilai dalil pemohon bahwa penyidikan kasus tersebut telah melewati masa daluarsa mesti ditolak karena berdasarkan Pasal 17 ayat 4 KUHP, masa kadaluarsa adalah 18 tahun. Dengan demikian, masa kadaluarsa kasus penerbitan SKL semestinya dihitung sejak 27 April 2004 hingga 27 April 2022.

Hakim juga menyatakan bahwa dalil penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik KPK dilakukan tanpa adanya alat bukti yang cukup harus ditolak. Pasalnya, termohon telah menunjukkan bukti bahwa ada keterangan saksi, ahli, bukti surat-surat, dan keterangan dari calon tersangka. Sesuai Pasal 184 KUHAP, bukti permulaan yang cukup tersebut telah memenuhi syarat.

“Mengadili, menolak eksepsi pemohon seluruhnya, dalam pokok perkara praperadilan pemohon, bebankan biaya perkara ke pemohon.

Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menyambut gembira dan menghargai keputusan hakim tersebut. Putusan ini membuktikan bahwa KPK berpedoman pada berbagai aturan yang ada dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana korupsi.

“Putusan ini membuktikan bahwa hakim sudah mengikuti Peraturan Mahkamah Agung No.6/2016 yang menyatakan bahwa praperadilan hanya memeriksa syarat formil,” paparnya.

Sementara kuasa hukum Syafrudin Temenggung, Dodi S. Abdulkadir mengatakan pihaknya menerima putusan hakim tersebut karena sidang praperadilan memang hanya memeriksa syarat formil semata.

Temenggung diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dalam penerbitan surat keterangan lunas SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI.

Temenggung yang menjabat sebagai Kepala BPPN sejak April 2002, pada bulan berikutnya mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk melakukan perubahan atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor BDNI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Hasil dari restrukturisasi tersebut, Rp1,1 triliun ditagihkan kepada petani tambak yang merupakan kreditor BDNI dan sisanya Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi sehingga masih ada kewajiban obligor yang harus ditagihkan.

Akan tetapi pada April 2004, tersangka selaku Ketua BPPN mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham terhadap obligor Sjamsuk Nursalim atas semua kewajibannya kepada BPPN. Padahal saat itu masih ada kewajiban setidaknya Rp3,7 triliun.

Tersangka diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 UU No 31/1999 yang telah diperbarui dalam UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya