SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Laki-laki berperut gendut ini terus mendatangi rumah Darmin. Sudah lima kali dalam satu minggu ini. Mendesak-desaknya agar segera menandatangani surat pernyataan kesediaanmenjual tanah.

“Seluruh warga sudah setuju, Lik Darmin. Hanya Lik Darmin saja yang belum. Demi pembangunan, Lik Darmin,” kata laki-laki berbaju safari yang murah senyum itu, “Pastinya demi bangsa dan negara.”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Apa tidak sebaiknya tanah saya itu dilewati saja, Pak Dasuki? Dibuat melingkar gitu?”Darmin menggaruk-garuk kepalanya yang tiba-tiba gatal. “Atau, tanahnya saya jual, tapi pohon-pohonnya biar tetap di situ?”

“Tidak bisa seperti itu, Lik Darmin,“ kata laki-laki gendut itu kembali memperlihatkan senyumnya, ”Sebelum ditentukan lokasinya, para ahli sudah membuat peta.Difoto lewat satelit. Rute yang paling pas ya lewat tanah milik Lik Darmin itu.”

“Terus, nasib pohon-pohon itu nanti bagaimana?”

“Ya, tidak bagaimana-bagaimana. Tinggal ditebang saja. Kayunya dijual. Gitu saja kok repot.”

“Kalau kakek saya marah bagaimana?”

“Mbah Samijo?” tanya laki-laki berjam tangan mahal itu kembali tersenyum, “Dia sudah damai di kuburannya sana. Tak bakal peduli dengan pohon-pohon itu lagi.”

Darmin berubah warna mukanya. Tidak senang dengan ucapan itu. Ia yatim piatu sejak umur enam tahun. Hidup dengan kakeknya hingga dewasa sehingga sangat mengenalnya. Pohon-pohon itu dirawat kakeknya dengan penuh cinta. Meskipun kakeknya sudah tidak ada, bukan berarti boleh ditebang semau-maunya.

“Saya pikir-pikir dulu, Pak Dasuki,” jawab Darmin akhirnya.

Laki-laki gendut itu pun beranjak dari kursi. Keluar dari rumah Darmin tanpa pamitan. Senyum manisnya itu sudah tidak kelihatan.

Meskipun dikucilkan oleh tetangganya, Darmin tetap berkukuh tidak mau menandatangani surat pernyataan ataupun menyerahkan sertifikat tanah. Ada juga yang menyindir-nyindirnya: sok kaya, sombong, sok tak butuh duit. Malah ada juga yang menyebutnya antek PKI. Penghambat pembangunan. Tidak mau mendukung program pemerintahan Jokowi yang sedang getol-getolnya membangun jalan tol. Namun, Darmin tak peduli. Terserah mereka mau mengatakan apa. Salah sendiri punya tanah yang letaknya lurus dengan tanahnya.

Ada juga yang meneror Darmin. Mengetuk-ngetuk pintu pada malam hari. Melempari genting dengan kerikil. Waktu ia keluar rumah, tak ada orang. Hal itu berlangsung sampai empat kali.

Ia pun geram, merasa diintimidasi. Segera saja diambilnya sabit yang baru sore tadi diasahnya itu: mengilat seperti kaca. Diubernya si pengganggu. Diubek-ubeknya kebun yang dipenuhi belukar. Namun, ia tak menemukan siapa-siapa.

“Keluar kalau berani!” Darmin mengacung-acungkan sabitnya. “Katakan pada Dasuki, aku tidak takut! Suruh datang kemari! Tidak usah pakai cara pengecut seperti ini!”

Tak ada jawaban. Hanya suara jangkrik dan belalang yang menjawab tantangan itu. Darmin pun kembali masuk rumah. Hidungnya mendengkus-dengkus. Sudah pasti pelakunya orang suruhan kepala desa. Tidak bisa tidak.

Kabarnya laki-laki gendut beristri dua itu dijanjikan oleh makelar tanahakan menerima dua persen dari setiap penjualan tanah yang kena proyek jalan tol. Sudah pasti kepala desa yang terpilih karena penyogok lima puluh ribu untuk satu suara itu akan melakukan apa saja agar jalan tol itu melewati desa ini, bukan desa sebelahnya.

Ia tidak takut diintimidasi. Ataupun diteror. Siap menghadapi. Apapun bentuknya. Tanah itu tanahnya. Atas namanya. Warisan dari kakeknya. Siapa pun tidak berhak mengganggu gugat. Presiden sekali pun.

Baca Juga: Pulang dan Terasing

Belum juga teror itu mereda, Darmo, anaknya satu-satunya pulang dari Jakarta tanpa memberi kabar sebelumnya. Bahkan, belum juga sempat melewati pintu rumah, anak itu sudah menanyakan perihal tanah yang kena proyek jalan tol.

“Tidak kujual!” jawab Darmin tegas.

“Kenapa, Pak? Kabarnya ganti ruginya banyak? Satu meternya berapa? Dua juta?”

“Dua setengah.”

“Banyak itu, Pak.” Mata Darmo seakan-akan bercahaya.“Kalikan saja dengan luas tanahnya.”

“Sudah kukalikan. Dua setengah miliar.”

“Banyak sekali itu, Pak!” Wajah Darmo seakan-akan bersinar.“Bapak bisa naik haji, beli mobil, rehab rumah….”

“Tidak mau.”

“Kenapa, Pak?” Darmo mengerutkan keningnya.

“Pokoknya tidak mau!”

“Bapak tidak memikirkan nasibku? Bapak ingin aku terus miskin? Tidak bangga aku punya usaha sendiri? Jadi juragan konfeksi?”

“Bukan begitu, Mo.”

“Terus apa?” Mata Darmo menyorot galak.“Buktinya Bapak tidak mau menjual tanah yang tidak menghasilkan apa-apa itu. Apa yang Bapak harapkan dari pohon-pohon tempat tinggal genderuwo itu? Pohon-pohon itu kan yang membuat Bapak tidak mau menjualnya?”

Darmin tak segera menjawab. Sesaat matanya menerawang, lalu menghela napas panjang. Memang pohon-pohon itu yang dipikirkannya. Namun, bukan berarti ia tidak peduli kepada anaknya.



Ia bisa memaklumi jika anaknya punya cita-cita menjadi pengusaha. Bukannya terus-menerus menjadi buruh. Dari hasil penjualan tanah itu, bisa jadi Darmo berharap akan dimodali membeli beberapa mesin jahit lalu mendirikan rumah konfeksi sendiri. Namun, anaknya itu juga harus tahu. Hidup ini bukan hanya soal kaya dan miskin. Jadi bos atau pesuruh. Ada yang lebih penting daripada semua itu. Jauh lebih penting. Pohon-pohon itu termasuk di antaranya.

“Mo, bapakmu tidak punya apa-apa. Rumah, pekarangan, dan tegalan di kaki bukit yang kena proyek jalan tol itu dulunya milik kakekku. Semua itu pusaka. Juga semua yang tumbuh di atasnya. Termasuk pohon-pohon itu. Diwariskan kakekmu kepada bapakmu sebagai pusaka. Kelak akan kuwariskan kepadamu sebagai pusaka juga. Pusaka harusnya dirawat. Dijaga. Dihormati. Bukan dijual.”

Begitu mendengar ucapan bapaknya itu, Darmo sontak berdiri, warna mukanya seperti kepiting rebus. Dia masuk kamar, meletakkan tas, lalu pergi lagi tanpa permisi.

Darmin menatap kepergian anaknya itu dengan perasaan sedih. Tidak biasanya Darmo bersikap tidak sopan seperti itu. Begitu pulang dari Jakarta, biasanya Darmo mengajaknya mengobrol. Menceritakan kegiatannya sebagai tukang jahit di sebuah rumah konfeksi. Bercerita tentang Monas, Istana Negara….

….

Setelah menyalakan lampu, Darmin kembali duduk di teras, menunggu anaknya. Ada yang ingin ia jelaskan kepada Darmo. Hal itu belum pernah ia katakan kepada siapa pun sebelumnya, kecuali kepada istrinya. Takutnya nanti dituduh sok pintar, sok terpelajar, sok tahu. Tak lain dan tak bukan adalah tentang pohon-pohon itu. Sejarah dan manfaatnya. Juga ramalan kakeknya jika pohon-pohon itu tidak ada.

Mudah-mudahan setelah nanti diberi penjelasan, Darmo bisa menerima dan memahami. Anak itu dibesarkannya sendiri sejak istrinya meninggal, waktu Darmo masih kelas III SD. Darmo yang dikenalnya adalah Darmo yang gampang dinasihati. Ia berharap anaknya masih mau mendengar omongannya.

Menjelang Isak, Darmo pulang. Dari warung, katanya. Wajahnya terlihat cerah dan tidak lagi mendesak-desak bapaknya agar menjual tanah. Darmin menghela napas lega. Mudah-mudahan anaknya sudah mendapat pencerahan. Tidak lagi berpikir dan bertindak gegabah soal tanah di kaki Bukit Cipayung itu. Sebagai generasi muda sudah seharusnya Darmo peduli apa yang akan terjadi di masa nanti.

Darmin mengobrol di teras dengan anaknya sambil menyantap tempe, tahu, dan bakwan yang dibeli Darmo. Juga menyeruput kopi hitam yang dibungkus plastik. Darmo menceritakan pacarnya yang orang Karawang. Rencananya dibawanya pulang nanti saat Lebaran.



Darmin sesekali menyela dan beberapa kali tersenyum. Ia putuskan tidak perlu lagi menjelaskan alasannya tidak mau menjual tanah yang dipenuhi pepohonan itu. Lain kali saja. Anaknya sudah tenang. Jangan membangunkan harimau tidur. Nanti dicaplok.

Menjelang dini hari, Darmin pamitan tidur. Matanya mengantuk. Dadanya sesak. Darmin pun masuk kamar, merebah di ambin yang dulu ditempati kakeknya. Dadanya sesak sekali. Seperti ditindih seekor gajah. Perutnya melilit-lilit. Seperti digaruk-garuk cakar harimau….

***

Darmo menandatangani surat pernyataan kesediaan menjual tanah seminggu setelah bapaknya dikuburkan. Hanya tanahnya; pepohonannya tidak. Dua bulan kemudian pembangunan jalan tol di lokasi itu pun dimulai. Diawali dengan penebangan pohon-pohon di kaki Bukit Cipayung. Jumlahnya ratusan.

Darmo tak mau terlalu direpotkan oleh pohon yang hanya pantas dijadikan kayu bakar itu. Pohon-pohon itu dijualnya ke pabrik genting dengan harga murah. Tidak seperti bapaknya, ia tidak terlalu terikat dengan pohon itu. Apalagi bapaknya juga tidak banyak bercerita tentangnya, kecuali hanya namanya: sapu jagat. Ia tak pernah bertanya maknanya. Pula, tak ingin tahu. Kesannya, pohon-pohon itu aneh dan menyeramkan.

Sulur pohon itu menjulur-julur seperti pohon beringin, buahnya lunak seperti buah pohon gayam, batangnya keras dan berlubang-lubang seperti pohon trembesi, tapi panjang dan lurus seperti pohon bendo, sementara daunnya majemuk menjari, bertangkai, dan berkumpul pada ujung ranting seperti pohon kepuh.

***

Hampir seminggu sekali Darmo pergi Pasar Tanah Abang, mengurusi dagangannya. Lewat jalan tol yang sudah terhubung dari ujung pulau ke ujung lainnya itu. Lebar, lurus, dan mulus.

Meskipun begitu, Darmo tak terlalu bisa menikmati perjalanannya. Setiap kali melewati jalur tak jauh dari tempatnya dilahirkan itu, ia ketakutan. Seperti bertemu genderuwo. Tak mau melirik ataupun melihatnya meskipun hanya melalui spion mobil. Alih-alih berhenti di bahu jalan tol, lalu menyempatkan waktu barang lima menit demi memuaskan matanya.



Ada banyak kenangan di tempat itu yang ingin dilupakannya. Namun, tak bisa. Betapa pun ia sangat menginginkannya. Apalagi tempat kelahirannya itu kini juga hanya tersisa rumah-rumah yang hampir rubuh. Pula, tanah yang kering kerontang. Lima bulan setelah jalan tol yang menghabiskan dana ratusan triliun itu diresmikan presiden, dua ratus warga Dukuh Kepuharjo yang tinggal di kaki Bukit Cipayung, tepat di samping kanan jalan tol, tercerai-berai ke mana-mana. Pindah ke daerah-daerah yang masih ada airnya.

Kajen, 25 September 2022

Catatan:
Pohon beringin, trembesi, gayam, bendo, dan kepuh dikenal sebagai pohon yang mampu menyimpan cadangan air.

Dewanto Amin Sadono. Beberapa karyanya memenangkan lomba. Salah satunya juara pertama penulisan novel yang diadakan Perpusnas Writingthon Festival 2022



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya